Ultimatum 60 Hari DPRD Kalsel: Tamatkah Kisah Tambang Nakal dan Jalan Rusak di Banua?

  

BANJARMASIN – Pada pagi yang gerah dan berdebu di halaman Gedung B DPRD Kalimantan Selatan, sebuah suara rakyat kembali menggema. Tak sekadar orasi kosong, Kamis (17/04/2025) itu menjadi momentum yang tak biasa—pertemuan antara wakil rakyat dan suara hati masyarakat yang lelah. Sahabat Anti Kecurangan Bersama, atau lebih akrab disapa SAKUTU, hadir bukan hanya untuk bersuara, melainkan menggugah kesadaran.

Sekitar 30 perwakilan massa, yang sebelumnya melakukan aksi damai di halaman kantor, akhirnya dipersilakan masuk. Audiensi pun digelar di dalam ruang sidang yang biasanya terasa hening, kini berubah menjadi medan diskusi hangat. Wakil Ketua DPRD Kalsel H. Kartoyo bersama Ketua Komisi III Apt. Mustaqimah, serta para anggota DPRD lainnya dan sejumlah pejabat dinas terkait, hadir langsung menyambut aspirasi yang selama ini hanya bergema di jalanan.

 

Tambang Nakal di Banua: Jalan Rusak, Nyawa Melayang

Yang menjadi sorotan utama bukanlah hal baru, namun luka lama yang belum kunjung sembuh. Aktivitas angkutan tambang, terutama batu bara, yang masih leluasa melintasi jalan nasional kembali menuai kritik tajam. Koordinator SAKUTU, Aliansyah, dengan nada tegas menyampaikan keresahan masyarakat terhadap kondisi jalan yang rusak parah akibat kendaraan tambang yang melebihi kapasitas, atau dalam istilah teknis disebut ODOL—Over Dimension and Over Load.

“Kami sudah muak. Jalan rusak tiap hari, lubang di mana-mana, bahkan korban jiwa terus berjatuhan. Sampai kapan rakyat harus diam?” ujar Aliansyah dengan sorot mata tajam. Ia menyebut bahwa masyarakat di beberapa daerah seperti Tabalong dan Balangan sudah mengambil tindakan tegas—memblokade jalan tambang karena merasa tidak ada lagi perlindungan dari negara.

Ia menambahkan, “Jangan salahkan rakyat kalau akhirnya mereka bertindak sendiri. Perda sudah ada, aturannya jelas, tinggal dijalankan. Tapi kenapa diam saja?”

Suara itu menggema di ruang sidang, menelanjangi ketidakpekaan dan lambannya respons birokrasi selama ini. Bagi SAKUTU, ini bukan sekadar tentang jalan atau tambang, ini soal nyawa. Jalan nasional yang seharusnya menjadi sarana mobilitas umum kini menjadi medan berbahaya bagi warga biasa karena lalu-lalang truk tambang raksasa.

 

DPRD Ambil Sikap: Batas Waktu 60 Hari

Menanggapi desakan tersebut, Wakil Ketua DPRD Kalsel, H. Kartoyo, tidak tinggal diam. Dengan nada diplomatis namun serius, ia menyatakan bahwa DPRD Kalsel memprioritaskan keselamatan warga Banua.

“Kami mendengar, kami mengerti, dan kami tidak akan tinggal diam. Kami memberikan waktu 60 hari ke depan kepada pihak terkait untuk menyelesaikan permasalahan ini. Ini bukan lagi perdebatan, ini soal nyawa,” tegasnya.

Kartoyo juga meminta Dinas Perhubungan Kalimantan Selatan untuk segera menyelesaikan grand design pengaturan kendaraan ODOL. Rancangan ini diharapkan menjadi panduan teknis sekaligus komitmen nyata dalam membenahi sistem transportasi tambang agar tidak lagi merugikan masyarakat.

“Kita tidak bisa terus membiarkan infrastruktur rusak dan korban jiwa berjatuhan hanya karena lemahnya regulasi dan penegakan hukum,” sambungnya.

 

Menyoal Stadion Internasional: Gagasan Besar, Prioritas Keliru?

Namun perjuangan SAKUTU tidak berhenti di soal tambang. Dalam kesempatan audiensi yang penuh semangat itu, mereka juga mengkritik keras rencana pembangunan stadion internasional di Kilometer 17. Menurut SAKUTU, proyek ambisius tersebut tidak relevan di tengah kondisi Stadion 17 Mei yang justru belum selesai direnovasi.

“Ini seperti membangun istana baru saat rumah lama bocor dan penuh rayap,” sindir salah satu anggota SAKUTU dalam pernyataannya.

Menurut mereka, pemerintah daerah seharusnya fokus menyelesaikan proyek infrastruktur yang sudah ada, bukan justru memulai proyek baru yang belum tentu berdampak langsung bagi masyarakat. Stadion megah boleh dibangun, namun tidak di atas tumpukan proyek mangkrak.

Kritik ini menyingkap sebuah permasalahan klasik dalam dunia birokrasi: prioritas pembangunan yang kerap kali tidak sejalan dengan kebutuhan riil masyarakat.

 

Jalan Bypass Martapura–Tabalong: Janji Panjang yang Belum Sampai

SAKUTU juga menagih janji lama tentang percepatan pembangunan jalan bypass Martapura–Tabalong. Jalan ini dianggap strategis sebagai jalur alternatif yang bisa mengurangi kemacetan dan risiko di jalur utama, terutama yang kerap dilintasi truk tambang.

Namun, janji hanya tinggal janji. Progres pembangunan jalan bypass ini berjalan lambat, bahkan terkesan mati suri. Tidak sedikit warga yang menganggap proyek ini sebagai proyek pencitraan semata yang hanya ramai saat kampanye.

“Kalau serius, harus ada target yang jelas. Jangan hanya jadi wacana. Kami butuh tindakan nyata, bukan pidato manis,” ucap Aliansyah.

 

Audit SKPD dan BUMD: Bongkar Borok, Bersihkan Sistem

Tak cukup dengan infrastruktur, SAKUTU juga mengusulkan langkah berani: audit total terhadap seluruh Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) di Kalimantan Selatan. Menurut mereka, banyak SKPD yang tidak profesional dan terkesan tidak maksimal dalam menjalankan pelayanan publik.

“Berapa banyak program yang mubazir, anggaran yang tak jelas arah penggunaannya, dan proyek yang kualitasnya dipertanyakan? Kalau kita ingin Banua ini maju, harus mulai dengan pembenahan dari dalam,” kata salah seorang perwakilan.

Audit menyeluruh ini, menurut SAKUTU, bukan sekadar untuk mencari kesalahan, tapi sebagai upaya pembersihan sistem birokrasi agar ke depan pelayanan publik bisa berjalan dengan lebih profesional dan efisien.

 

Momentum Baru atau Sekadar Seremonial?

Audiensi yang berlangsung sekitar dua jam itu ditutup dengan sejumlah komitmen dari DPRD, termasuk pembentukan tim monitoring khusus terkait permasalahan tambang dan ODOL. DPRD juga berjanji akan menyampaikan tuntutan masyarakat ini kepada pemerintah provinsi dan instansi vertikal terkait.

Namun, publik tentu tak bisa hanya berharap pada janji. Pengalaman menunjukkan bahwa tidak sedikit audiensi serupa yang akhirnya tak membuahkan hasil apa-apa selain dokumentasi foto dan berita media. Karena itu, 60 hari ke depan akan menjadi ujian penting: apakah DPRD Kalsel benar-benar serius atau hanya sedang bermain drama politik?

SAKUTU sendiri telah menyatakan bahwa mereka akan mengawal janji ini sampai tuntas. Mereka bahkan tidak menutup kemungkinan untuk kembali turun ke jalan jika tidak ada kemajuan signifikan dalam waktu yang ditentukan.

“Kami akan terus bergerak. Ini bukan perjuangan satu hari, tapi perjuangan panjang untuk hak rakyat,” tutup Aliansyah.

 

Catatan Akhir: Ketika Rakyat Tidak Lagi Percaya

Peristiwa audiensi ini sejatinya adalah potret keresahan rakyat yang sudah sampai pada titik jenuh. Ketika peraturan tidak dijalankan, ketika hukum terasa tumpul kepada pengusaha besar, maka rakyat pun mulai mengambil peran sebagai hakim di jalanan.

Ultimatum 60 hari dari DPRD bukan sekadar tenggat waktu administratif. Ia adalah janji moral yang akan dinilai oleh rakyat. Jika dalam waktu itu tak ada perubahan nyata, maka kepercayaan terhadap lembaga legislatif bisa kian runtuh. Dan ketika kepercayaan hilang, maka suara rakyat tak lagi akan meminta, melainkan menuntut—dengan segala cara yang mereka miliki.

Kini bola panas ada di tangan para pemangku kebijakan. Akankah mereka menjawab suara Banua dengan tindakan nyata, atau membiarkan kisah tambang nakal dan jalan rusak terus bergulir menjadi tragedi berulang?

Previous Post