Sekolah Rakyat: Jalan Panjang Menuju Pembebasan Pendidikan di Tengah Keterpinggiran Kalimantan
Di tengah hamparan hutan Kalimantan yang hijau dan luas,
lahirlah sebuah gagasan besar yang menyentuh jantung persoalan paling mendasar
bangsa ini: kemiskinan dan keterbatasan akses pendidikan. Gagasan tersebut
bernama Sekolah Rakyat — sebuah program yang kini menjadi sorotan nasional
setelah digaungkan oleh Presiden terpilih Prabowo Subianto sebagai bagian dari
strategi besar dalam menyelesaikan permasalahan kronis negeri ini: ketimpangan
sosial dan ekonomi.
Bukan hanya sekadar program pendidikan biasa, Sekolah Rakyat mengusung semangat perubahan, keadilan, dan pemerataan. Ia hadir membawa janji, bahwa anak-anak dari pelosok negeri — termasuk di Kalimantan Tengah — tak lagi harus bermimpi terlalu tinggi hanya untuk bisa duduk di bangku sekolah yang layak.
Namun di balik sorotan media dan sambutan hangat dari berbagai kalangan, muncul pula beragam pertanyaan kritis: Akankah program ini menjadi solusi jangka panjang atau hanya langkah populis sesaat? Apakah ia benar-benar mampu menyentuh akar kemiskinan struktural atau hanya meredakan gejalanya tanpa menyembuhkan luka bangsa?
Pendidikan: Masalah Lama yang Butuh Terobosan Baru
Kalimantan, khususnya wilayah tengah dan selatannya, selama ini masih menghadapi tantangan serius dalam pendidikan. Wilayah geografis yang sulit dijangkau, akses infrastruktur terbatas, dan tingkat kemiskinan yang tinggi membuat pendidikan menjadi barang mewah. Banyak anak yang akhirnya lebih akrab dengan ladang dan sungai ketimbang buku dan papan tulis.i tengah kenyataan pahit itu, Program Sekolah Rakyat hadir membawa angin segar. Dengan konsep pendidikan gratis dan berasrama, program ini menargetkan anak-anak dari keluarga miskin agar bisa mendapatkan pendidikan layak tanpa harus terbebani biaya yang mencekik. Namun, sebagaimana banyak program ambisius lainnya, keberhasilan tak cukup hanya dengan niat baik.
Wira Surya Wibawa, seorang penggiat pendidikan alternatif sekaligus pendiri Sekolah Rakyat Merdeka Kalselteng, menjadi salah satu tokoh yang menaruh perhatian serius terhadap inisiatif ini. Baginya, Sekolah Rakyat bukan sekadar program, tetapi potensi revolusi pendidikan yang bisa mengubah wajah bangsa.
Pendidikan sebagai Alat Pembebasan
Dalam pandangan Wira, gagasan Sekolah Rakyat sejatinya
menyentuh ruh pendidikan yang sesungguhnya. Ia mengutip pemikiran Paulo Freire,
tokoh pendidikan asal Brasil yang terkenal dengan konsep “pedagogi pembebasan”
— bahwa pendidikan seharusnya membebaskan manusia, bukan malah membelenggu
mereka dalam sistem yang tidak adil.
“Anak-anak dari komunitas marginal tidak hanya miskin secara ekonomi, tapi juga kerap dimiskinkan secara sosial dan kultural. Mereka kehilangan rasa percaya diri, kehilangan harapan, dan seringkali tidak dianggap oleh sistem yang ada,” ujar Wira saat diwawancarai pada Kamis, 17 April 2025.
Ia menambahkan, dalam kondisi seperti ini, kehadiran Sekolah Rakyat harus mampu menjawab lebih dari sekadar kebutuhan fisik. Pendidikan yang ditawarkan harus partisipatif, humanis, dan mampu membangun kesadaran sosial. Sekolah bukan hanya tempat belajar, tetapi juga ruang tumbuh bagi identitas, karakter, dan semangat anak-anak yang selama ini terpinggirkan.
Tantangan di Lapangan: Lebih dari Sekadar Anggaran
Meski Sekolah Rakyat menawarkan model pendidikan gratis dan
berasrama, Wira mengingatkan bahwa tantangan utama bukan hanya soal uang.
Justru yang paling krusial adalah bagaimana membangun kepercayaan masyarakat,
terutama mereka yang selama ini merasa diabaikan oleh negara.
“Banyak dari komunitas yang kami dampingi merasa trauma dengan institusi negara. Mereka sudah terlalu sering diberi janji tanpa bukti. Ketika program-program datang, mereka cenderung skeptis. Itulah mengapa kehadiran pendamping yang memahami budaya lokal, dan menjadi teladan nyata sangat penting,” terang Wira.
Ia mengungkapkan, saat ini masih banyak anak di desa-desa terpencil yang tidak sekolah bukan hanya karena tak punya biaya, tapi juga karena faktor sosial-budaya. Ada anggapan bahwa sekolah tidak menjamin masa depan. Ada pula keterbatasan transportasi, tenaga pengajar, dan fasilitas yang membuat sekolah menjadi tempat yang jauh secara fisik maupun emosional.
Peran Strategis Pendamping dan Kaderisasi Guru
Dalam membangun Sekolah Rakyat, Wira menekankan pentingnya
kaderisasi guru yang tidak hanya berlandaskan pada kompetensi akademik, tetapi
juga pada panggilan jiwa. Guru dalam Sekolah Rakyat haruslah mereka yang mau
hidup bersama masyarakat, merasakan denyut nadi kehidupan komunitas marginal,
dan menjadi sahabat anak-anak yang dilayani.
“Guru bukan sekadar pengajar, tapi fasilitator kehidupan. Mereka harus mampu membangun kepercayaan, menghidupkan harapan, dan menjadi jembatan antara anak-anak dengan dunia luar yang selama ini terasa asing bagi mereka,” katanya.
Karena itu, ia menyarankan agar alumni dari komunitas marginal dilibatkan dalam proses pendidikan. Mereka yang pernah hidup dalam kesulitan akan lebih memahami perasaan dan tantangan yang dihadapi anak-anak hari ini. Pendekatan ini juga memperkuat rasa kepemilikan masyarakat terhadap Sekolah Rakyat, sehingga ia tidak menjadi proyek eksklusif pemerintah semata.
Kunci Sukses: Kolaborasi dan Keberlanjutan
Wira menyambut baik dukungan pemerintah terhadap Sekolah
Rakyat, namun mengingatkan bahwa program ini tidak akan sukses jika dijalankan
secara top-down. Ia menyerukan kolaborasi lintas sektor: mulai dari komunitas
lokal, pegiat pendidikan alternatif, lembaga keagamaan, adat, hingga sektor
swasta.
Menurutnya, pendekatan yang inklusif dan horizontal jauh lebih efektif ketimbang sekadar birokrasi satu arah. Pemerintah, katanya, harus berperan sebagai fasilitator, bukan pengatur tunggal. Keterlibatan BUMN dan perusahaan swasta lewat program CSR juga bisa memperkuat ekosistem Sekolah Rakyat, asal dilakukan dengan transparansi dan tujuan yang jelas.
Namun, Wira tidak menutup mata terhadap risiko kegagalan program ini, terutama jika tidak didukung oleh landasan hukum yang kuat. Ia khawatir bahwa Sekolah Rakyat bisa menjadi korban pergantian rezim politik jika tidak dilindungi oleh komitmen lintas partai dan jaminan keberlanjutan anggaran.
“Kalau program ini hanya bertumpu pada APBN tanpa kontrol yang jelas, atau berubah haluan setiap lima tahun, maka semangat yang dibangun hari ini bisa hancur dalam sekejap,” tegasnya.
Membangun Sekolah yang Berakar pada Budaya Lokal
Salah satu gagasan penting yang ditawarkan Wira adalah
perlunya membangun model sekolah yang kontekstual — yakni sekolah yang hidup
dan tumbuh bersama masyarakat lokal. Ia menyarankan agar kurikulum Sekolah
Rakyat tidak hanya menyalin dari sistem pendidikan nasional, tetapi juga
memasukkan unsur-unsur lokal: nilai adat, kearifan tradisional, dan narasi
perjuangan masyarakat.
“Sekolah harus menjadi tempat anak-anak mengenal jati dirinya, sejarah komunitasnya, dan punya kebanggaan terhadap budayanya sendiri,” kata Wira.
Ia juga mendorong pembangunan fasilitas produktif di sekolah, seperti kebun, peternakan, atau bengkel sederhana yang bisa menjadi tempat praktik keterampilan dan kemandirian. Dengan begitu, anak-anak tidak hanya cerdas secara teori, tapi juga siap menghadapi dunia nyata dengan kemampuan yang konkret.
Pendidikan yang Memanusiakan Manusia
Di penghujung pernyataannya, Wira menegaskan bahwa
keberhasilan Program Sekolah Rakyat tidak bisa hanya diukur dari angka
statistik: berapa banyak sekolah yang dibangun, berapa banyak siswa yang lulus,
atau seberapa besar anggaran yang digelontorkan. Yang paling penting, katanya,
adalah seberapa besar perubahan yang dirasakan oleh anak-anak di pelosok
negeri.
“Pendidikan bukan hanya soal nilai ujian, tapi tentang membangun manusia seutuhnya — yang berpikir kritis, berdaya, dan bermartabat. Sekolah Rakyat harus menjadi gerakan pembebasan, bukan sekadar proyek teknokratik,” pungkasnya.
Di tengah gelombang modernisasi dan tantangan global yang semakin kompleks, gagasan Sekolah Rakyat menghadirkan harapan baru. Sebuah gerakan yang jika dijalankan dengan hati dan visi jangka panjang, bisa menjadi tonggak kebangkitan pendidikan Indonesia yang selama ini tertinggal di banyak sudut negeri.
Kini, bola ada di tangan kita semua. Akankah Sekolah Rakyat menjadi babak baru dalam sejarah pendidikan Indonesia — atau justru berakhir sebagai mimpi yang kandas di tengah jalan?
Waktulah yang akan menjawabnya. Namun satu hal pasti: perubahan sejati hanya lahir dari keberanian untuk mendengar, bekerja bersama, dan menempatkan kemanusiaan sebagai pusat dari setiap kebijakan.