Menguak Tabir Sawit Ilegal: 420.000 Hektare Ladang “Emas Hijau” Tak Bertuan di Jantung Hutan Kalimantan Tengah

  

Kalimantan Tengah – Di balik rimbunnya hutan tropis yang selama ini menjadi paru-paru dunia, tersimpan ironi yang mencengangkan. Hutan-hutan lebat Kalimantan Tengah yang seharusnya menjadi benteng terakhir keanekaragaman hayati, perlahan-lahan berubah menjadi hamparan kebun kelapa sawit. Bukan sawit biasa, melainkan sawit yang tumbuh tanpa izin, berdiri tanpa restu, dan mengakar kuat di atas tanah yang secara hukum masih tercatat sebagai kawasan hutan.

Temuan ini bukan isapan jempol. Satgas Garuda, satuan tugas yang dibentuk pemerintah untuk menertibkan dan menyelesaikan persoalan sawit ilegal di Indonesia, mengungkap data mengejutkan: sekitar satu juta hektare lahan sawit di Indonesia ternyata berdiri di atas kawasan hutan. Dari angka tersebut, nyaris setengahnya—tepatnya 420.000 hektare—berada di Provinsi Kalimantan Tengah.

 

Di Mana Sawit Itu Berada?

Kepala Dinas Kehutanan Kalimantan Tengah, Agustan Saining, mengungkapkan kepada Kompas.com bahwa ribuan hektare lahan sawit ilegal itu tersebar di berbagai wilayah di provinsi tersebut, dengan sebaran terbesar berada di tiga kabupaten: Kotawaringin Timur, Kotawaringin Barat, dan Seruyan.

“Ratusan ribu itu total di seluruh Kalteng, paling besar tersebar di Kotawaringin Timur, Kotawaringin Barat, dan Seruyan,” ujar Agustan saat diwawancarai dalam sebuah kegiatan pada Kamis, 17 April 2025.

Lahan sawit ilegal ini bukan sekadar persoalan administrasi, melainkan menyangkut kerusakan lingkungan, konflik agraria, hingga kerugian negara dalam bentuk hilangnya potensi penerimaan pajak dan retribusi kehutanan.

 

Di Balik Angka: Kenapa Bisa Terjadi?

Lalu bagaimana bisa ratusan ribu hektare hutan yang dilindungi berubah menjadi kebun sawit tanpa izin? Agustan menjelaskan bahwa kekacauan ini merupakan dampak dari perubahan regulasi yang tidak sinkron antara pemerintah pusat dan daerah.

“Banyak lahan yang sudah dikelola sejak lama, tapi belum ada proses pelepasan kawasan atau belum lengkap izinnya. Keterlanjuran ini jadi masalah besar sekarang,” jelas Agustan.

Situasi semacam ini bukan fenomena baru. Sejak puluhan tahun lalu, pembukaan lahan untuk sawit kerap mendahului legalitas. Dalam praktiknya, banyak perusahaan dan petani besar membuka lahan terlebih dahulu, baru kemudian mengurus legalitas belakangan. Celah ini diperparah oleh lemahnya pengawasan, kurangnya koordinasi antar lembaga, serta tumpang tindih peraturan yang tak jarang saling bertentangan.

 

Langkah Satgas Garuda: Dari Penertiban ke Verifikasi

Untuk menjawab persoalan pelik ini, Satgas Garuda telah mulai melakukan langkah penertiban. Salah satunya adalah dengan melakukan verifikasi terhadap seluruh lahan sawit yang berada di atas kawasan hutan.

Dari total 420.000 hektare yang ditemukan di Kalimantan Tengah, sebanyak 124.000 hektare sudah diserahkan kepada perusahaan milik negara, Agrinas Palma Nusantara, untuk dilakukan verifikasi lebih lanjut. Agrinas bertugas untuk memetakan kembali status lahan, mengevaluasi legalitas, serta merumuskan skema pengelolaan yang sesuai dengan kepentingan negara dan masyarakat.

“420.000 hektar itu bakal diverifikasi lagi, mana yang bisa dikelola oleh negara, mana yang mungkin dikerjasamakan, dan mana juga yang bisa diserahkan langsung ke masyarakat berupa plasma,” jelas Agustan.

Sementara itu, sisa lahan sebesar 296.000 hektare masih dalam proses penertiban. Proses ini melibatkan berbagai instansi, mulai dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian ATR/BPN, pemerintah daerah, hingga aparat penegak hukum.

 

Skema Tiga Jalan: Negara, Kerja Sama, atau Masyarakat

Pemerintah, melalui Satgas Garuda, tengah merumuskan tiga skema penyelesaian untuk lahan sawit ilegal ini:

  • Pengelolaan oleh Negara: Lahan yang strategis dan memiliki nilai ekonomi tinggi bisa diambil alih langsung oleh negara untuk dikelola oleh BUMN seperti Agrinas, dengan tujuan untuk memaksimalkan manfaat ekonomi sekaligus menjaga kelestarian lingkungan.
  • Kerja Sama Pengelolaan: Untuk lahan yang dikelola oleh pihak swasta namun sudah terlanjur ditanami sawit dan memiliki potensi besar, pemerintah membuka peluang kerja sama dengan syarat adanya pemenuhan seluruh aspek legalitas, termasuk retribusi dan pemulihan lingkungan.
  • Plasma untuk Masyarakat: Lahan yang dikelola oleh masyarakat atau kelompok tani, dengan skala kecil hingga menengah, berpeluang untuk diberikan hak kelola melalui skema plasma, di mana masyarakat tetap menjadi pengelola namun dengan pendampingan dan pengawasan dari negara.

 

Tantangan di Lapangan: Dari Mafia Lahan hingga Sengketa Sosial

Namun, upaya penertiban ini bukan tanpa tantangan. Banyak lahan sawit ilegal yang terlanjur dikuasai oleh korporasi besar, bahkan ada yang melibatkan mafia tanah dan kolusi dengan oknum pejabat. Di sisi lain, tak sedikit masyarakat lokal yang sudah bergantung hidup dari kebun sawit, dan akan sangat terdampak jika lahan mereka dianggap ilegal.

Sengketa sosial pun kerap terjadi. Konflik antara masyarakat adat, perusahaan, dan pemerintah sudah menjadi cerita klasik di Kalimantan. Dalam beberapa kasus, masyarakat adat justru menjadi korban penggusuran, padahal mereka memiliki sejarah panjang dalam mengelola dan menjaga kawasan tersebut.

 

Harapan Baru dari Tata Kelola Hutan

Di tengah gelombang persoalan itu, Agustan menyampaikan bahwa pemerintah pusat melalui Satgas Garuda tetap berkomitmen untuk menata kembali hutan Indonesia agar berkelanjutan, adil, dan transparan. Pendekatan yang dilakukan tak hanya represif, tapi juga solutif dan kolaboratif.

“Kalau ada lahan sawit di atas kawasan hutan yang sudah telanjur, tapi belum diselesaikan perizinannya, akan diambil alih. Ada beberapa yang belum pelepasan kawasan, kemudian perizinan lain belum ada,” ungkapnya.

Pemerintah juga mulai membuka ruang dialog dengan masyarakat lokal dan pelaku usaha kecil agar proses legalisasi berjalan dengan adil. Edukasi, pendampingan, hingga penyederhanaan proses perizinan mulai dikedepankan sebagai solusi jangka panjang.

 

Dampak Lingkungan yang Tak Terelakkan

Sementara langkah hukum dan administrasi dijalankan, kerusakan yang ditinggalkan oleh ekspansi sawit ilegal tak bisa diabaikan. Ratusan ribu hektare hutan yang seharusnya menjadi habitat bagi orangutan, bekantan, dan ribuan spesies flora-fauna lainnya kini telah berganti rupa menjadi ladang monokultur yang rawan kebakaran dan degradasi tanah.

Kondisi ini memperburuk krisis iklim yang tengah dihadapi dunia. Indonesia, sebagai salah satu negara dengan tutupan hutan tropis terbesar, memegang peran penting dalam mitigasi perubahan iklim. Namun, jika deforestasi terus berlangsung akibat pembiaran sawit ilegal, maka target net-zero emission bisa menjadi isapan jempol belaka.

 

Jalan Panjang Menuju Pemulihan

Perjalanan menertibkan 420.000 hektare sawit ilegal bukan tugas mudah. Ini bukan hanya soal mencabut pohon sawit atau menggusur lahan, tetapi soal membenahi sistem pengelolaan sumber daya alam yang selama ini penuh celah. Ini adalah soal keberanian untuk menegakkan hukum, keberpihakan pada lingkungan, dan keadilan sosial bagi masyarakat.

Satgas Garuda, meski telah menunjukkan progres, masih punya pekerjaan rumah besar. Transparansi proses, keterlibatan publik, serta keberanian untuk menindak tegas pelanggar hukum harus menjadi prioritas utama.

Dan yang tak kalah penting: belajar dari masa lalu, agar keterlanjuran serupa tak kembali terulang di masa depan.

 

Antara Sawit dan Masa Depan Hutan

Kisah tentang 420.000 hektare lahan sawit ilegal di Kalimantan Tengah bukan sekadar cerita lokal. Ini adalah cermin dari bagaimana bangsa ini mengelola aset alamnya—antara kepentingan ekonomi, perlindungan lingkungan, dan keadilan sosial.

Apakah Indonesia akan memilih jalan pemulihan dan penertiban yang adil dan berkelanjutan, atau kembali terjebak dalam pola eksploitatif yang hanya menguntungkan segelintir pihak?

Dan semoga, dari jantung hutan Kalimantan, muncul sinyal perubahan yang membawa harapan bagi masa depan Indonesia.

Next Post Previous Post