Duka Tanpa Insentif: Perjuangan Guru Kaltara Menembus Batasan Anggaran
Sebuah keresahan yang telah lama mengendap kini menyeruak ke
permukaan. Para pendidik, khususnya guru PAUD hingga tingkat SMP di Kalimantan
Utara, tengah menghadapi babak baru dalam perjuangan mereka. Bukan lagi soal
metode pembelajaran atau pencapaian akademik siswa, namun tentang hak dan
kesejahteraan mereka sendiri yang kini terancam hilang. Pemprov Kaltara telah
memutuskan untuk menghentikan pemberian insentif yang selama ini menjadi napas
tambahan bagi para guru non-ASN. Keputusan ini sontak mengguncang barisan
pendidik dan memantik gelombang protes yang semakin nyaring.
Wakil Ketua DPRD Tarakan, Herman Hamid, angkat bicara. Dengan wajah serius dan nada prihatin, ia menyampaikan bahwa pihaknya merasa terpanggil untuk bersuara lantang menanggapi kebijakan yang dianggap tidak bijak ini.
“Kami, DPRD Tarakan, menyatakan keprihatinan yang mendalam atas keputusan Pemprov Kaltara yang telah mencabut insentif bagi para guru, sebuah kebijakan yang sudah berjalan selama kurang lebih satu dekade sejak masih berada di bawah naungan Kaltim,” ujar Herman, Kamis (17/4/2025).
Awal Mula Kebijakan dan Dampaknya yang Menjalar
Insentif yang dimaksud bukanlah nominal besar yang mampu
mengubah taraf hidup secara signifikan, tetapi cukup untuk memberikan semangat
dan stabilitas bagi para guru honorer dan tenaga pendidik non-PNS lainnya.
Sejak zaman Kalimantan Timur hingga Kalimantan Utara berdiri sendiri sebagai
provinsi, insentif ini hadir sebagai bentuk pengakuan terhadap pengabdian
mereka yang tak kenal lelah membina generasi bangsa dari pinggiran.
Namun, dengan satu surat keputusan, insentif yang menjadi penopang ekonomi ribuan guru itu kini lenyap. Tidak ada transisi. Tidak ada diskusi menyeluruh. Hanya ada realita pahit yang harus ditelan mentah-mentah.
Guru-guru terdampak, terutama yang mengabdi di wilayah pelosok dan pesisir, merasa seperti kehilangan cahaya di ujung lorong. Bagi mereka, insentif bukan sekadar uang, melainkan simbol penghargaan dan pengakuan negara atas dedikasi mereka.
DPRD Tarakan dan PGRI Bergerak
Merespons hal tersebut, DPRD Tarakan tak tinggal diam. Dalam
sebuah Rapat Dengar Pendapat (RDP) yang digelar pada Kamis kemarin, perwakilan
legislatif kota Tarakan mendengarkan langsung aspirasi dari Persatuan Guru
Republik Indonesia (PGRI) Tarakan.
Forum tersebut bukan hanya menjadi wadah curhat para guru, tetapi juga momentum untuk menyatukan kekuatan dan merumuskan langkah taktis ke depan. Dalam pertemuan itu, terlihat jelas betapa luka yang ditinggalkan kebijakan ini bukan hanya soal kehilangan materi, melainkan juga runtuhnya harapan dan motivasi.
Herman Hamid, yang juga dikenal sebagai politisi dari Partai Demokrat, menyampaikan bahwa perjuangan ini harus naik satu tingkat lebih tinggi. Ia mengajak seluruh jajaran PGRI se-Kaltara untuk bersatu, memperkuat barisan, dan mengarahkan langkah ke DPRD Provinsi Kalimantan Utara.
“Tentu kami dari DPRD Tarakan mendukung penuh perjuangan ini. Kami ajak PGRI se-Kaltara untuk menyuarakan ini bersama-sama ke provinsi. Kita harus hadir dan mengetuk pintu DPRD Kaltara, menyuarakan bahwa insentif guru bukan hal yang bisa dengan mudah dihapus begitu saja,” tegas Herman.
Mengetuk Pintu Hati Gubernur
Tak hanya sekadar menyuarakan aspirasi, Herman Hamid
berharap bahwa gerakan kolektif ini dapat menggugah Gubernur Kaltara untuk
mengevaluasi kebijakan penghapusan tersebut. Ia menilai bahwa apa yang
dilakukan Pemprov saat ini tidak mencerminkan semangat peningkatan kualitas
pendidikan yang selalu digaungkan.
Lebih jauh lagi, Herman berharap agar insentif guru dapat kembali diakomodasi dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Perubahan tahun 2025. Harapan ini bukan tanpa dasar. Menurut Herman, efisiensi anggaran tidak seharusnya menjadikan kesejahteraan guru sebagai korban utama.
“Seharusnya dengan adanya efisiensi, justru dana yang tersedia bisa digunakan secara lebih optimal untuk mendukung sektor-sektor krusial seperti pendidikan. Kalau kita merujuk pada bunyi Inpres Nomor 1 Tahun 2025 tentang efisiensi, tidak ada arahan yang menyebutkan pemotongan insentif untuk guru,” ujar Herman tegas.
Antara Efisiensi dan Prioritas: Perspektif yang Dipertanyakan
Pertanyaan besar pun menggantung di udara: Apakah benar
penghapusan insentif ini merupakan bagian dari efisiensi anggaran? Atau ada
prioritas lain yang diam-diam menggeser hak para guru?
Herman Hamid tak menutupi rasa skeptisnya. Ia menilai, pemerintah provinsi perlu lebih transparan dalam menyusun dan menyampaikan kebijakan fiskal. Guru-guru yang selama ini mengabdi bukan hanya di kota, tetapi hingga ke pelosok-pelosok terpencil, layak untuk tahu mengapa hak mereka dicabut, dan ke mana dialihkan.
“Kalau alasan efisiensi, seharusnya bisa dibuka secara gamblang. Masyarakat, khususnya para guru, berhak tahu,” ucap Herman.
Efisiensi yang diklaim justru terasa tidak selaras dengan kenyataan di lapangan. Dalam kondisi di mana pendidikan daerah butuh motivasi lebih—terutama dalam menghadapi tantangan digitalisasi dan ketimpangan fasilitas pendidikan di daerah tertinggal—pemotongan insentif bisa menjadi bumerang besar.
Suara dari Barisan Depan: Testimoni Para Guru
Di balik data dan kebijakan, ada wajah-wajah yang terluka.
Seorang guru PAUD di kawasan Sebatik, Nunukan, yang tak ingin disebut namanya,
mengungkapkan bahwa insentif selama ini sangat membantu mencukupi kebutuhan
pokok keluarga.
“Gaji kami sebagai guru honorer tidak seberapa. Kadang hanya cukup untuk biaya transportasi dan kebutuhan pokok seadanya. Insentif itu yang selama ini kami andalkan untuk bertahan. Sekarang hilang, kami bingung harus bagaimana,” ujarnya dengan mata yang sembab.
Senada dengan itu, seorang guru SMP di Malinau juga menyampaikan kekecewaannya. “Kami sudah puluhan tahun mengabdi, bahkan saat belum ada jalan yang layak ke sekolah. Tapi sekarang, seolah negara tidak lagi melihat perjuangan kami.”
Testimoni ini hanya segelintir dari ratusan bahkan ribuan suara lain yang bergema di seluruh Kaltara. Mereka tidak meminta kemewahan, hanya sekadar penghargaan yang layak.
Harapan Menuju APBD Perubahan 2025
Dengan desakan dan solidaritas yang mulai mengkristal, DPRD
Tarakan berharap agar DPRD Kaltara dan Gubernur dapat membuka ruang dialog yang
lebih manusiawi. APBD Perubahan 2025 bisa menjadi momentum untuk memperbaiki
keputusan ini dan membuktikan bahwa pemerintah tidak tuli terhadap suara
rakyat, khususnya para pahlawan tanpa tanda jasa.
“Kita tidak boleh berhenti di sini. Ini bukan soal politik atau sekadar angka-angka dalam laporan keuangan. Ini soal masa depan pendidikan kita. Kalau kita tak dukung guru hari ini, bagaimana kita berharap lahir generasi hebat esok hari?” pungkas Herman.
Perjuangan Belum Usai
Perjuangan guru di Kalimantan Utara kini memasuki babak
penting. Mereka bukan hanya mengajar di kelas, tetapi juga berjuang di ranah
kebijakan. Dukungan dari DPRD Tarakan menjadi angin segar, namun langkah
selanjutnya di DPRD Kaltara dan kantor Gubernur akan menjadi penentu utama.
Satu hal yang pasti: mereka tidak sendiri. Solidaritas yang tumbuh di antara sesama guru, dukungan dari masyarakat, dan keberanian untuk menyuarakan kebenaran telah menjadi nyala api yang tak mudah dipadamkan. Dalam diam mereka menanam, dalam luka mereka tetap mengajar. Kini saatnya, suara mereka didengar dan keadilan ditegakkan.
Sebab bila guru tak lagi dihargai, kepada siapa kita akan titipkan masa depan bangsa?