Dari Insentif ke Lari Maraton: Strategi Unik agar PNS Betah di IKN Nusantara
Pemindahan ibu kota negara dari Jakarta ke Ibu Kota
Nusantara (IKN) di Kalimantan Timur menjadi salah satu agenda besar pemerintah
Indonesia yang ambisius. Namun, di balik megahnya rencana itu, tersimpan
tantangan tak kalah besar: bagaimana membuat para aparatur sipil negara (ASN)
atau pegawai negeri sipil (PNS) mau dan betah pindah ke wilayah yang masih
dalam tahap pembangunan tersebut.
Selama ini, strategi pemerintah berfokus pada penyediaan insentif bagi ASN yang bersedia pindah. Mulai dari tunjangan perumahan, fasilitas kerja baru, hingga insentif keuangan yang menggiurkan. Namun, suara kritis datang dari Gedung DPR RI. Salah satu yang cukup nyeleneh—namun menarik—datang dari Wakil Ketua Komisi II DPR RI, Bahtra Banong.
Dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan RB) serta Otorita Ibu Kota Nusantara (OIKN), Bahtra menyampaikan gagasan yang berbeda dari biasanya. Bukan menambah nominal insentif, melainkan mengajak PNS lari maraton agar mereka bisa merasa betah tinggal dan bekerja di IKN.
Ketika Insentif Tak Lagi Cukup
Pada Selasa, 22 April 2025, ruang rapat di kompleks DPR RI,
Jakarta Pusat, seketika menjadi panggung bagi wacana segar. Bahtra Banong,
politikus yang dikenal vokal dan penuh ide tak biasa, menilai bahwa pendekatan
pemerintah terlalu kaku dan normatif dalam menghadapi persoalan pemindahan ASN
ke IKN.
“Sebagian besar hanya berpikir soal insentif terus supaya ASN atau PNS ini betah di IKN. Bagi saya bukan soal itu,” ujarnya, menandaskan.
Menurut Bahtra, sebesar apapun insentif yang diberikan, jika lingkungan tempat tinggal dan bekerja tidak nyaman, para ASN tetap akan enggan pindah. Ia menganggap pemerintah terlalu fokus pada sisi material, padahal kunci utamanya terletak pada suasana hidup yang menyenangkan dan kegiatan sosial yang merangsang keterlibatan warga.
"Sebanyak apapun kita kasih duit, kalau situasinya nggak nyaman, tetap mereka nggak akan mau pindah," tegasnya.
Gagasan Tak Lazim: Lari Maraton Sebagai Jurus Betah
Lalu, dari mana datangnya ide lari maraton? Bahtra
menuturkan bahwa inspirasi ini muncul dari kunjungan lapangan Komisi II DPR RI
ke IKN beberapa waktu lalu. Ia menilai bahwa suasana alam IKN cukup sejuk dan
segar, sangat cocok untuk dijadikan lokasi berbagai kegiatan luar ruang.
"Kalau buat event di sana, misalnya maraton, pasti orang mau datang. Karena cuacanya sejuk," kata Bahtra, membandingkan IKN dengan lokasi lomba lari terkenal dunia seperti London dan Tokyo.
Ia menggambarkan bahwa banyak pelari Indonesia yang bahkan rela terbang ribuan kilometer ke luar negeri demi bisa ikut dalam event maraton bergengsi, hanya untuk merasakan suasana dan atmosfer yang berbeda. Padahal, menurutnya, IKN bisa menghadirkan nuansa serupa tanpa harus pergi jauh-jauh ke luar negeri.
“Kenapa OIKN nggak berpikir semacam itu? Sehingga PNS kita juga yang pindah ke sana bisa betah,” ujarnya lagi, menyentil kreativitas OIKN yang ia anggap masih kurang inovatif.
Menjawab Tantangan Pindah: Nyaman Dulu, Baru Insentif
Dari perspektif Bahtra, kenyamanan adalah kata kunci yang
sering terlupakan dalam diskursus pemindahan ASN ke IKN. Pemerintah boleh saja
mengucurkan dana besar untuk membangun perumahan, fasilitas kantor, dan
berbagai tunjangan lainnya, tapi tanpa suasana hidup yang menyenangkan, semua
itu bisa berakhir sia-sia.
Bayangkan jika seorang ASN yang terbiasa hidup di Jakarta—dengan berbagai fasilitas, tempat hiburan, dan akses mudah ke berbagai kebutuhan—dipindahkan ke wilayah yang masih berkembang dan cenderung sepi. Meski diberi rumah baru dan tunjangan tinggi, rasa bosan dan keterasingan bisa menghantui mereka. Dalam konteks inilah, ide maraton dan kegiatan luar ruang menjadi relevan.
Bukan sekadar olahraga, event seperti maraton bisa menjadi ajang membangun komunitas, menghidupkan interaksi sosial, dan memperkenalkan sisi menyenangkan dari kehidupan di IKN. Bahkan, dalam jangka panjang, kegiatan semacam ini bisa menjadi daya tarik wisata tersendiri yang menguntungkan secara ekonomi.
Otorita IKN dan Kemenpan RB: Di Antara Rencana dan Kenyataan
Menyikapi usulan tersebut, Menteri PAN-RB, Rini Widyantini,
tetap menyampaikan bahwa saat ini pemindahan ASN ke IKN belum bisa dilakukan.
Ia menegaskan bahwa proses pemindahan yang semula direncanakan mulai setelah
Lebaran, tepatnya 1 April 2025, kini mengalami penundaan.
"Adapun jadwal finalnya (pemindahan ASN ke IKN), kami belum mendapatkan arahan dari Bapak Presiden (Prabowo Subianto). Mengingat peraturan presiden (perpres) mengenai pemindahan sampai hari ini juga belum ditandatangani oleh Bapak Presiden," jelas Rini dalam rapat yang sama.
Penundaan ini memperpanjang ketidakpastian di kalangan ASN. Apalagi, menurut Rini, pemerintah juga akan melakukan penapisan ulang—atau proses seleksi—terhadap ASN yang akan dipindahkan ke IKN. Ini berarti, belum tentu seluruh ASN yang sebelumnya dijadwalkan pindah benar-benar akan ikut relokasi.
“Kami juga sudah siapkan mekanisme terkait penyediaan insentif yang baru akan berpindah. Waktu itu sudah kita siapkan juga masalah insentif, termasuk tunjangan insentif perumahan, ruang pemindahannya, dan lain-lain,” tambahnya.
Namun hingga kini, semua rencana itu masih menunggu restu presiden dalam bentuk Perpres yang resmi. Tanpa dokumen hukum tersebut, semua skema yang sudah disiapkan belum bisa dijalankan.
Menimbang Kembali Strategi Humanis
Jika ditelaah lebih jauh, gagasan Bahtra Banong sebenarnya
merepresentasikan pendekatan yang lebih humanis dan berbasis kebutuhan
psikososial. Ia seolah ingin mengingatkan bahwa manusia bukan sekadar mesin
birokrasi yang bisa dipindahkan begitu saja dengan iming-iming uang dan
fasilitas. Ada faktor kenyamanan emosional, komunitas sosial, dan kepuasan
hidup yang tak bisa dibeli dengan insentif semata.
Dalam hal ini, usulan maraton hanyalah satu contoh dari banyak kemungkinan kegiatan yang bisa dilakukan untuk menciptakan atmosfer kehidupan yang hidup dan menyenangkan di IKN. Mungkin ke depan, pemerintah bisa mengembangkan program kebudayaan, seni, festival kuliner lokal, hingga pembangunan pusat komunitas kreatif di sana.
Apalagi, mengingat bahwa ASN yang dipindahkan bukan hanya orang-orang lajang, melainkan banyak yang telah berkeluarga. Maka penting juga memastikan bahwa anak-anak mereka punya sekolah berkualitas, istri atau suami mereka punya kegiatan yang mendukung, dan kehidupan sosial keluarga bisa berjalan sehat.
Menuju IKN yang Hidup dan Bernyawa
IKN sejatinya bukan hanya proyek infrastruktur, melainkan
proyek sosial dan budaya jangka panjang. Membangun kota bukan cuma soal gedung
tinggi, jalan lebar, atau gedung pemerintahan modern. Lebih dari itu, membangun
kota berarti membangun kehidupan di dalamnya—menyemai interaksi sosial, budaya
lokal, kegiatan warga, hingga kebiasaan baru yang membentuk identitas kota.
Jika sejak awal pemerintah bisa mendekati proyek ini dengan perspektif holistik—menggabungkan insentif ekonomi, kenyamanan lingkungan, dan aktivitas sosial—maka peluang keberhasilan akan jauh lebih besar. Apalagi, IKN dirancang sebagai kota masa depan yang mengusung konsep "smart city" dan "green city". Maka pendekatan pembangunan manusianya juga harus futuristik dan ekologis.
Dari Lari ke Lompatan Besar
Apakah ide maraton bisa membuat ASN betah di IKN? Mungkin
iya, mungkin tidak. Tapi setidaknya, ide itu menunjukkan bahwa perlu pendekatan
segar dan kreatif untuk menyelesaikan persoalan kompleks. Dalam dunia birokrasi
yang sering terjebak pada prosedur dan angka, hadirnya gagasan out of the box
bisa menjadi pemantik perubahan paradigma.
Sebagaimana maraton yang membutuhkan stamina panjang, pembangunan IKN dan proses pemindahan ASN juga membutuhkan ketahanan mental, komitmen jangka panjang, dan semangat kebersamaan. Barangkali, dari lari maraton itu, kita tak hanya mengajak PNS berkeringat di pagi hari, tapi juga mengawali lompatan besar menuju ibu kota yang benar-benar hidup.