BBM Tercemar di Kaltim: Saat Pertamina Harus Tanggung Jawab dan Rakyat Menagih Janji

  

Kalimantan Timur kembali menjadi sorotan nasional, bukan karena pesona alamnya atau geliat pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN), tetapi karena sebuah persoalan serius yang menyangkut hajat hidup orang banyak: pencemaran Bahan Bakar Minyak (BBM). Dalam beberapa pekan terakhir, ratusan warga Kalimantan Timur, khususnya di Kota Samarinda dan sekitarnya, mengeluhkan kerusakan kendaraan mereka. Akar masalahnya? BBM yang mereka beli di SPBU ternyata tercemar.

Masalah ini bukan sekadar urusan teknis mesin atau saringan bahan bakar yang tersumbat. Ini soal tanggung jawab, soal hak konsumen, dan soal bagaimana sebuah perusahaan raksasa sekelas Pertamina menghadapi krisis kepercayaan dari masyarakat yang selama ini menjadi pelanggannya.

 

Awal Mula Gejolak: Mesin Tiba-Tiba Mogok

Cerita dimulai dari keluhan demi keluhan yang muncul di bengkel-bengkel kota. Pemilik mobil dan sepeda motor berbondong-bondong datang, mengeluh karena kendaraan mereka tiba-tiba mogok, pincang, bahkan tidak bisa dihidupkan sama sekali. Beberapa di antara mereka mengira ini hanya kebetulan—barangkali karena aki soak atau filter yang sudah waktunya diganti. Namun, ketika para mekanik mulai menemukan pola—yakni kerusakan yang sama, terjadi di waktu yang hampir bersamaan, dan semuanya berkaitan dengan sistem pembakaran BBM—muncullah dugaan bahwa bahan bakar yang mereka gunakan mengandung masalah.

Keluhan masyarakat ini pun segera mencuat ke permukaan, dan sampai ke telinga Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi, dan UMKM Kalimantan Timur (Disperindagkop Kaltim). Kepala dinasnya, Heni Purwaningsih, mengonfirmasi bahwa instansinya menerima laporan dari sekitar 650 warga yang merasa dirugikan akibat penggunaan BBM yang diduga tercemar.

 

Tanggung Jawab Tak Bisa Dihindari: Pertamina Mengiyakan

Dalam wawancara dengan Pro3 RRI pada Jumat (18/4/2025), Heni menyampaikan bahwa Pertamina akhirnya mengakui tanggung jawabnya atas insiden ini. Sebuah pernyataan yang penting, karena sebelumnya sempat ada simpang siur tentang siapa yang harus menanggung kerusakan yang timbul.

"Pertamina komitmen dan bertanggung jawab menyediakan bengkel gratis. Bengkel untuk kendaraan yang terdampak dari BBM ini," tegas Heni.

Artinya, jika masyarakat bisa membuktikan bahwa kerusakan kendaraannya disebabkan oleh penggunaan BBM yang dibeli dari SPBU Pertamina, maka mereka berhak atas perbaikan gratis. Sebuah langkah awal yang baik, meskipun jalan menuju pemulihan kepercayaan masih panjang.

 

Subsidi dari Pemerintah Kota: Menambal Luka Warga

Tak hanya mengandalkan Pertamina, Pemerintah Kota Samarinda pun ikut turun tangan. Dengan segala keterbatasan yang dimiliki, mereka memberikan subsidi kepada warga terdampak. Subsidi ini diharapkan dapat meringankan beban biaya perbaikan yang tidak sedikit. Kendaraan yang rusak akibat BBM tercemar tidak hanya mengalami gangguan ringan seperti penurunan performa, tapi juga sampai harus mengganti pompa bahan bakar, filter, dan komponen lain yang nilainya bisa mencapai jutaan rupiah.

Namun, meskipun ada bantuan dan subsidi, tidak semua proses berjalan mulus. Disperindagkop Kaltim mengakui bahwa hingga kini mereka belum menerima daftar resmi dari Pertamina mengenai bengkel mana saja yang telah ditunjuk untuk menangani perbaikan kendaraan masyarakat. Padahal informasi ini sangat krusial bagi warga yang hendak memperbaiki kendaraan mereka tanpa harus khawatir membayar dari kantong sendiri.

"Kita belum mendapatkan daftar dan lokasi mana yang bisa dituju masyarakat yang terdampak BBM ini," ungkap Heni.

 

Prosedur yang Harus Dijalani Warga

Untuk mendapatkan haknya, masyarakat tak bisa hanya datang dan menunjuk kendaraan mereka sebagai bukti. Ada prosedur yang harus dijalani. Pertama, pengaduan harus dilaporkan ke hotline Pertamina di nomor 135. Selanjutnya, warga harus membawa bukti pembelian BBM dari SPBU, yang biasanya berupa struk atau nota. Bukti ini akan dikaitkan dengan kuitansi perbaikan dari bengkel serta dokumentasi kondisi kendaraan saat mengalami gangguan.

"Penggantiannya nanti meliputi spare part yang terdampak BBM, seperti filter dan pompanya," jelas Heni.

Satu hal yang menjadi sorotan adalah keharusan membawa dokumentasi visual—baik berupa foto atau video—yang menunjukkan bahwa BBM yang digunakan benar-benar mencurigakan. Dalam banyak kasus, warga bahkan harus menyimpan sisa BBM dalam jeriken sebagai bukti fisik. Ini menambah tantangan tersendiri bagi masyarakat yang tidak terbiasa mendokumentasikan kerusakan kendaraan mereka secara sistematis.

 

Mediasi dan Jalan Hukum: BPSK Turun Tangan

Dengan semakin banyaknya laporan, Disperindagkop pun mengambil langkah lebih jauh: menggandeng Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK). BPSK memiliki wewenang untuk memfasilitasi mediasi antara konsumen dan pelaku usaha—dalam hal ini Pertamina—agar ditemukan solusi yang adil dan tidak memberatkan salah satu pihak.

"Dari pengaduan-pengaduan yang masuk tersebut, kami melakukan sidang BPSK untuk memediasi dan memanggil beberapa pihak yang terkait," terang Heni.

Langkah ini menunjukkan keseriusan pemerintah daerah dalam melindungi konsumen. Ini juga menjadi panggung bagi masyarakat yang selama ini merasa kecil di hadapan korporasi besar, untuk menyuarakan haknya secara sah dan legal.

 

Apa yang Sebenarnya Terjadi? Dugaan dan Misteri Kandungan BBM

Hingga kini, belum ada pernyataan resmi dari Pertamina mengenai penyebab pasti pencemaran BBM ini. Apakah karena kesalahan saat distribusi? Apakah ada kontaminasi di kilang? Ataukah masalah muncul saat pengangkutan BBM ke SPBU? Pertanyaan-pertanyaan ini masih menggantung dan menunggu investigasi mendalam.

Namun yang jelas, kualitas BBM sangat memengaruhi kinerja mesin. BBM yang tercemar—misalnya dengan kandungan air, partikel logam, atau zat kimia lain yang tidak seharusnya ada—dapat merusak sistem injeksi, menyumbat filter, bahkan merusak piston dan ruang bakar. Artinya, bukan hanya mogok sesaat, tetapi potensi kerusakan jangka panjang pada kendaraan sangat mungkin terjadi.

 

Konsumen Harus Lebih Cerdas dan Kritis

Kasus ini juga memberikan pelajaran penting bagi masyarakat: pentingnya menjadi konsumen yang kritis dan tidak ragu untuk bersuara. Dalam kondisi normal, banyak konsumen yang memilih diam karena merasa prosedur klaim terlalu rumit atau menganggap kerusakan sebagai nasib buruk semata. Namun dengan adanya 650 laporan yang berhasil dikumpulkan, terbukti bahwa kekuatan kolektif bisa mendorong perusahaan besar untuk bertindak.

Masyarakat juga diimbau untuk mulai membiasakan diri menyimpan bukti pembelian BBM, terutama jika kendaraan mereka mulai menunjukkan gejala tidak normal usai pengisian. Ini bukan hanya untuk keperluan pengaduan, tetapi juga sebagai bagian dari literasi konsumen yang sehat dan bertanggung jawab.

 

Bukan Sekadar BBM, Tapi Soal Kepercayaan

Insiden pencemaran BBM di Kalimantan Timur ini menyisakan banyak catatan. Di satu sisi, kita melihat respon cepat pemerintah daerah yang berpihak pada warganya, serta pengakuan tanggung jawab dari Pertamina sebagai perusahaan negara. Namun di sisi lain, belum maksimalnya koordinasi dan informasi, lambatnya pendistribusian data bengkel rekanan, hingga prosedur klaim yang belum sepenuhnya familiar di kalangan masyarakat, menjadi tantangan tersendiri.

Yang jelas, ini bukan hanya soal bensin yang tercemar. Ini soal kepercayaan—antara rakyat dan negara, antara konsumen dan produsen, antara pengguna dan penyedia layanan. Ketika kepercayaan itu retak, maka dibutuhkan transparansi, kejujuran, dan itikad baik untuk memperbaikinya.

Pertamina kini dihadapkan pada tugas berat: bukan hanya mengganti spare part kendaraan yang rusak, tapi juga merestorasi kepercayaan publik yang sempat goyah. Dan itu, sering kali, jauh lebih sulit dari sekadar mengganti filter bahan bakar.

Next Post Previous Post