Warga Dayak Gugat Jangka Waktu Hak Atas Tanah di IKN: Ancaman bagi Generasi Mendatang?
Persoalan hak atas tanah di Ibu Kota Nusantara (IKN) kembali
menjadi perbincangan panas setelah seorang warga asli Dayak, Stepanus Febyan
Babaro, mengajukan uji materi terhadap aturan pemberian hak atas tanah hingga
100 tahun. Gugatan ini disampaikan ke Mahkamah Konstitusi (MK) dengan perkara
nomor 185/PUU-XXII/2024. Menurut Stepanus dan kuasa hukumnya, kebijakan ini
berpotensi mengorbankan kepentingan generasi mendatang serta mengancam hak
masyarakat adat atas tanah leluhur mereka.
Sidang panel pertama atas gugatan ini digelar oleh MK pada Selasa (4/3/2025). Dalam sidang tersebut, kuasa hukum Stepanus, Leonardo Olefins Hamonangan, menyampaikan keberatan kliennya terhadap ketentuan dalam Pasal 16A Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2023 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang IKN. Pasal tersebut mengatur pemberian Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB), dan Hak Pakai dengan jangka waktu yang dianggap terlalu lama, yakni mencapai 100 tahun.
Dampak Kebijakan Tanah di IKN terhadap Masyarakat Adat
Salah satu kekhawatiran utama yang diungkapkan oleh pemohon adalah potensi tersisihnya masyarakat adat dari tanah mereka sendiri. Dengan kebijakan yang memungkinkan investor mendapatkan hak atas tanah selama hampir satu abad, peluang bagi masyarakat adat untuk mempertahankan atau mendapatkan kembali hak atas tanahnya menjadi semakin kecil.
Menurut pasal yang digugat, HGU dapat diberikan hingga 95 tahun dalam satu siklus pertama dan dapat diperpanjang untuk siklus kedua dengan durasi yang sama, sehingga totalnya mencapai 190 tahun. Sementara itu, HGB dan Hak Pakai diberikan dengan jangka waktu maksimal 80 tahun dalam satu siklus dan bisa diperpanjang hingga 160 tahun. Leonardo menyebutkan bahwa aturan ini cenderung lebih menguntungkan investor dibandingkan dengan masyarakat adat, yang secara turun-temurun telah hidup dan menggantungkan kehidupan mereka pada tanah tersebut.
“Pemohon merasa cemas dan khawatir bahwa pemberian jangka waktu hak atas tanah yang sangat lama ini akan menghilangkan hak masyarakat adat untuk mengakses tanah mereka sendiri di masa depan. Tanah yang seharusnya menjadi warisan leluhur justru berpotensi dikuasai oleh pihak luar, baik dari dalam maupun luar negeri,” ujar Leonardo.
Pasal Kontroversial dalam UU IKN
Pasal yang digugat dalam uji materi ini adalah Pasal 16A ayat (1), (2), dan (3) dari UU IKN, yang menyebutkan bahwa:
- HGU diberikan dengan jangka waktu maksimal 95 tahun dalam satu siklus, dan dapat diperpanjang untuk siklus kedua dengan jangka waktu yang sama.
- HGB diberikan dengan jangka waktu maksimal 80 tahun dalam satu siklus, dan dapat diperpanjang untuk siklus kedua dengan durasi yang sama.
- Hak Pakai diberikan dengan jangka waktu maksimal 80 tahun dalam satu siklus, dan dapat diperpanjang untuk siklus kedua dengan durasi yang sama.
Jika aturan ini diberlakukan, maka tanah yang diberikan haknya pada tahun 2025 dapat tetap berada dalam penguasaan pihak tertentu hingga tahun 2120 atau bahkan lebih lama. Pemohon menilai bahwa hal ini tidak sejalan dengan prinsip keadilan dan perlindungan terhadap masyarakat hukum adat.
Ancaman bagi Generasi Mendatang
Salah satu alasan utama pengajuan uji materi ini adalah potensi dampak jangka panjang terhadap generasi mendatang. Dengan adanya hak kepemilikan tanah dalam jangka waktu yang panjang, masyarakat setempat, terutama generasi muda Dayak, akan kehilangan akses terhadap lahan mereka sendiri.
“Jika seorang investor mendapatkan HGU pada tahun 2025 dengan jangka waktu 95 tahun, maka hak tersebut baru akan berakhir pada tahun 2120. Padahal, dalam periode tersebut, kebutuhan masyarakat terhadap tanah mungkin telah berubah drastis. Jika lahan ini sudah dikuasai oleh pihak tertentu, masyarakat lokal akan kehilangan kesempatan untuk menggunakannya,” jelas Leonardo.
Selain itu, aturan ini juga berisiko mengubah struktur sosial masyarakat adat yang selama ini berbasis pada kepemilikan komunal dan kearifan lokal dalam mengelola tanah. Dengan masuknya investasi besar-besaran, ada kemungkinan terjadi eksploitasi sumber daya yang tidak memperhitungkan keberlanjutan lingkungan dan budaya masyarakat adat.
Kritik terhadap Kebijakan Pemerintah
Salah satu aspek yang menjadi sorotan dalam uji materi ini adalah latar belakang pembuatan kebijakan tersebut. Mantan Presiden Joko Widodo (Jokowi) pernah menyatakan bahwa pemberian hak tanah dalam jangka panjang bertujuan untuk menarik lebih banyak investor ke IKN. Namun, kebijakan ini tidak secara eksplisit mengatur batasan bagi pihak asing dalam kepemilikan hak atas tanah, sehingga dikhawatirkan membuka celah bagi dominasi asing di wilayah tersebut.
“UU IKN dan Perpres Nomor 75 Tahun 2024 tentang Percepatan Pembangunan IKN tidak secara jelas mengatur siapa saja yang berhak memiliki HGU, HGB, dan Hak Pakai di IKN. Hal ini membuka kemungkinan bagi perusahaan atau individu asing untuk menguasai lahan dalam jangka waktu yang sangat panjang, bahkan lebih lama dari satu generasi masyarakat adat sendiri,” ujar Leonardo.
Permintaan Perubahan Jangka Waktu Hak Atas Tanah
Dalam petitumnya, pemohon meminta MK untuk menyatakan bahwa Pasal 16A ayat (1), (2), dan (3) UU IKN bertentangan dengan UUD 1945 atau setidaknya dinyatakan inkonstitusional secara bersyarat.
Sebagai alternatif, pemohon mengusulkan perubahan dalam jangka waktu pemberian hak atas tanah sebagai berikut:
- HGU maksimal 25 tahun dan dapat diperpanjang 25 tahun.
- HGB maksimal 30 tahun dan dapat diperpanjang 20 tahun.
- Hak Pakai maksimal 25 tahun dan dapat diperpanjang 25 tahun.
Usulan ini dianggap lebih adil dan mempertimbangkan
keseimbangan antara kepentingan investasi dan hak masyarakat adat atas tanah.
Tanggapan dari Mahkamah Konstitusi
Dalam persidangan, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih menyoroti bahwa pemohon perlu memperjelas kedudukan hukumnya agar permohonan dapat diproses lebih lanjut. Menurutnya, meskipun isu yang diajukan menarik, legal standing pemohon masih perlu diperkuat.
“Hanya sekilas disebutkan bahwa pemohon didukung oleh SK pengangkatan sebagai masyarakat adat Dayak, tetapi tidak ada uraian yang jelas mengenai kerugian hak konstitusional yang dialami masyarakat adat akibat aturan ini. Jika tidak diperjelas, permohonan ini bisa berhenti di tahap legal standing,” tegas Enny.
Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur juga meminta pemohon untuk lebih memperjelas kedudukan hukumnya serta merumuskan alasan permohonan secara lebih tajam agar dapat dipertimbangkan lebih lanjut oleh majelis hakim.
Menanggapi hal ini, Ketua Majelis Hakim Konstitusi, Arief Hidayat, memberikan waktu 14 hari kepada pemohon untuk memperbaiki permohonannya. Perbaikan ini harus disampaikan kepada MK paling lambat pada Senin, 17 Maret 2025.
Kasus ini menyoroti tantangan besar yang dihadapi masyarakat adat dalam mempertahankan hak atas tanah mereka di tengah ambisi pembangunan IKN. Dengan aturan yang lebih berpihak kepada investor, ada kekhawatiran bahwa masyarakat lokal akan semakin terpinggirkan.
Langkah yang diambil oleh Stepanus Febyan Babaro dan tim hukumnya merupakan bagian dari perjuangan yang lebih luas untuk memastikan bahwa pembangunan IKN tidak hanya menguntungkan segelintir pihak, tetapi juga mempertimbangkan hak dan masa depan masyarakat adat serta generasi mendatang.