Wagub Kalbar Krisantus Berang: Barcode Pertalite Dinilai Tak Berguna dan Rugikan Rakyat!
Pontianak – Wakil Gubernur Kalimantan Barat (Kalbar),
Krisantus Kurniawan, melontarkan kritik pedas terhadap kebijakan penggunaan
barcode untuk pembelian bahan bakar minyak (BBM) jenis Pertalite. Ia menegaskan
bahwa aturan ini lebih banyak mudarat daripada manfaat serta hanya akan
memperumit kehidupan masyarakat.
Pernyataan tegas ini ia sampaikan dalam acara ramah tamah dan buka puasa bersama jajaran Pemerintah Provinsi (Pemprov) Kalbar di Pendopo Gubernur, Kota Pontianak. Di hadapan para pejabat dan tamu yang hadir, Krisantus menolak mentah-mentah penerapan sistem barcode yang menurutnya tidak masuk akal.
“Saya tegaskan saya tidak ingin ada barcode untuk pembelian Pertalite, tidak ada barcode-barcode lagi di Kalbar. Jadi kalau isi minyak di SPBU, masuk saja, tidak perlu ribet. Tidak ada faedahnya itu barcode-barcode,” ujar Krisantus dengan nada penuh ketegasan.
Pernyataan Wagub ini sontak mendapat perhatian luas dari berbagai pihak, terutama masyarakat yang selama ini merasakan dampak langsung dari kebijakan barcode. Sebagian masyarakat mengeluhkan sistem ini karena menambah waktu antrean dan merepotkan pengisian BBM di SPBU.
Barcode Pertalite Dinilai Percepat Peredaran BBM Oplosan
Lebih jauh, Krisantus mengungkapkan kecurigaannya bahwa kebijakan barcode ini justru berpotensi memperlancar peredaran BBM oplosan. Menurutnya, alih-alih mengontrol distribusi BBM, barcode malah menjadi celah bagi mafia untuk memainkan pasokan bahan bakar.
“Barcode hanya semata-mata untuk melindungi agar minyak
oplosan itu cepat habis terjual,” tegasnya.
Pernyataan ini menyiratkan adanya indikasi kuat bahwa kebijakan ini lebih banyak menguntungkan pihak tertentu daripada masyarakat umum. Wagub menilai bahwa regulasi semacam ini tidak memberikan solusi nyata bagi persoalan distribusi BBM bersubsidi.
Maraknya Praktik Oplosan dan Kasus Korupsi di Pertamina
Selain mengkritik kebijakan barcode, Krisantus juga menyoroti kasus mega korupsi yang mengguncang tubuh Pertamina. Ia menyebut bahwa salah satu dampak dari kasus tersebut adalah maraknya praktik pengoplosan BBM di berbagai daerah, termasuk di Kalbar.
“Coba saya dikasih gaji segitu, bisa gila saya. Bingung mau pakai uangnya buat apa,” celetuk Krisantus, yang sontak disambut gelak tawa hadirin.
Namun, ia segera kembali serius dan melanjutkan kritikannya. Menurutnya, ironis sekali bahwa para pejabat dengan gaji selangit masih tega melakukan korupsi. Ia bahkan mengungkapkan adanya dugaan kuat bahwa Pertalite yang dioplos menjadi Pertamax sudah beredar luas di Kalbar.
“Banyak Pertamax oplosan beredar di Kalbar. Mungkin mobil Pak Gubernur juga sudah diisi Pertamax oplosan. Mobil Wakil Gubernur, saya yakin juga sudah. Mobil Pak Sekda, wah, saya lihat sudah mulai batuk-batuk gara-gara diisi Pertamax oplosan,” ujarnya dengan nada menyindir.
Krisantus menegaskan bahwa informasi ini bukan sekadar asumsi, melainkan berdasarkan data yang ia kantongi. Ia mengklaim memiliki bukti bahwa praktik oplosan BBM telah berlangsung lama dan semakin meluas akibat lemahnya pengawasan.
Masyarakat Keluhkan Sistem Barcode
Keluhan masyarakat terkait penerapan barcode bukanlah hal baru. Sejak pertama kali diberlakukan, sistem ini sudah menuai banyak kontroversi. Masyarakat menilai bahwa prosedur pengisian BBM menjadi lebih ribet karena harus mendaftarkan kendaraan mereka dan memindai barcode setiap kali mengisi bensin.
Seorang warga Pontianak, Rahmat (42), mengaku keberatan dengan kebijakan ini. Menurutnya, sistem barcode hanya memperlambat proses pengisian bahan bakar, terutama saat antrean panjang.
“Sebelumnya tinggal datang, bayar, isi, selesai. Sekarang harus scan barcode, kadang sistemnya error, bikin antrean makin panjang. Saya heran, buat apa ribet-ribet kayak gini?” ujar Rahmat.
Senada dengan Rahmat, seorang pengendara motor bernama Lina (31) juga menyatakan ketidakpuasannya. Ia mengeluhkan bahwa sistem ini tidak fleksibel dan justru menyulitkan masyarakat kecil yang sering menggunakan kendaraan berbeda untuk bekerja.
“Kadang saya pinjam motor saudara atau teman buat kerja, tapi kalau barcode-nya beda, nggak bisa beli. Harus pakai kendaraan yang terdaftar. Ini bikin susah masyarakat kecil,” keluhnya.
Dukungan dan Penolakan dari Berbagai Pihak
Pernyataan keras Krisantus terkait barcode BBM mendapat respons beragam. Beberapa pihak mendukung langkah Wagub Kalbar yang berani menentang kebijakan yang dinilai tidak pro-rakyat, sementara yang lain berpendapat bahwa barcode masih bisa menjadi alat kontrol distribusi BBM jika diterapkan dengan sistem yang lebih baik.
Ketua DPRD Kalbar, Muhammad Taufik, menyatakan bahwa meskipun barcode memiliki kelemahan, tujuannya sebenarnya untuk memastikan BBM bersubsidi tepat sasaran.
“Kalau mau menghapus barcode, perlu ada solusi lain agar subsidi BBM tidak jatuh ke tangan yang salah. Jangan sampai nanti malah makin banyak yang menyalahgunakan Pertalite untuk kepentingan bisnis ilegal,” ujarnya.
Di sisi lain, pengamat kebijakan energi dari Universitas Tanjungpura, Dr. Firman Hidayat, menilai bahwa barcode sebenarnya bisa menjadi solusi yang baik jika sistemnya diperbaiki.
“Sistem barcode perlu perbaikan, terutama dalam aspek teknis dan kemudahan akses bagi masyarakat. Namun, jika langsung dihapus tanpa solusi pengganti, maka distribusi BBM bersubsidi bisa semakin tidak terkontrol,” kata Dr. Firman.
Wagub Kalbar: “Kami Tidak Ingin Memperumit Hidup Rakyat”
Menutup pernyataannya, Krisantus menegaskan bahwa Pemprov Kalbar akan selalu berpihak kepada masyarakat. Ia tidak ingin kebijakan yang diterapkan justru menambah beban rakyat, apalagi di tengah kondisi ekonomi yang masih sulit.
“Kami bukan pemimpin yang senang mempersulit rakyat. Kami ingin semua dimudahkan,” pungkasnya.
Dengan pernyataan ini, tampaknya polemik terkait barcode BBM masih akan terus bergulir. Apakah pemerintah pusat akan meninjau ulang kebijakan ini, atau justru tetap mempertahankannya dengan sejumlah perbaikan? Yang jelas, masyarakat Kalimantan Barat kini menantikan langkah konkret dari pemerintah dalam memastikan distribusi BBM yang adil dan transparan.