Tarif Selangit di Sungai Sebakis: Rp 500.000 untuk Dua Menit Menyeberang, Masyarakat Nunukan Mengeluh
![]() |
Foto : Kompas |
Nunukan, Kalimantan Utara – Di tengah derasnya arus
pembangunan dan modernisasi infrastruktur di berbagai pelosok negeri, warga
Sebakis di Kabupaten Nunukan masih harus bergantung pada fasilitas
penyeberangan sungai yang jauh dari kata layak dan berbiaya tinggi. Dengan
jarak tempuh hanya sekitar 100 meter dan waktu perjalanan kurang dari dua
menit, masyarakat setempat harus merogoh kocek hingga Rp 500.000 untuk bisa
bolak-balik melintasi Sungai Sebakis.
Keluhan ini diungkapkan oleh Acho, seorang pedagang sembako yang rutin menggunakan jalur penyeberangan ini untuk keperluan dagangnya. "Lamanya sudah begini ini. Cobalah pemerintah pikirkan bagaimana menyediakan jembatan penyeberangan. Bukan juga jauh ini barang, sekitar 100 meter saja," ujarnya dengan nada kecewa kepada wartawan, Senin (10/3/2025).
Acho bukan satu-satunya warga yang mengeluhkan mahalnya tarif penyeberangan ini. Puluhan kendaraan melintasi jalur tersebut setiap harinya, baik kendaraan pribadi maupun kendaraan yang membawa hasil bumi dan barang dagangan. Namun, besarnya biaya yang harus dikeluarkan menjadi beban berat bagi warga setempat, yang mayoritas bekerja sebagai petani, pedagang kecil, dan buruh perkebunan.
"Paling bensinnya habis setengah gelas saja. Tapi bayarnya mahal sekali. Bolak-balik saya bayar Rp 500.000," imbuh Acho.
Kondisi Wilayah Sebakis
Sebakis sendiri merupakan sebuah wilayah yang cukup unik. Terletak di Kecamatan Sebuku, daerah ini dikelilingi oleh perkebunan kelapa sawit yang luas dan dihuni oleh banyak transmigran yang menetap sejak beberapa dekade lalu. Lokasinya yang terpisah dari pusat Kabupaten Nunukan membuat akses transportasi menjadi krusial bagi mobilitas masyarakat setempat.
Menurut Acho, aktivitas penyeberangan ini sudah berlangsung sejak lama. Ia sendiri mulai berdagang di Sebakis pada tahun 2011 dan sejak saat itu, tidak banyak perubahan yang terjadi dalam sistem transportasi di sana. Beberapa video yang ia kirimkan kepada wartawan menunjukkan kapal-kapal kayu yang melayani penyeberangan bagi warga dan kendaraan. Kapal-kapal ini biasanya menunggu hingga beberapa orang berkumpul sebelum berangkat ke seberang sungai, sementara untuk kendaraan, ada kapal kayu khusus yang disiapkan.
Tidak Ada Jembatan, Biaya Hidup Mahal
Ketiadaan jembatan yang menghubungkan Sebakis dengan Pembeliangan membuat masyarakat harus bergantung sepenuhnya pada jasa penyeberangan ini. Alternatif jalur darat memang ada, tetapi jaraknya jauh lebih panjang dan membutuhkan waktu lebih lama. Pilihan yang tersedia pun sangat terbatas, memaksa warga membayar harga yang tinggi untuk bisa menyeberang dengan cepat.
"Kalau ada jembatan, bisa jalan ekonomi masyarakat Sebakis. Mereka tidak terus terjebak di Sebakis, seperti sekarang," tambah Acho.
Ketergantungan pada transportasi air ini juga berdampak pada harga-harga barang di wilayah Sebakis. Sebagai pedagang sembako, Acho mengungkapkan bahwa harga kebutuhan pokok di Sebakis bisa jauh lebih mahal dibandingkan dengan daerah lain, karena biaya transportasi yang tinggi. Hal ini semakin memperparah kondisi ekonomi masyarakat yang sudah terdampak oleh berbagai faktor lain, seperti keterbatasan lapangan pekerjaan dan minimnya infrastruktur dasar.
Pemerintah Angkat Bicara
Menanggapi keluhan masyarakat, Kepala Dinas Perhubungan (Dishub) Kabupaten Nunukan, Muhammad Amin, mengonfirmasi bahwa pihaknya sudah menerima laporan mengenai tarif tinggi yang dikenakan dalam aktivitas penyeberangan di Sungai Sebakis.
“Betul ada informasi itu, dan memang menurut info yang saya terima dari Kabid saya, tarifnya segitu,” ujar Amin.
Pihaknya juga telah melakukan penelusuran untuk mengetahui status kepemilikan dan operasional fasilitas penyeberangan ini. Berdasarkan hasil sementara, diketahui bahwa lokasi penyeberangan tersebut sebelumnya merupakan kawasan milik perusahaan PT Adindo Hutani Lestari. Fasilitas ini awalnya dibangun untuk pengangkutan kayu dan menjadi jalur alternatif tercepat dari Sebakis menuju Pembeliangan di Sebuku.
“Kalau via darat jauh memutar memang. Kalau lewat sungai tinggal menyeberang. Kami masih dalami, apakah ini masih fasilitas perusahaan, atau memang dikomersilkan masyarakat,” lanjutnya.
Amin juga menegaskan bahwa pemerintah daerah tidak pernah memberikan izin resmi untuk aktivitas penyeberangan ini. Artinya, tarif yang dikenakan kepada masyarakat tidak berada di bawah regulasi pemerintah daerah, melainkan sepenuhnya ditentukan oleh operator penyeberangan yang beroperasi di lokasi tersebut.
Persoalan tarif penyeberangan yang tinggi di Sungai Sebakis hanyalah satu dari sekian banyak masalah infrastruktur di wilayah perbatasan Indonesia. Ketimpangan dalam pembangunan masih sangat terasa, terutama di daerah-daerah yang jauh dari pusat pemerintahan. Warga Sebakis dan sekitarnya berharap agar pemerintah dapat segera turun tangan untuk mencari solusi yang lebih adil dan berkelanjutan.
Pembangunan jembatan menjadi salah satu opsi yang paling diharapkan oleh masyarakat. Jika jembatan dapat dibangun, bukan hanya biaya transportasi yang bisa ditekan, tetapi juga akan membuka lebih banyak peluang ekonomi bagi warga setempat. Mobilitas yang lebih mudah akan memungkinkan masyarakat untuk mengakses pasar yang lebih luas, meningkatkan perdagangan, serta memperbaiki kesejahteraan secara keseluruhan.
Namun, hingga saat ini, belum ada rencana konkret dari pemerintah daerah maupun pusat untuk membangun jembatan di lokasi tersebut. Warga hanya bisa berharap bahwa keluhan mereka akan mendapat perhatian yang serius dari pihak berwenang.
“Kalau pemerintah benar-benar peduli, tolonglah pikirkan solusi jangka panjang untuk kami. Jangan biarkan kami terus membayar mahal hanya untuk menyeberang sungai yang tidak seberapa ini,” pungkas Acho dengan penuh harap.
Dengan kondisi yang masih menggantung, masyarakat Sebakis tetap bertahan dengan realitas yang ada. Setiap hari, mereka harus mengeluarkan biaya besar untuk menyeberang, sambil menunggu keajaiban dari pemerintah yang mungkin akan memberikan mereka akses yang lebih baik di masa depan. Entah kapan itu akan terjadi, namun satu hal yang pasti: masyarakat Sebakis tidak bisa terus hidup dalam keterbatasan seperti ini selamanya.