Penertiban Lahan Sawit di Kawasan Hutan Kalteng: Menyeimbangkan Hukum, Lingkungan, dan Hak Masyarakat

  

Penertiban lahan perkebunan sawit yang masuk dalam kawasan hutan di Kalimantan Tengah (Kalteng) kembali menjadi sorotan publik. Pemerintah melalui Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (PKH) telah mengambil langkah konkret dengan menyita ribuan hektare lahan yang dikuasai oleh perusahaan sawit tanpa izin resmi. Namun, kebijakan ini menimbulkan berbagai reaksi, baik dari pemerintah daerah, aktivis lingkungan, hingga masyarakat yang terdampak langsung oleh keberadaan perkebunan sawit.

Dengan cakupan yang luas dan dampak besar, penertiban ini bukan hanya tentang penerapan hukum, tetapi juga mencakup aspek keadilan sosial dan pemulihan ekosistem. Seperti apa prosesnya? Bagaimana dampaknya terhadap masyarakat dan lingkungan? Berikut laporan selengkapnya.

 

Eksekusi Penertiban: Ribuan Hektare Lahan Sawit Disita

Dalam upaya mengembalikan fungsi kawasan hutan di Kalteng, pemerintah telah menyita lahan sawit seluas 3.798 hektare milik PT Agro Bukit di Kabupaten Kotawaringin Timur. Selain itu, pada 18 Maret 2025, pemerintah juga menertibkan 12.069,39 hektare lahan yang dikuasai oleh PT Globalindo Alam Perkasa di wilayah yang sama.

Langkah ini merupakan implementasi dari Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 5 Tahun 2025 tentang Penertiban Kawasan Hutan, yang menargetkan pembersihan lahan perkebunan yang beroperasi di dalam kawasan hutan tanpa izin. Pemerintah telah menunjuk PT Agrinas Palma Nusantara, perusahaan hasil rebranding BUMN PT Indra Karya, untuk mengelola lahan-lahan yang disita tersebut.

Kepala Dinas Perkebunan (Disbun) Kalteng, Rizky Badjuri, menegaskan bahwa pemerintah daerah menyambut baik langkah ini. Menurutnya, berdasarkan data dari Badan Informasi Geospasial (BIG), setidaknya terdapat 312 ribu hektare lahan sawit yang berada dalam kawasan hutan di Kalteng.

"Gubernur Kalteng dan kami dari perangkat dinas mendukung penuh penertiban ini. Harapannya, tata kelola perkebunan sawit ke depan bisa lebih baik dan berkelanjutan," ujar Rizky.

Namun, meskipun kebijakan ini bertujuan baik, berbagai tantangan masih mengiringi proses penertiban ini.

 

Konflik dengan Masyarakat: Hak atas Kebun Plasma 20 Persen

Langkah penertiban lahan sawit tidak lepas dari polemik dengan masyarakat setempat. Salah satu isu utama yang muncul adalah hak atas kebun plasma, yakni kewajiban perusahaan untuk mengalokasikan 20 persen lahan perkebunan untuk masyarakat lokal.

Direktur organisasi lingkungan Save Our Borneo (SOB), Habibi, menyoroti pentingnya memastikan bahwa hak masyarakat tidak terabaikan dalam proses penyitaan lahan sawit.

"Banyak masyarakat yang selama ini menuntut hak mereka atas kebun plasma 20 persen, namun belum mendapat kejelasan dari perusahaan. Ketika lahan disita, pemerintah juga harus memastikan agar masyarakat tetap memperoleh hak mereka," ujar Habibi.

Menurutnya, jika hanya sekadar menyita dan memasang plang di lahan tersebut, hal itu tidak menyelesaikan akar permasalahan di lapangan. Pemerintah perlu memikirkan mekanisme pengelolaan pasca-penyitaan agar tidak menimbulkan ketidakpastian bagi warga yang bergantung pada sektor perkebunan sawit.

 

Dampak terhadap Lingkungan: Kerusakan yang Harus Dipulihkan

Selain konflik sosial, perambahan kawasan hutan untuk perkebunan sawit juga telah menimbulkan dampak lingkungan yang signifikan. Hilangnya tutupan hutan, berkurangnya daya tampung lingkungan, serta degradasi tanah dan sumber air menjadi isu utama yang dihadapi Kalteng.

Menurut laporan SOB, konversi lahan hutan menjadi perkebunan sawit telah menyebabkan hilangnya keanekaragaman hayati dan meningkatkan risiko bencana ekologis seperti banjir dan kebakaran hutan. Habibi menegaskan bahwa selain menegakkan hukum, pemerintah juga harus berkomitmen terhadap pemulihan ekosistem yang telah rusak.

"Langkah penertiban ini seharusnya tidak hanya berfokus pada penyitaan, tetapi juga memikirkan bagaimana mengembalikan keseimbangan ekologi yang telah terganggu. Jangan sampai lahan yang telah disita dibiarkan begitu saja tanpa ada upaya rehabilitasi lingkungan," ungkapnya.

 

Tantangan dalam Pengawasan dan Penegakan Hukum

Fenomena banyaknya perkebunan sawit yang beroperasi di kawasan hutan menunjukkan lemahnya pengawasan dan penegakan hukum di sektor ini. Banyak perusahaan yang beroperasi tanpa izin resmi, sementara pengawasan dari pemerintah daerah sering kali tidak optimal.

Rizky Badjuri mengakui bahwa masih ada tantangan dalam pengawasan, terutama karena perizinan perkebunan sawit melibatkan berbagai tingkat pemerintahan, mulai dari kabupaten hingga pusat. "Ada yang masuk dalam wilayah kabupaten, ada yang juga menjadi kewenangan provinsi atau pusat. Koordinasi lintas sektor menjadi tantangan tersendiri," ujarnya.

Di sisi lain, masyarakat sipil dan organisasi lingkungan mendesak agar proses penertiban ini tidak berhenti hanya pada beberapa perusahaan besar saja. Menurut mereka, harus ada evaluasi menyeluruh terhadap seluruh perkebunan sawit di Kalteng, termasuk transparansi dalam perizinan dan tata kelola lahan.

 

Masa Depan Tata Kelola Sawit di Kalteng

Penertiban lahan sawit di kawasan hutan Kalteng dijadwalkan berlangsung hingga 25 Maret 2025. Pemerintah diharapkan tidak hanya melakukan penyitaan, tetapi juga memikirkan langkah-langkah lanjutan, seperti:

  • Penyelesaian konflik masyarakat – Memastikan hak masyarakat atas kebun plasma terpenuhi dan menghindari potensi konflik sosial.
  • Pemulihan lingkungan – Melakukan rehabilitasi lahan yang telah mengalami degradasi akibat ekspansi perkebunan sawit.
  • Pengawasan yang lebih ketat – Meningkatkan koordinasi antara pemerintah daerah dan pusat untuk mencegah pelanggaran serupa di masa depan.
  • Transparansi dalam tata kelola – Membuka data mengenai izin dan kepemilikan lahan agar publik bisa ikut mengawasi.

 

Langkah ini bukan hanya sekadar menegakkan hukum, tetapi juga membangun tata kelola sawit yang lebih adil, berkelanjutan, dan berorientasi pada kesejahteraan masyarakat serta kelestarian lingkungan.

Penertiban lahan sawit di kawasan hutan Kalteng merupakan kebijakan penting dalam membangun industri kelapa sawit yang lebih berkelanjutan. Namun, kebijakan ini tidak boleh berhenti pada aspek penegakan hukum semata. Pemerintah perlu memastikan bahwa penyitaan lahan juga membawa dampak positif bagi masyarakat dan lingkungan.

Dengan penyelesaian konflik sosial yang adil dan pemulihan ekosistem yang serius, langkah ini bisa menjadi awal dari perbaikan tata kelola perkebunan sawit di Indonesia. Semua pihak, baik pemerintah, perusahaan, masyarakat, maupun aktivis lingkungan, harus bersinergi untuk mencapai keseimbangan antara kepentingan ekonomi dan keberlanjutan lingkungan.

Previous Post