Kolaborasi Masyarakat dan Pemerintah Kalbar dalam Mencegah Paham LGBT di Lingkungan Pendidikan
Pontianak, 4 Maret 2025 – Dalam upaya membangun lingkungan
pendidikan yang kondusif dan bebas dari pengaruh paham LGBT, Komisi
Perlindungan dan Pengawasan Anak Daerah (KPPAD) Provinsi Kalimantan Barat
menggelar kegiatan bertajuk Komitmen Bersama Pencegahan Paham LGBT di
Lingkungan Pendidikan. Acara yang berlangsung di Gedung Guru, Jalan Ahmad
Marzuki, Pontianak ini dihadiri oleh berbagai elemen masyarakat, termasuk
pemerintah, dunia usaha, akademisi, jurnalis, serta para pendidik dan aktivis
sosial.
Ketua KPPAD Kalbar, Eka Nurhayati Ishak, dalam sambutannya menekankan pentingnya peran bersama dalam mencegah penyebaran paham LGBT di lingkungan pendidikan. Menurutnya, perlindungan anak tidak bisa hanya mengandalkan satu pihak, tetapi harus melibatkan pemerintah, masyarakat, dunia usaha, dan media secara aktif.
"Empat pilar utama dalam penyelenggaraan perlindungan anak harus kita jalankan bersama-sama. Dalam konteks ini, kita tidak hanya berbicara mengenai pencegahan tetapi juga pemulihan bagi anak-anak yang terdampak," ujar Eka.
Lebih lanjut, Eka menambahkan bahwa fenomena LGBT bukanlah sesuatu yang bisa dihilangkan secara total, tetapi dengan adanya upaya konkret dan komitmen bersama, dampaknya bisa diminimalisir. "Hari ini, kita semua berkumpul untuk mendeklarasikan pencegahan LGBT sejak dini. Ini adalah langkah awal yang penting," tegasnya.
Peran DPRD dan Kebijakan Pendidikan
Sebagai salah satu narasumber dalam acara tersebut, Wakil Ketua DPRD Kota Pontianak, Bebby Nailufa, menyampaikan keprihatinannya terhadap perkembangan LGBT di kalangan remaja. Ia menekankan bahwa fenomena ini bukanlah hal yang baru dan telah ada sejak lama.
"LGBT atau kaum sodom sudah ada sejak zaman dahulu. Kita tidak ingin ini menjadi sesuatu yang dianggap normal di kalangan anak-anak dan remaja," katanya.
Dalam rangka menciptakan lingkungan pendidikan yang lebih kondusif, Bebby mengusulkan adanya inovasi dalam pembelajaran religi. Menurutnya, nilai-nilai agama harus diperkuat di sekolah sebagai benteng moral bagi generasi muda.
"Salah satu hal yang bisa kita lakukan adalah mengintegrasikan pembelajaran agama dalam aktivitas sehari-hari di sekolah. Misalnya, membaca Alquran atau Alkitab sebelum memulai pelajaran. Ini bukan sekadar ritual, tetapi cara membangun karakter," ungkapnya.
Bimbingan Konseling sebagai Garda Terdepan
Sementara itu, Ketua Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia (ABKIN) Kalbar, Tri Mega Ralasari, menyoroti pentingnya bimbingan konseling dalam menangani remaja yang sedang mencari jati diri.
"Remaja adalah sasaran empuk karena mereka sedang dalam fase pencarian identitas. Kita harus hadir untuk mereka sebelum mereka mencari jawaban di tempat yang salah," paparnya.
Tri Mega menekankan bahwa guru bimbingan dan konseling (BK) harus lebih aktif dalam membangun komunikasi dengan siswa. Salah satu caranya adalah dengan membuka ruang BK yang lebih leluasa dan melakukan pendekatan langsung melalui kegiatan home visit.
"Pendekatan personal sangat penting. Kita tidak bisa hanya menunggu anak-anak datang ke ruang BK. Sebaliknya, guru BK harus masuk ke kelas-kelas dan melakukan home visit untuk memahami situasi keluarga mereka," katanya.
Peran Media dalam Memberitakan Isu LGBT
Ketua Forum Jurnalis Perempuan Indonesia (FJPI) Kalbar, Dina Prihatini Wardoyo, turut berbicara mengenai tanggung jawab media dalam memberitakan isu LGBT. Ia menekankan pentingnya penerapan kode etik jurnalistik agar tidak menimbulkan stigma negatif atau malah mempopulerkan fenomena tersebut.
"Sering kali kita melihat berita yang secara tidak sengaja mengekspos identitas anak yang terlibat dalam kasus LGBT. Padahal, menurut kode etik jurnalistik, identitas anak harus dilindungi," jelas Dina.
Ia juga mengingatkan bahwa media memiliki peran besar dalam membentuk opini publik, sehingga penting untuk menyajikan informasi dengan perspektif yang mendidik dan tidak tendensius.
Pola Asuh Keluarga sebagai Fondasi Utama
Aktivis pendidikan, Sri Puji Hastuti, menggarisbawahi bahwa faktor keluarga memiliki pengaruh besar terhadap perkembangan anak. Menurutnya, pola asuh yang tidak seimbang dapat mendorong anak ke arah perilaku menyimpang.
"Anak-anak butuh kasih sayang dan perhatian dari kedua orang tua. Jika salah satu pihak terlalu dominan atau justru abai, anak bisa mencari perhatian di tempat lain yang mungkin berisiko bagi perkembangan mereka," ujarnya.
Sri juga mengingatkan bahwa pendidikan karakter tidak bisa sepenuhnya dibebankan kepada sekolah. Orang tua harus berperan aktif dalam membentuk moral anak-anak mereka.
"Kita tidak bisa menyerahkan sepenuhnya tanggung jawab mendidik anak kepada sekolah. Keluarga tetap menjadi benteng utama dalam membangun karakter dan nilai-nilai moral mereka," tegasnya.
Diskusi dalam kegiatan ini menghasilkan beberapa rekomendasi konkret untuk pencegahan paham LGBT di lingkungan pendidikan, di antaranya:
- Memperkuat peran guru BK dengan pendekatan lebih aktif dan personal terhadap siswa.
- Mengintegrasikan pembelajaran nilai-nilai agama dalam kurikulum sekolah secara lebih sistematis.
- Memastikan media menerapkan kode etik jurnalistik dalam memberitakan isu LGBT agar tidak menimbulkan stigma atau malah menjadi ajang promosi.
- Meningkatkan peran keluarga dalam pendidikan karakter anak, dengan menanamkan nilai-nilai moral dan memberikan perhatian yang cukup.
- Melibatkan pemerintah, masyarakat, dan dunia usaha dalam membangun lingkungan pendidikan yang sehat dan kondusif.
Kegiatan ini diakhiri dengan deklarasi komitmen bersama dari
seluruh peserta yang hadir. Deklarasi ini menegaskan bahwa semua pihak siap
berperan aktif dalam menjaga generasi muda dari pengaruh paham LGBT dan
membangun lingkungan pendidikan yang lebih sehat.
Dengan adanya upaya kolaboratif ini, diharapkan langkah pencegahan yang telah dirancang dapat memberikan dampak positif bagi dunia pendidikan di Kalimantan Barat dan menjadi contoh bagi daerah lain di Indonesia.