Hukuman Pencuri dan Pezina di Brunei: Antara Hukum Syariat dan Kontroversi Internasional
![]() |
Sultan Hassanal Bolkiah. Foto : Tempo |
Brunei Darussalam, sebuah negara kecil di Asia Tenggara yang
kaya akan minyak dan gas, telah menarik perhatian dunia sejak mengadopsi hukum
pidana syariat Islam yang ketat. Implementasi hukum ini dimulai secara bertahap
pada tahun 2014, namun baru pada April 2019 hukum tersebut mencapai tahap final
dengan pemberlakuan hukuman-hukuman berat seperti amputasi bagi pencuri dan
rajam bagi pezina.
Langkah ini menuai reaksi beragam dari masyarakat internasional. Sementara pemerintah Brunei berargumen bahwa penerapan hukum syariat merupakan bagian dari identitas nasional yang berlandaskan filosofi Melayu Islam Beraja (MIB), banyak negara, organisasi hak asasi manusia, dan individu berpengaruh yang mengecamnya sebagai pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Artikel ini akan mengulas secara mendalam penerapan hukum ini, hukuman-hukuman yang diberlakukan, serta berbagai tanggapan dari komunitas internasional.
Hukum Syariat di Brunei: Apa yang Diterapkan?
Hukum syariat Islam yang diterapkan di Brunei meliputi berbagai pelanggaran dengan hukuman yang sangat ketat. Beberapa di antaranya adalah:
- Pencurian: Hukuman bagi pencuri adalah amputasi tangan untuk pelanggaran pertama. Jika pencurian diulang, hukuman lebih berat dapat dijatuhkan, termasuk amputasi kaki.
- Perzinaan: Hukuman bagi mereka yang terbukti melakukan zina adalah hukuman mati dengan cara rajam, yaitu dilempari batu hingga tewas. Hukuman ini berlaku untuk pria maupun wanita, termasuk non-Muslim yang berzina dengan Muslim.
Hubungan Sesama Jenis (LGBT): Bagi pria yang terbukti melakukan hubungan seksual sesama jenis, hukuman yang dijatuhkan adalah rajam hingga mati. Sementara itu, bagi wanita lesbian, hukumannya adalah cambuk maksimal 40 kali atau penjara hingga 10 tahun.
Penghinaan terhadap Nabi Muhammad SAW: Pelanggaran ini juga dikenai hukuman mati, berlaku untuk siapa saja, baik Muslim maupun non-Muslim.
Meski tampak sangat keras, penerapan hukum ini tidak serta-merta dilakukan tanpa syarat. Terdapat sejumlah kriteria yang harus dipenuhi sebelum hukuman hadd (hukuman yang telah ditetapkan dalam syariat Islam) dapat dijalankan, seperti kesaksian empat saksi yang terpercaya atau pengakuan langsung dari terdakwa. Jika syarat-syarat ini tidak terpenuhi, hukuman alternatif berupa ta'zir (hukuman yang ditentukan oleh hakim) dapat diberikan.
Kontroversi dan Kecaman Internasional
Sejak diberlakukan, hukum pidana syariat di Brunei telah memicu kecaman luas dari berbagai pihak, terutama organisasi hak asasi manusia dan negara-negara Barat. Amnesty International menyebut kebijakan ini sebagai "kejam dan tidak manusiawi", serta mendesak pemerintah Brunei untuk membatalkannya.
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) juga turut mengecam hukum ini. Sekretaris Jenderal PBB menyatakan bahwa hukuman seperti rajam dan amputasi bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar hak asasi manusia. Selain itu, Departemen Luar Negeri Amerika Serikat mengungkapkan keprihatinannya dan mendesak Brunei untuk menyesuaikan hukum mereka dengan standar hak asasi manusia internasional.
Di sisi lain, masyarakat global pun menunjukkan reaksi yang cukup signifikan. Beberapa selebriti seperti George Clooney dan Elton John memimpin seruan boikot terhadap bisnis-bisnis yang dimiliki oleh Sultan Brunei, termasuk jaringan hotel mewah yang tersebar di berbagai negara. Kampanye boikot ini mendapatkan dukungan luas, termasuk dari berbagai organisasi internasional dan aktivis hak asasi manusia.
Selain itu, beberapa negara mempertimbangkan untuk mengambil langkah-langkah diplomatik guna menekan Brunei agar mencabut hukum-hukum yang dianggap melanggar hak asasi manusia ini. Uni Eropa, misalnya, mengancam akan meninjau kembali hubungan perdagangan dan investasi dengan Brunei sebagai bentuk tekanan.
Pandangan Pemerintah Brunei dan Dampaknya
Di tengah gelombang kritik, pemerintah Brunei tetap teguh pada pendiriannya. Sultan Hassanal Bolkiah, yang merupakan kepala negara sekaligus pemimpin agama di Brunei, menegaskan bahwa penerapan hukum syariat ini merupakan bagian dari upaya memperkuat nilai-nilai Islam di negara tersebut.
Meski demikian, pada tahun 2019, setelah mendapat tekanan besar dari berbagai pihak, Sultan Brunei mengumumkan bahwa hukuman mati untuk pelanggaran tertentu tidak akan segera diterapkan. Langkah ini dianggap sebagai respons terhadap tekanan internasional, meskipun secara hukum, aturan tersebut tetap berlaku dalam sistem perundangan Brunei.
Dari segi ekonomi, penerapan hukum syariat Islam yang ketat ini juga membawa dampak tersendiri. Beberapa investor asing mulai mempertimbangkan ulang investasi mereka di Brunei, terutama sektor pariwisata dan perhotelan yang terdampak oleh kampanye boikot global. Selain itu, beberapa negara mempertanyakan apakah Brunei masih menjadi mitra yang dapat diandalkan dalam berbagai kerja sama ekonomi dan politik.
Perbandingan dengan Negara-Negara Muslim Lainnya
Penerapan hukum syariat di Brunei juga menarik perhatian karena tidak semua negara Muslim memberlakukan aturan seketat ini. Misalnya, Arab Saudi dan Iran menerapkan beberapa aspek hukum syariat, namun dengan variasi dalam implementasinya. Sementara itu, negara-negara seperti Malaysia dan Indonesia hanya menerapkan hukum syariat secara terbatas di wilayah-wilayah tertentu, seperti Aceh di Indonesia yang memiliki qanun jinayat.
Perbedaan pendekatan ini menunjukkan bahwa hukum syariat dapat diinterpretasikan dengan cara yang berbeda tergantung pada konteks sosial, politik, dan budaya di masing-masing negara. Brunei memilih jalur yang lebih ketat dibandingkan banyak negara Muslim lainnya, meskipun tetap menghadapi tantangan dalam implementasinya.
Antara Identitas Nasional dan Hak Asasi Manusia
Hukum pidana syariat Islam di Brunei Darussalam mencerminkan perdebatan klasik antara identitas nasional dan prinsip-prinsip universal hak asasi manusia. Bagi pemerintah Brunei, hukum ini adalah bagian dari upaya memperkuat nilai-nilai keislaman dalam kehidupan masyarakat dan pemerintahan. Namun, bagi banyak negara dan organisasi internasional, kebijakan ini merupakan bentuk pelanggaran terhadap hak asasi manusia yang mendasar.
Dengan meningkatnya tekanan global, Brunei menghadapi dilema besar: mempertahankan hukum ini sebagai bagian dari identitas nasional atau menyesuaikannya dengan norma-norma internasional demi menjaga hubungan baik dengan komunitas global. Apapun keputusannya, penerapan hukum syariat di Brunei akan terus menjadi perdebatan panjang yang menarik perhatian dunia.