Dampak Efisiensi Anggaran: Pembangunan Dua Jembatan di Perbatasan Kaltara Tertunda
Malinau, Kalimantan Utara – Upaya untuk mempercepat
pembangunan infrastruktur di wilayah perbatasan Kalimantan Utara kembali
menemui kendala. Rencana pembangunan dua jembatan utama yang menghubungkan
Malinau ke Krayan, Nunukan, terpaksa ditunda akibat kebijakan efisiensi
anggaran yang ditetapkan pemerintah pusat. Hal ini dipastikan setelah
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), melalui Balai
Pelaksanaan Jalan Nasional (BPJN) Kaltara, gagal mendapatkan alokasi dana untuk
proyek tersebut.
Dua jembatan yang dimaksud adalah Jembatan Binuang di Krayan Tengah dan Jembatan Sungai Semamu yang menghubungkan perbatasan Krayan dengan Mentarang Hulu, Malinau. Kedua infrastruktur ini sejatinya menjadi bagian penting dari rencana pengembangan akses transportasi di kawasan perbatasan. Namun, terbitnya Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 tentang efisiensi anggaran menyebabkan pembiayaan proyek tersebut tidak dapat direalisasikan.
Jembatan yang Vital, Namun Tertunda
Kasi Preservasi BPJN Kaltara, Dani Wiranto, mengungkapkan bahwa rencana pembangunan kedua jembatan tersebut telah diusulkan sejak dua tahun lalu. Bahkan, pihaknya sudah menyiapkan perencanaan dan dokumen yang diperlukan untuk memulai proyek ini pada tahun 2024. Namun, dengan adanya kebijakan baru, realisasi pembangunan pun harus dihentikan sementara waktu.
“Kami sangat berharap jembatan ini segera terbangun karena dampaknya sangat besar bagi masyarakat, terutama di perbatasan. Seluruh perencanaan sudah selesai, tinggal pelaksanaan. Sayangnya, karena ada efisiensi anggaran, proyek ini akhirnya dibekukan,” ujar Dani Wiranto saat ditemui di kantornya.
Hingga kini, belum ada kepastian apakah pembangunan jembatan tersebut akan kembali masuk dalam agenda proyek infrastruktur nasional di tahun-tahun mendatang. Segala keputusan masih bergantung pada kebijakan pemerintah pusat terkait prioritas pembangunan yang akan dijalankan.
Kondisi Eksisting dan Risiko yang Dihadapi Masyarakat
Kedua jembatan yang direncanakan ini sejatinya sangat vital bagi masyarakat yang tinggal di perbatasan. Selama ini, warga Krayan Tengah yang hendak melintas di Binuang hanya mengandalkan sebuah jembatan gantung sempit yang hanya bisa dilalui kendaraan roda dua. Itu pun dengan risiko yang cukup tinggi, terutama saat musim hujan ketika permukaan jembatan menjadi licin dan rawan kecelakaan.
Sementara itu, kondisi lebih ekstrem terjadi di Sungai Semamu. Hingga kini, belum ada jembatan penghubung yang memungkinkan kendaraan atau masyarakat melintas dengan aman. Warga yang ingin menyeberang hanya bisa menggunakan rakit atau perahu kecil dengan risiko keselamatan yang besar. Arus sungai yang deras serta kondisi cuaca yang sering berubah-ubah menjadikan penyeberangan ini sangat berbahaya.
“Masyarakat selama ini bertaruh nyawa setiap kali melintasi Sungai Semamu. Belum lagi kalau ada situasi darurat, seperti pasien yang harus dibawa ke rumah sakit, itu benar-benar menyulitkan,” kata seorang warga Krayan, Markus Tanjang.
Dengan kondisi ini, penundaan pembangunan jembatan tidak hanya memperlambat kemajuan daerah perbatasan tetapi juga mempertaruhkan keselamatan dan kesejahteraan masyarakat setempat.
Dampak Ekonomi dan Sosial Akibat Tertundanya Pembangunan
Selain masalah keselamatan, ketidakhadiran infrastruktur yang memadai juga berdampak besar pada ekonomi masyarakat. Wilayah Krayan dikenal sebagai salah satu penghasil komoditas unggulan, seperti beras Adan, madu hutan, dan produk pertanian lainnya. Sayangnya, sulitnya akses transportasi menyebabkan distribusi hasil pertanian dan perdagangan menjadi terhambat.
Para petani dan pelaku usaha di wilayah ini harus mengeluarkan biaya transportasi yang jauh lebih mahal dibandingkan dengan daerah lain di Kalimantan. Akibatnya, harga barang menjadi tidak kompetitif di pasar luar. Beberapa pengusaha bahkan terpaksa menahan produksi karena sulitnya akses untuk mengirimkan barang keluar dari daerah tersebut.
“Kalau jembatan sudah ada, kami bisa lebih mudah membawa hasil pertanian ke Malinau atau Nunukan. Tapi sekarang, karena transportasi sulit, hasil panen kami sering tidak bisa dijual dengan harga yang baik,” kata petani lokal, Joni Usat.
Dampak sosialnya juga tidak bisa diabaikan. Dengan minimnya akses, masyarakat perbatasan masih kesulitan mendapatkan layanan dasar, seperti kesehatan dan pendidikan. Banyak anak-anak harus menempuh perjalanan jauh dan berisiko untuk bisa bersekolah, sementara pasien yang membutuhkan penanganan medis harus melewati perjalanan yang sulit dan memakan waktu lama untuk mencapai fasilitas kesehatan terdekat.
Harapan Akan Solusi dan Alternatif Lain
Meskipun proyek ini sementara dihentikan, harapan masyarakat tetap tinggi agar pembangunan dapat dilanjutkan di masa mendatang. Beberapa pihak mengusulkan agar pemerintah daerah dan sektor swasta dapat berkolaborasi untuk mencari sumber pendanaan alternatif, termasuk melalui skema kerja sama dengan investor.
Beberapa pengamat infrastruktur menilai bahwa pemerintah perlu mencari cara lain untuk memastikan proyek ini tetap berjalan, meskipun dalam skala yang lebih kecil atau bertahap. Misalnya, membangun jembatan dengan konstruksi yang lebih sederhana terlebih dahulu, atau mengembangkan sistem transportasi sementara yang lebih aman.
“Jika pembangunan dua jembatan ini memang sulit diwujudkan dalam waktu dekat, setidaknya bisa dicarikan solusi sementara. Mungkin dengan memperbaiki jembatan gantung di Binuang agar lebih kokoh atau menyediakan alat transportasi yang lebih aman untuk menyeberangi Sungai Semamu,” ujar Arif Darmawan, seorang pengamat infrastruktur dari Kalimantan.
Sementara itu, pihak BPJN Kaltara tetap berharap agar pemerintah pusat kembali mempertimbangkan urgensi pembangunan jembatan ini. Jika kondisi anggaran memungkinkan, diharapkan proyek ini bisa masuk dalam program pembangunan infrastruktur prioritas di tahun-tahun mendatang.
“Ini bukan hanya soal infrastruktur, tapi soal keadilan pembangunan bagi masyarakat perbatasan. Kalau daerah lain bisa mendapatkan akses jalan dan jembatan yang layak, kenapa di sini harus menunggu lebih lama?” pungkas Dani Wiranto.
Penundaan pembangunan Jembatan Binuang dan Sungai Semamu akibat kebijakan efisiensi anggaran menjadi tantangan baru bagi upaya pemerataan pembangunan di Indonesia. Keterbatasan infrastruktur di wilayah perbatasan Kalimantan Utara tidak hanya berdampak pada aspek transportasi, tetapi juga mempengaruhi ekonomi, keselamatan, dan kesejahteraan masyarakat.
Harapan besar kini tertumpu pada kebijakan pemerintah di masa mendatang, apakah proyek ini akan kembali mendapatkan prioritas atau tidak. Sementara itu, masyarakat dan pemerintah daerah perlu terus mencari solusi alternatif agar kebutuhan aksesibilitas di wilayah perbatasan tetap terpenuhi. Pembangunan infrastruktur yang merata bukan hanya soal investasi fisik, tetapi juga investasi bagi masa depan kesejahteraan masyarakat yang tinggal di wilayah terluar Indonesia.