Ratusan Dosen ASN di Kalsel Gelar Aksi Besar-Besaran, Tuntut Pembayaran Tunjangan Kinerja yang Tertunda Sejak 2020

  

Banjarmasin – Suasana di depan Gedung General Universitas Lambung Mangkurat (ULM), Banjarmasin, Kalimantan Selatan, berubah riuh pada Senin (3/2/2025). Ratusan dosen Aparatur Sipil Negara (ASN) yang tergabung dalam Aliansi Dosen ASN Kemendiktisaintek (ADAKSI) Kalsel menggelar unjuk rasa menuntut pembayaran tunjangan kinerja (tukin) yang telah tertunda selama empat tahun. Dengan penuh semangat, mereka meneriakkan slogan dan mengangkat spanduk berisi tuntutan keadilan.

"Semar Jaya! Sebelum masuk rekening, jangan percaya!" teriak salah seorang demonstran, mengisyaratkan ketidakpercayaan mereka terhadap janji-janji pemerintah yang belum terealisasi.

Aksi ini diikuti oleh dosen dari tiga perguruan tinggi di Kalimantan Selatan, yaitu Universitas Lambung Mangkurat (ULM), Politeknik Negeri Banjarmasin (Poliban), dan Politeknik Negeri Tanah Laut (Politala). Mereka datang dengan harapan besar agar tuntutan yang telah disuarakan sejak lama akhirnya mendapat perhatian serius dari pemerintah pusat.

 

Tunjangan yang Dijanjikan, Tak Kunjung Cair

Tuntutan utama para dosen ini berakar pada janji pemerintah terkait pemberian tunjangan kinerja bagi dosen ASN di bawah naungan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi bidang Sains dan Teknologi (Kemendiktisaintek). Kebijakan ini sebenarnya telah diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 49 Tahun 2020 tentang Ketentuan Teknis Pelaksanaan Pemberian Tunjangan Kinerja Pegawai.

Sebagai bentuk penguatan kebijakan, menjelang akhir masa jabatannya, Menteri Nadiem Makarim juga menerbitkan Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 447/P/2024 yang menetapkan jabatan, kelas jabatan, serta besaran tunjangan kinerja bagi dosen fungsional. Namun, meskipun regulasi sudah jelas, realisasi di lapangan berkata lain.

Hingga kini, tukin yang dijanjikan tak kunjung dicairkan. Lebih parahnya, pemerintah menyatakan bahwa tidak ada alokasi anggaran untuk pembayaran tukin tersebut dalam APBN 2025. Keputusan ini semakin memperbesar kekecewaan para dosen yang merasa diperlakukan tidak adil dibandingkan dengan ASN di kementerian lain.

 

Tuntutan Dosen: Hak yang Harus Dipenuhi

Koordinator ADAKSI Kalsel, Juliyatin Putri Utami, menyampaikan bahwa tuntutan mereka sangat jelas: pencairan tukin yang tertunda sejak 2020 hingga 2024. Mereka meminta agar pemerintah tidak lagi mengulur waktu dan segera membayarkan hak mereka.

“Kami tidak meminta sesuatu yang di luar kewajaran. Ini adalah hak kami sebagai ASN yang telah diatur dalam peraturan pemerintah. Kami hanya ingin janji yang sudah dibuat itu ditepati,” ujar Utami dengan nada tegas.

Selain pembayaran rapel tukin selama empat tahun, mereka juga menuntut kesetaraan dalam pemberian tunjangan, tanpa membedakan satuan kerja (Satker), Badan Layanan Umum (BLU), maupun Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTNBH).

Isu lain yang menjadi perhatian adalah kebijakan pemotongan tukin dengan sertifikasi dosen (serdos). Para dosen dengan tegas menolak adanya pasal selisih yang menyebabkan tukin mereka berkurang akibat adanya tunjangan dari serdos.

“Kami ingin tukin dan serdos tetap terpisah. Tukin adalah hak kami sebagai ASN, sementara serdos merupakan tunjangan profesi. Jangan sampai ini dijadikan alasan untuk mengurangi hak-hak kami,” tambah Utami.

 

Frustrasi Dosen, Wacana Mogok Mengajar Menguat

Salah satu dosen yang ikut dalam aksi, Rahmida Erliyani, menyampaikan bahwa mereka telah cukup bersabar selama bertahun-tahun. Namun, ketidakjelasan pembayaran tukin telah mencapai batas kesabaran mereka.

“Pemerintah harus memberikan solusi, bukan terus-menerus menunda. Kami menuntut pembayaran hak kami dari tahun 2020 hingga 2024. Kalau ini dibiarkan, maka semakin jelas adanya diskriminasi terhadap dosen ASN Kemendiktisaintek,” kata Rahmida dengan nada geram.

Ia membandingkan situasi ini dengan dosen dan guru di kementerian lain yang sudah mendapatkan tunjangan mereka tanpa kendala berarti. Diskriminasi seperti ini, menurutnya, tidak bisa terus dibiarkan.

Bahkan, muncul wacana dari ADAKSI untuk melakukan mogok mengajar selama satu semester jika tuntutan ini terus diabaikan. “Itu masih sebatas wacana. Kami masih menunggu arahan dari pusat, tetapi jika terus seperti ini, mogok mengajar bisa menjadi opsi,” ujarnya.

 

Dukungan dari Rektorat dan Harapan Penyelesaian

Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan dan Alumni ULM, Muhamad Rusmin Nuryadin, menyatakan dukungan penuh terhadap aksi yang dilakukan oleh para dosen. Ia menegaskan bahwa pihak rektorat telah berusaha menyampaikan aspirasi mereka dalam berbagai kesempatan kepada kementerian terkait.

“Dalam setiap rapat dengan kementerian, kami selalu mengangkat isu ini. Ini adalah tuntutan yang sah dan perlu segera diselesaikan. Para dosen ASN ini telah terzalimi dibandingkan dengan dosen di kementerian lain,” ungkap Rusmin.

Ia juga berharap agar Presiden Prabowo Subianto, kementerian, dan DPR memberikan perhatian khusus terhadap masalah ini. Menurutnya, diskriminasi seperti ini tidak seharusnya terjadi di sektor pendidikan.

“Kami hanya ingin keadilan. Dosen-dosen ini bekerja keras mencerdaskan generasi bangsa, tetapi hak mereka masih terabaikan. Ini tidak seharusnya terjadi,” katanya.

Namun, Rusmin juga berharap agar mogok mengajar tidak sampai terjadi. Menurutnya, pendidikan mahasiswa tetap harus menjadi prioritas.

“Mogok mengajar bukan solusi terbaik. Mengajar adalah kewajiban kita sebagai dosen untuk mencerdaskan anak-anak bangsa. Saya berharap pemerintah segera menyelesaikan ini agar tidak ada langkah-langkah ekstrem yang harus diambil,” pungkasnya.

 

Masa Depan Tunjangan Kinerja Dosen ASN: Masih Ada Harapan?

Setelah aksi yang dilakukan di Banjarmasin, para dosen berharap pemerintah segera merespons dengan langkah konkret. Jika tidak, bukan tidak mungkin aksi serupa akan meluas ke berbagai daerah di Indonesia.

Dengan semakin banyaknya dosen yang bersuara, pemerintah diharapkan dapat menemukan solusi yang adil bagi semua pihak. Pendidikan adalah pilar utama kemajuan bangsa, dan sudah seharusnya tenaga pendidik mendapatkan hak mereka tanpa diskriminasi.

Apakah pemerintah akan segera bertindak? Atau justru membiarkan gelombang kekecewaan semakin membesar? Waktu yang akan menjawab.

Next Post Previous Post