Polisi Diduga Tembak Warga di Kalbar, Hanya Didemosi: DPR Desak Kapolri Evaluasi Kapolda
Kasus penembakan yang diduga dilakukan oleh seorang anggota
kepolisian di Kalimantan Barat kembali menuai polemik di publik. Briptu AR,
anggota kepolisian yang bertugas di wilayah tersebut, diduga menembak mati
seorang warga sipil bernama Agustino, yang merupakan warga Dusun Mendauk,
Kecamatan Nanga Tayap, Kabupaten Ketapang. Namun, alih-alih mendapatkan hukuman
berat, Briptu AR hanya dijatuhi sanksi demosi selama tiga tahun dan penempatan
khusus selama 30 hari. Hal ini menimbulkan reaksi keras dari berbagai pihak,
termasuk anggota Komisi III DPR RI yang meminta Kapolri Jenderal Listyo Sigit
Prabowo turun tangan untuk mengevaluasi Kapolda Kalimantan Barat, Irjen Pipit
Rusmanto.
Komisi III DPR RI: Kapolri Harus Turun Tangan
Anggota Komisi III DPR RI, Rudianto Lallo, menegaskan bahwa jika ada indikasi bahwa Kapolda Kalbar melindungi bawahannya yang terlibat dalam tindak pidana berat seperti pembunuhan warga sipil, maka Kapolri harus segera turun tangan dan melakukan evaluasi menyeluruh.
"Kalau ada pimpinan di tingkat Polda yang masih melindungi anggotanya yang terlibat tindak pidana, maka Kapolri harus turun tangan. Turun tangan itu bisa dalam bentuk evaluasi kerja Kapolda," ujar Rudianto.
Sebagai anggota DPR dari Fraksi Partai NasDem, Rudianto menekankan bahwa tidak boleh ada impunitas bagi anggota kepolisian yang melakukan pelanggaran berat. Ia juga menegaskan bahwa siapapun yang terlibat dalam insiden penembakan tersebut harus diproses secara hukum tanpa pandang bulu.
"Saya tidak mau bicara evaluasi personal, itu kan tidak fair. Tapi kalau bicara kasusnya, ini jelas ada warga yang meninggal dunia, dan siapa pun yang terlibat harus diproses hukum. Pimpinan Polri juga tidak boleh melindungi anggotanya yang terbukti melakukan perbuatan tercela atau melanggar hukum," tegasnya.
Dugaan Impunitas: Hukuman Demosi Dinilai Tidak Adil
Hukuman yang dijatuhkan kepada Briptu AR dinilai terlalu ringan oleh banyak pihak. Dengan hanya diberikan sanksi demosi selama tiga tahun dan penempatan khusus selama 30 hari, banyak yang mempertanyakan komitmen kepolisian dalam menegakkan hukum secara adil.
Menurut Rudianto, hukuman tersebut bukan hanya tidak berkeadilan bagi keluarga korban, tetapi juga menciptakan persepsi buruk terhadap sistem hukum di Indonesia. Ia menilai bahwa keputusan ini dapat mencerminkan adanya praktik perlindungan terhadap anggota kepolisian yang melakukan pelanggaran berat.
"Kenapa hukumannya rendah, apalagi dilindungi lewat putusan demosi? Ini bukan hanya tidak adil, tetapi juga memunculkan persepsi bahwa ada impunitas di dalam institusi kepolisian. Kita tidak ingin ada kesan bahwa polisi kebal hukum," ungkapnya.
Rudianto juga menyebutkan bahwa dalam kasus-kasus seperti ini, sanksi yang diberikan harus memberikan efek jera, baik bagi pelaku maupun bagi institusi kepolisian secara keseluruhan. Menurutnya, hukuman yang lebih pantas bagi pelaku adalah pemecatan tidak dengan hormat (PTDH) dari kepolisian.
"Kita mendorong agar kasus ini diproses seadil-adilnya. Jika terbukti ada pelanggaran kode etik berat dan terbukti menyebabkan kematian warga sipil, maka anggota tersebut harus diberhentikan secara tidak hormat," tegasnya.
Desakan Evaluasi Kapolda Kalbar
Kasus ini juga menyeret nama Kapolda Kalimantan Barat, Irjen Pipit Rusmanto, yang dituduh melindungi anggotanya. Komisi III DPR RI mendesak agar Kapolri segera mengevaluasi kinerja Kapolda Kalbar dan memastikan bahwa tidak ada praktik perlindungan terhadap anggota yang melakukan pelanggaran hukum.
Menurut Rudianto, langkah-langkah yang diambil oleh Kapolda Kalbar dalam menangani kasus ini akan menjadi tolok ukur bagi kepolisian dalam menegakkan supremasi hukum di Indonesia. Jika tindakan yang diambil terlalu lunak, maka kepercayaan publik terhadap institusi kepolisian akan semakin merosot.
"Kami mendorong agar Polda Kalbar tidak terkesan melindungi, apalagi menutup-nutupi kasus yang dilakukan oleh oknum anggotanya. Jika ada anggota kepolisian yang melanggar hukum, mereka harus dihukum seberat-beratnya agar ada efek jera. Kita tidak ingin kasus semacam ini terus berulang," pungkasnya.
Reaksi Publik dan Dampak Sosial
Kasus ini telah menjadi perhatian luas di masyarakat, terutama di Kalimantan Barat. Banyak warga yang mengungkapkan kemarahan mereka terhadap hukuman ringan yang dijatuhkan kepada Briptu AR. Media sosial juga dipenuhi dengan komentar dari masyarakat yang menilai bahwa sanksi yang diberikan tidak adil dan mencerminkan ketidakseriusan aparat dalam menegakkan hukum.
Sejumlah aktivis hak asasi manusia juga angkat bicara, menyoroti perlunya reformasi dalam sistem peradilan pidana di Indonesia, terutama dalam menangani kasus-kasus yang melibatkan aparat penegak hukum.
"Kasus ini adalah contoh nyata bagaimana aparat hukum sering kali mendapatkan perlakuan khusus ketika mereka terlibat dalam tindak pidana. Ini adalah praktik impunitas yang harus dihentikan. Tidak boleh ada aparat yang merasa kebal hukum," ujar seorang aktivis HAM yang enggan disebutkan namanya.
Selain itu, keluarga korban juga menyuarakan ketidakpuasan mereka terhadap keputusan yang diambil oleh Polda Kalbar. Mereka menuntut agar kasus ini ditangani secara transparan dan pelaku dihukum sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.
Menunggu Respons Kapolri
Dengan semakin meningkatnya tekanan dari DPR dan masyarakat, kini bola berada di tangan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo. Publik menunggu bagaimana respons kepolisian terhadap tuntutan evaluasi Kapolda Kalbar dan kemungkinan revisi terhadap sanksi yang diberikan kepada Briptu AR.
Jika Kapolri memutuskan untuk mengevaluasi Kapolda Kalbar dan memberikan sanksi yang lebih berat kepada pelaku, maka hal ini dapat menjadi langkah positif dalam memulihkan kepercayaan masyarakat terhadap institusi kepolisian. Namun, jika tidak ada tindakan yang diambil, maka kepercayaan publik terhadap kepolisian bisa semakin merosot.
Sebagai penegak hukum, kepolisian memiliki tanggung jawab besar untuk memastikan bahwa setiap individu, baik warga sipil maupun aparat, diperlakukan sama di depan hukum. Jika kasus ini tidak ditangani dengan baik, maka ini bisa menjadi preseden buruk yang dapat memperburuk citra kepolisian di mata masyarakat.
Kini, masyarakat menunggu dan berharap agar keadilan benar-benar ditegakkan tanpa pandang bulu. Sebab, di negara yang menjunjung supremasi hukum, tidak boleh ada satupun individu atau institusi yang kebal dari pertanggungjawaban hukum.