Penyebab Banjir di Tarakan: BWS Ungkap Faktor Utama yang Perlu Ditangani
![]() |
Ilustrasi |
Tarakan - Meningkatnya jumlah titik banjir di Kota Tarakan
semakin menjadi perhatian masyarakat. Sejumlah warga menduga bahwa penyebab
utama banjir yang melanda berbagai wilayah di kota ini adalah meluapnya air
dari beberapa embung yang ada, terutama Embung Rawasari. Berangkat dari
kekhawatiran tersebut, muncul usulan dari masyarakat agar embung diperlebar
guna menambah kapasitas tampungannya dan mengurangi risiko banjir yang semakin
sering terjadi.
Untuk menindaklanjuti hal ini, beberapa waktu lalu, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Tarakan melakukan kunjungan langsung ke Embung Rawasari yang berlokasi di Kelurahan Karang Harapan. Tujuan utama dari kunjungan ini adalah untuk meninjau kondisi embung serta mencari solusi agar daya tampungnya dapat ditingkatkan dan aliran sungai menuju embung bisa lebih lancar.
Namun, dalam tanggapannya, Kepala Balai Wilayah Sungai (BWS) Kalimantan V Tanjung Selor, Mustafa, menegaskan bahwa permasalahan banjir di Tarakan bukan semata-mata disebabkan oleh kurangnya kapasitas tampungan embung maupun tersendatnya aliran air menuju embung tersebut. Ia menyoroti bahwa faktor utama yang menyebabkan banjir di wilayah ini adalah semakin berkurangnya area resapan air akibat aktivitas ekonomi dan pembangunan yang tidak terkontrol.
Alih Fungsi Lahan Jadi Penyebab Utama
Menurut Mustafa, perubahan tata guna lahan yang tidak terkendali telah berdampak besar pada sistem drainase alami di kota ini. Sebagian besar wilayah yang sebelumnya berfungsi sebagai daerah resapan kini telah berubah menjadi area permukiman, perkantoran, maupun kawasan industri. Akibatnya, air hujan yang seharusnya meresap ke dalam tanah kini langsung mengalir ke pemukiman warga, memperparah kondisi banjir.
"Ada beberapa faktor yang menyebabkan banjir di Kelurahan Karang Harapan. Salah satunya adalah perubahan tata guna lahan di area atas. Dahulu, wilayah ini memiliki banyak daerah rawa yang berfungsi sebagai area resapan. Namun, dengan adanya pertumbuhan penduduk yang pesat serta perambahan lahan, banyak daerah yang sebelumnya menjadi tampungan alami air kini berubah menjadi pemukiman dan bangunan. Akibatnya, kapasitas resapan air berkurang drastis," jelas Mustafa.
Ia juga menambahkan bahwa pada saat Embung Rawasari selesai dibangun pada tahun 2015, banjir besar belum pernah terjadi hingga tahun 2020. Ini menunjukkan bahwa awalnya tidak ada masalah signifikan terkait daya tampung embung. Namun, setelah perkembangan kota yang pesat dan peningkatan jumlah penduduk, banyak lahan yang sebelumnya berfungsi sebagai daerah konservasi berubah menjadi permukiman. Hal ini mengurangi kapasitas resapan dan meningkatkan risiko banjir.
Sungai yang Menyempit dan Sampah yang Menumpuk
Selain alih fungsi lahan, Mustafa juga menyoroti persoalan lain yang turut memperburuk banjir di Tarakan, yakni penyempitan sungai akibat pembangunan infrastruktur yang tidak terencana. Ia menjelaskan bahwa akibat perubahan tata guna lahan, volume air yang mengalir ke sungai semakin meningkat. Sayangnya, sungai-sungai di wilayah ini tidak lagi mampu menampung debit air yang besar akibat penyempitan serta adanya hambatan di sepanjang alirannya.
"Salah satu persoalan lain adalah kapasitas sungai yang semakin berkurang. Banyak jembatan kayu dibangun di sepanjang badan sungai, yang menghambat aliran air. Selain itu, kebiasaan masyarakat membuang sampah sembarangan juga menjadi faktor yang memperparah keadaan. Sampah yang menumpuk di sungai menyebabkan aliran air tersumbat, sehingga air meluap ke pemukiman warga," tambahnya.
Perlunya Penataan Kembali Wilayah Konservasi
Untuk mengatasi permasalahan banjir ini, Mustafa menekankan perlunya kebijakan yang lebih tegas dalam menjaga wilayah konservasi dan daerah resapan air. Pemerintah daerah harus lebih aktif dalam melakukan penataan tata ruang agar daerah-daerah yang seharusnya menjadi wilayah resapan air tidak terus berkurang akibat pembangunan yang tidak terkendali.
"Harus ada langkah konkret dari pemerintah untuk memastikan wilayah resapan air tetap terjaga. Jika tidak, banjir akan semakin sering terjadi dan dampaknya akan semakin luas. Selain itu, masyarakat juga perlu diberi edukasi agar lebih peduli terhadap lingkungan, misalnya dengan tidak membuang sampah sembarangan ke sungai," tegasnya.
Selain penataan tata ruang, ia juga menyarankan adanya program penghijauan di daerah-daerah yang rentan banjir. Menanam kembali pohon di wilayah hulu dapat membantu menyerap air hujan sehingga tidak langsung mengalir ke pemukiman warga.
Solusi Jangka Panjang: Revitalisasi Sungai dan Peningkatan Infrastruktur Drainase
Untuk solusi jangka panjang, Mustafa mengusulkan perlunya revitalisasi sungai dengan memperlebar kapasitasnya agar mampu menampung air dalam jumlah besar. Selain itu, sistem drainase kota juga perlu ditingkatkan agar aliran air bisa lebih lancar dan tidak terhambat oleh sedimentasi atau sampah.
"Revitalisasi sungai dan peningkatan infrastruktur drainase harus menjadi prioritas dalam perencanaan kota ke depan. Jika tidak, maka setiap kali hujan deras turun, banjir akan selalu menjadi ancaman bagi masyarakat," ujarnya.
Pemerintah daerah diharapkan dapat bekerja sama dengan berbagai pihak, termasuk BWS, dalam mencari solusi yang tepat untuk mengatasi permasalahan banjir ini. Selain itu, keterlibatan masyarakat juga sangat penting dalam menjaga kebersihan lingkungan serta mematuhi aturan yang telah ditetapkan terkait tata guna lahan.
Permasalahan banjir di Kota Tarakan tidak bisa diselesaikan hanya dengan memperlebar embung atau meningkatkan kapasitasnya. Penyebab utamanya lebih kompleks, mencakup alih fungsi lahan yang mengurangi daerah resapan air, penyempitan sungai akibat pembangunan yang tidak terencana, serta kebiasaan membuang sampah sembarangan.
Untuk itu, dibutuhkan langkah-langkah konkret dan kerja sama dari berbagai pihak, baik pemerintah, masyarakat, maupun lembaga terkait, guna menciptakan lingkungan yang lebih tahan terhadap bencana banjir. Dengan perencanaan yang matang dan kebijakan yang tepat, diharapkan masalah banjir di Tarakan dapat dikendalikan dan tidak lagi menjadi ancaman bagi masyarakat di masa mendatang.