Mahasiswa di Kaltim Tolak Kampus Kelola Tambang: ‘Tri Dharma atau Tri Tambang?’
![]() |
Source : Koran Kaltim |
Samarinda — Ratusan mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Mahakam Menggugat menggelar aksi unjuk rasa di depan gedung DPRD Kalimantan Timur (Kaltim) pada Kamis (6/2/2025). Mereka menolak wacana perguruan tinggi mengelola tambang sebagai solusi pendanaan kampus. Dengan membawa berbagai spanduk dan melakukan orasi bergantian, mahasiswa menyatakan ketidaksetujuan mereka terhadap kebijakan yang dianggap menyalahi esensi pendidikan tinggi.
Wacana perguruan tinggi diperbolehkan mengelola usaha pertambangan mencuat dalam beberapa bulan terakhir sebagai upaya mencari sumber pendanaan alternatif bagi kampus negeri. Hal ini berkaitan dengan tekanan finansial akibat meningkatnya kebutuhan dana operasional perguruan tinggi, sementara beban biaya kuliah yang ditanggung mahasiswa juga terus meningkat.
Menurut informasi yang beredar, revisi Undang-Undang Minerba tengah dipercepat guna memungkinkan universitas untuk turut serta dalam bisnis pertambangan. Regulasi ini sejalan dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 yang mengizinkan perguruan tinggi melakukan usaha komersial untuk menopang keuangan institusi dan menekan Uang Kuliah Tunggal (UKT). Namun, alih-alih diterima sebagai solusi, kebijakan ini justru menimbulkan gelombang penolakan dari berbagai elemen mahasiswa, termasuk Aliansi Mahakam Menggugat.
"Kami menolak dengan tegas. Perguruan tinggi bukan korporasi, bukan perusahaan tambang! Ini lembaga akademik yang seharusnya mencetak sumber daya manusia berkualitas, bukan mencari keuntungan dari eksploitasi alam," ujar Andi Mauliana Muzakkir, humas Aliansi Mahakam Menggugat dalam orasinya.
Aksi di DPRD: Pimpinan Dewan Tidak Hadir, Mahasiswa Kecewa
Aksi unjuk rasa yang digelar di depan kantor DPRD Kaltim berlangsung sejak pukul 09.00 WITA. Mahasiswa berorasi secara bergantian, menyampaikan tuntutan agar para legislator menyatakan sikap mereka terhadap wacana kampus mengelola tambang. Namun, hingga aksi berlangsung selama lebih dari dua jam, pimpinan DPRD Kaltim tidak kunjung menemui para demonstran.
Kekecewaan mahasiswa pun memuncak. Mereka menuntut agar pimpinan dewan dipanggil keluar untuk berdialog langsung dengan massa aksi. "Kami ingin mendengar langsung dari DPRD, apakah mereka mendukung atau menolak? Ini bukan isu sepele, ini menyangkut masa depan pendidikan di Indonesia," tegas seorang mahasiswa dalam orasinya.
Meski sempat terjadi ketegangan, aksi tetap berlangsung damai. Beberapa perwakilan mahasiswa kemudian diterima oleh anggota DPRD Kaltim yang akhirnya keluar menemui massa. Namun, jawaban yang diberikan tidak memuaskan. "Kami akan menampung aspirasi ini dan membahasnya lebih lanjut di tingkat legislatif," ujar salah satu anggota dewan, yang justru menambah ketidakpuasan mahasiswa.
Mahasiswa Pertanyakan Motif di Balik Kebijakan
Dalam wawancara eksklusif dengan beberapa mahasiswa peserta aksi, muncul kekhawatiran bahwa percepatan revisi Undang-Undang Minerba lebih didorong oleh kepentingan ekonomi dan politik daripada kebutuhan akademik.
"Apa urgensinya? Jangan sampai ini hanya dalih agar bisnis pertambangan tetap berjalan dengan label akademik. Kampus harusnya fokus pada pendidikan, bukan mencari celah untuk eksploitasi sumber daya alam," ungkap Dimas, salah satu mahasiswa peserta aksi.
Penolakan ini juga didasarkan pada nilai Tri Dharma Perguruan Tinggi yang menjadi landasan utama institusi pendidikan tinggi di Indonesia. Tri Dharma yang terdiri dari pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat dinilai bertolak belakang dengan konsep pengelolaan tambang yang lebih berorientasi pada keuntungan finansial.
"Kalau kampus disuruh kelola tambang, apakah nanti akan diubah namanya menjadi Tri Tambang Perguruan Tinggi? Kita harus menjaga idealisme pendidikan," sindir Andi dalam orasinya.
Mahasiswa Siap Lakukan Demonstrasi Susulan
Hingga aksi berakhir pada sore hari, tidak ada kesepakatan yang dicapai antara mahasiswa dan DPRD. Mahasiswa menegaskan bahwa mereka akan terus melakukan aksi lanjutan hingga wacana ini benar-benar dicabut.
"Kami tidak akan berhenti di sini. Jika pemerintah tetap bersikeras, kami akan turun ke jalan lagi. Ini adalah perjuangan untuk pendidikan yang lebih baik, bukan hanya bagi kami, tetapi bagi generasi mendatang," tegas seorang mahasiswa sebelum aksi dibubarkan.
Aliansi Mahakam Menggugat telah merencanakan aksi lanjutan yang lebih besar dengan mengajak lebih banyak elemen masyarakat, termasuk akademisi dan organisasi lingkungan. Mereka berharap semakin banyak pihak yang ikut bersuara agar kebijakan ini tidak menjadi preseden buruk bagi dunia pendidikan di Indonesia.
"Kita akan aksi sampai menang. Jika sekarang tidak tuntas, kami akan lanjut sampai benar-benar ada keputusan yang berpihak pada pendidikan," tutup Andi Mauliana Muzakkir dalam pernyataan terakhirnya.
Akademisi dan Aktivis Lingkungan Turut Bersuara
Di luar aksi mahasiswa, sejumlah akademisi dan aktivis lingkungan juga memberikan tanggapan mereka terkait isu ini. Prof. Rizal Harjono, seorang pakar kebijakan publik dari Universitas Mulawarman, menilai bahwa keterlibatan perguruan tinggi dalam industri tambang dapat menimbulkan konflik kepentingan.
"Perguruan tinggi adalah pusat ilmu pengetahuan yang seharusnya menjadi pengawas independen atas industri ekstraktif, bukan justru menjadi bagian darinya. Jika kampus terlibat dalam bisnis tambang, bagaimana mereka bisa tetap objektif dalam penelitian dan kebijakan lingkungan?" katanya.
Sementara itu, aktivis lingkungan dari organisasi Save Mahakam, Siti Fadillah, mengingatkan bahwa eksploitasi sumber daya alam di Kalimantan Timur sudah mencapai titik kritis. Ia mengkhawatirkan bahwa keterlibatan kampus justru akan semakin mempercepat degradasi lingkungan.
"Kami sudah cukup menderita dengan banyaknya izin tambang yang dikeluarkan tanpa mempertimbangkan dampak lingkungan. Jangan sampai kampus ikut-ikutan. Ini bukan solusi, tapi bencana baru," ungkapnya.
Perdebatan mengenai wacana perguruan tinggi mengelola tambang semakin memanas. Di satu sisi, pemerintah berusaha mencari solusi atas permasalahan pendanaan kampus, sementara di sisi lain, mahasiswa dan aktivis menilai kebijakan ini justru menyimpang dari esensi pendidikan.
Aksi yang dilakukan mahasiswa di Samarinda ini menjadi alarm bagi seluruh pemangku kebijakan. Apakah pendidikan tinggi di Indonesia akan tetap berpegang pada Tri Dharma atau akan bergeser ke arah Tri Tambang? Jawaban atas pertanyaan ini akan menentukan arah masa depan dunia akademik di Indonesia.
Masyarakat kini menunggu langkah selanjutnya dari pemerintah dan DPRD Kaltim. Apakah mereka akan mendengar aspirasi mahasiswa atau tetap melanjutkan kebijakan ini? Yang jelas, mahasiswa sudah menegaskan sikap mereka: pendidikan bukan tambang, dan kampus bukan perusahaan tambang.