Krisis Banjir Berulang di Kalimantan Barat: Mencari Solusi untuk Bencana yang Tak Kunjung Usai
Kalimantan Barat kembali dikepung banjir besar di awal
tahun 2025. Lebih dari 52 ribu kepala keluarga (KK) terdampak akibat bencana
ini. Fenomena yang terus berulang ini menimbulkan pertanyaan besar mengenai
mitigasi bencana, kebijakan tata ruang, serta langkah konkret yang harus
diambil untuk menghindari kejadian serupa di masa depan.
Tragedi di Tengah Banjir: Korban Jiwa Kembali Berjatuhan
Bencana kali ini bukan hanya menimbulkan kerugian material,
tetapi juga merenggut nyawa. Berdasarkan data dari Badan Penanggulangan Bencana
Daerah (BPBD) Kalimantan Barat, hingga 21 Januari 2025, banjir telah melanda
tujuh kabupaten di provinsi ini. Dua korban jiwa dilaporkan meninggal dunia
akibat terseret arus banjir di Kabupaten Sambas. Kedua korban adalah anak-anak
berusia 11 bulan dan 11 tahun.
Ketua Satgas Informasi BPBD Kalbar, Daniel, dalam
wawancaranya dengan program Kentongan PRO3 RRI pada Sabtu (1/2/2025),
mengungkapkan bahwa insiden tragis ini disebabkan oleh kelalaian masyarakat.
"Korban terseret arus karena bermain di luar rumah saat banjir besar
terjadi. Padahal, pemerintah desa sudah memberikan peringatan kepada warga untuk
tetap berada di tempat yang aman," ujar Daniel. Namun, ia menegaskan bahwa
sekeras apa pun imbauan dari pemerintah, tanpa kesadaran dari orang tua,
musibah serupa akan sulit dihindari.
Banjir yang Tak Pernah Berhenti: Penyebab Utama
Kalimantan Barat sudah lama menghadapi siklus banjir yang
berulang, terutama saat curah hujan tinggi. Namun, menurut Daniel, hujan
bukanlah penyebab utama dari bencana ini. "Hujan hanyalah pemicu. Yang
menjadi persoalan utama adalah lingkungan yang rusak dan tata ruang yang tidak
lagi sesuai," katanya.
Seiring dengan pertumbuhan penduduk dan pembangunan, banyak
kawasan yang sebelumnya berfungsi sebagai daerah resapan air telah berubah
menjadi permukiman dan perkebunan. Pembukaan lahan yang masif tanpa
mempertimbangkan aspek ekologi memperparah kondisi hidrologi di Kalimantan
Barat. Akibatnya, ketika hujan deras turun, air tidak dapat meresap dengan baik
ke dalam tanah dan langsung mengalir ke pemukiman warga, menyebabkan banjir
besar.
Selain itu, sistem drainase yang buruk di beberapa daerah
perkotaan turut memperparah keadaan. Saluran air yang tidak terawat, tersumbat
sampah, serta tidak memiliki kapasitas yang cukup untuk menampung debit air
yang meningkat drastis menjadi faktor lain yang memperburuk kondisi.
Upaya Pemerintah dan Hambatan dalam Penanggulangan
BPBD Kalbar menyatakan bahwa mereka telah melakukan berbagai
upaya untuk menganalisis penyebab banjir serta merancang rekomendasi solusi.
Namun, implementasi kebijakan ini masih menemui hambatan besar. "Kami
sudah berkoordinasi dengan berbagai instansi terkait, tetapi kendalanya adalah
belum adanya komitmen bersama yang kuat," kata Daniel. Menurutnya, tanpa
kesepahaman dalam penanganan banjir, langkah-langkah yang diambil cenderung
bersifat reaktif dan bukan solusi jangka panjang.
Selain itu, ketidaksepahaman dalam penerapan kebijakan
lingkungan antara pemerintah daerah dan pusat juga menjadi faktor penghambat.
Beberapa daerah masih memberikan izin pembukaan lahan untuk industri atau
permukiman tanpa mempertimbangkan dampak ekologisnya. Akibatnya, kebijakan yang
seharusnya bertujuan untuk mitigasi bencana menjadi tidak efektif.
Mencari Solusi: Dari Infrastruktur hingga Kesadaran Masyarakat
Dalam menghadapi permasalahan ini, para ahli dan aktivis
lingkungan menekankan perlunya pendekatan holistik yang melibatkan berbagai
pihak, dari pemerintah hingga masyarakat. Berikut adalah beberapa solusi yang
dapat diterapkan untuk mengurangi risiko banjir di Kalimantan Barat:
- Revitalisasi
Kawasan Resapan Air
- Pemerintah
harus menetapkan kembali zona hijau yang tidak boleh dialihfungsikan
menjadi area perkotaan atau perkebunan.
- Penghijauan
kembali hutan-hutan yang gundul serta konservasi lahan gambut harus
menjadi prioritas utama dalam kebijakan lingkungan.
- Peningkatan
Infrastruktur Drainase
- Sistem
drainase yang ada perlu diperbaiki dan diperluas untuk mampu menampung
air dalam jumlah besar.
- Teknologi
pengelolaan air modern seperti sumur resapan dan kolam retensi harus
mulai diterapkan di daerah rawan banjir.
- Penegakan
Regulasi Tata Ruang
- Pemerintah
daerah harus lebih ketat dalam memberikan izin pembangunan, terutama di
daerah rawan banjir.
- Perlu
ada pengawasan yang lebih baik terhadap proyek-proyek yang dapat mengubah
struktur alam secara drastis.
- Edukasi
dan Kesadaran Masyarakat
- Masyarakat
harus diberikan pemahaman mengenai risiko banjir dan langkah-langkah
mitigasi yang bisa mereka lakukan secara mandiri.
- Program
edukasi harus melibatkan sekolah, komunitas, serta kelompok warga untuk
menciptakan kesadaran kolektif terhadap pentingnya menjaga lingkungan.
- Kolaborasi
dengan Sektor Swasta dan Lembaga Internasional
- Investasi
dalam proyek mitigasi bencana dari sektor swasta serta kerja sama dengan
lembaga internasional seperti Bank Dunia atau Badan Pembangunan Asia
(ADB) dapat membantu mempercepat upaya penanggulangan banjir.
Akankah 2025 Menjadi Titik Balik?
Banjir di Kalimantan Barat bukan lagi sekadar bencana alam,
melainkan hasil dari degradasi lingkungan yang semakin parah. Tanpa adanya
langkah konkret dan koordinasi yang kuat antara pemerintah, masyarakat, dan
sektor swasta, siklus ini akan terus berulang di tahun-tahun mendatang.
Pemerintah perlu segera mengambil tindakan nyata dalam hal
regulasi, infrastruktur, dan edukasi masyarakat. Sementara itu, warga juga
harus lebih peduli terhadap lingkungannya dan tidak hanya mengandalkan
pemerintah dalam menangani bencana.
Pertanyaannya, akankah tahun 2025 menjadi titik balik bagi Kalimantan Barat dalam menangani krisis banjir ini? Ataukah kita akan terus menyaksikan siklus yang sama berulang setiap tahunnya? Jawabannya tergantung pada sejauh mana komitmen dan keseriusan kita dalam menanggulangi bencana ini.