Deforestasi di Indonesia Meningkat pada 2024: Ancaman Nyata dari Megaproyek dan Kebijakan Pemerintah
Indonesia kembali mencatat peningkatan signifikan dalam
angka deforestasi sepanjang tahun 2024. Berdasarkan data yang dirilis oleh
Auriga Nusantara, luas hutan yang hilang pada tahun ini mencapai 261.575
hektare. Angka ini mengalami kenaikan dibandingkan tahun 2023 yang mencatat
kehilangan hutan seluas 257.384 hektare. Dengan demikian, terjadi penambahan
deforestasi sebesar 4.191 hektare dalam kurun waktu setahun terakhir.
Pulau Kalimantan menjadi wilayah dengan tingkat deforestasi tertinggi di Indonesia. Dari total luas hutan yang hilang, Kalimantan menyumbang 129.896 hektare, dengan Kalimantan Timur sebagai provinsi dengan deforestasi terbesar mencapai 44.483 hektare. Provinsi lain yang mengalami deforestasi cukup signifikan adalah Kalimantan Barat (39.598 hektare), Kalimantan Tengah (33.389 hektare), serta beberapa wilayah lain seperti Riau (20.812 hektare), Sumatra Selatan (20.184 hektare), dan Jambi (14.839 hektare). Sementara itu, deforestasi juga terjadi di wilayah lain seperti Aceh, Sumatra Utara, dan Bangka Belitung.
Ketua Auriga Nusantara, Timer Manurung, menyatakan bahwa deforestasi telah melanda hampir seluruh provinsi di Indonesia, kecuali Daerah Khusus Jakarta (DKJ). Bahkan, lebih dari separuh deforestasi nasional terjadi di Pulau Borneo, yang menunjukkan tren yang mengkhawatirkan. "Kita patut bersedih bahwa deforestasi terus meningkat. Tahun 2024, sebanyak 428 dari 154 kabupaten/kota mengalami deforestasi," ujarnya dalam pernyataan yang diunggah melalui kanal YouTube Auriga Nusantara pada Senin (3/2/2025).
Kalimantan: Pusat Deforestasi Selama 11 Tahun Berturut-Turut
Pulau Kalimantan menjadi episentrum deforestasi Indonesia selama lebih dari satu dekade. Jika pada era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) Sumatra menjadi pulau dengan tingkat deforestasi tertinggi, tren ini berubah sejak era Presiden Joko Widodo. Sejak 2013, deforestasi terbesar berpindah ke Kalimantan, yang diduga kuat dipicu oleh berbagai megaproyek, termasuk pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara.
Selain proyek IKN, pemerintah juga memberikan izin pembukaan hutan kayu dan pembangunan pabrik skala besar di Kalimantan Utara. Kebijakan ini memicu konversi besar-besaran lahan hutan untuk kepentingan industri, sehingga mempercepat laju deforestasi. Timer Manurung mengungkapkan bahwa lebih dari separuh deforestasi yang terjadi di Indonesia pada 2024 berlangsung di area konsesi, baik untuk logging, perkebunan kayu, pertambangan, maupun perkebunan sawit.
"Sebanyak 59% dari total deforestasi atau sekitar 153.498 hektare terjadi di area konsesi. Hal ini mengindikasikan bahwa deforestasi legal merupakan ancaman terbesar kita. Ini karena penghilangan tutupan hutan di area konsesi diperbolehkan oleh aturan yang berlaku," jelasnya.
Sektor Industri Penyumbang Deforestasi Terbesar
Empat sektor industri utama menjadi penyumbang terbesar deforestasi di Indonesia, yaitu logging (36.068 hektare), perkebunan kayu (41.332 hektare), pertambangan (36.615 hektare), dan perkebunan sawit (37.483 hektare). Dengan luas deforestasi mencapai 160.925 hektare, sebagian besar wilayah yang mengalami penggundulan hutan merupakan habitat megafauna ikonik seperti orangutan, gajah, dan harimau.
Timer menekankan bahwa meskipun hanya 3% deforestasi yang bersifat ilegal, kebanyakan dari deforestasi yang terjadi pada tahun 2024 tergolong legal. Hal ini karena aturan yang berlaku belum mampu memberikan perlindungan bagi hutan alam di luar kawasan konservasi. Ia mendesak pemerintahan Presiden Prabowo Subianto untuk menerbitkan Peraturan Presiden (PP) guna melindungi sisa hutan alam Indonesia.
"Kami berani menyimpulkan bahwa hanya 3% deforestasi yang bersifat ilegal pada 2024. Sisanya legal karena adanya izin penggunaan lahan, termasuk untuk proyek strategis nasional (PSN)," tegasnya.
Dampak Proyek Food Estate dan Pertambangan Nikel
Selain proyek IKN, sektor pertambangan dan perkebunan juga berkontribusi besar terhadap deforestasi. Pertambangan emas dan nikel, baik yang legal maupun ilegal, mempercepat hilangnya hutan alam di berbagai wilayah, termasuk Papua dan Sulawesi. Di Raja Ampat, empat pulau kecil telah dieksploitasi untuk tambang nikel, sementara dua pulau lainnya juga mendapatkan izin serupa.
Di wilayah Sulawesi, pengembangan kebun kayu biomassa di Gorontalo juga menjadi penyebab utama deforestasi. Kebijakan ini semakin diperparah dengan kebijakan food estate yang memanfaatkan kawasan hutan untuk produksi pangan skala besar. Pemerintah telah mengalokasikan lahan hutan seluas 3,69 juta hektare untuk proyek food estate di berbagai provinsi, termasuk Merauke, Kalimantan Tengah, dan Sumatra Selatan.
Deputi Eksternal Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Mukri Friyatna, memproyeksikan bahwa laju deforestasi di Indonesia bisa meningkat hingga 250%–300% pada tahun ini, mencapai 0,5 hingga 0,6 juta hektare. Ia menilai bahwa proyek food estate berisiko tinggi karena sering kali menguntungkan korporasi besar dan mengabaikan hak-hak masyarakat adat.
"Sudah hampir bisa dipastikan proyek food estate akan jatuh ke tangan korporasi, sementara masyarakat adat dan lokal justru terpinggirkan dari wilayah adat dan lahan produksi mereka," ungkapnya.
Minimnya Anggaran Perlindungan Lingkungan
Meskipun ancaman deforestasi semakin meningkat, anggaran pemerintah untuk perlindungan dan pelestarian lingkungan justru menurun. Dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2025, pemerintah hanya mengalokasikan Rp11,3 triliun untuk fungsi perlindungan lingkungan hidup. Jumlah ini berkurang 20% dibandingkan tahun sebelumnya.
Mukri menilai kebijakan anggaran ini tidak sebanding dengan laju deforestasi yang semakin meningkat. Menurutnya, jika pemerintah serius menangani krisis lingkungan, anggaran reforestasi harus ditingkatkan secara signifikan. Ia juga menyoroti Undang-Undang Cipta Kerja yang dianggap menjadi akar dari berbagai kebijakan yang merugikan lingkungan.
"Banyak pasal dalam UU No. 11 tahun 2020 jo UU No. 6 tahun 2023 yang merugikan lingkungan, terutama yang berkaitan dengan penyederhanaan perizinan usaha bagi korporasi dan pemutihan perkebunan kelapa sawit di kawasan hutan. Kami mendesak agar pasal-pasal ini dicabut," tuturnya.
Seruan untuk Menutup Keran Izin Konsesi Baru
Meningkatnya angka deforestasi di Indonesia menjadi peringatan serius bagi masa depan lingkungan dan keberlanjutan ekosistem. Aktivis lingkungan mendesak pemerintah untuk segera menutup keran izin pinjam pakai kawasan hutan serta meninjau ulang kebijakan yang berpotensi merusak lingkungan. Selain itu, upaya konservasi harus diperkuat untuk mengurangi dampak bencana ekologis yang semakin meningkat akibat penggundulan hutan.
"Bencana ekologis yang kita alami saat ini, baik dari segi frekuensi maupun intensitasnya, menunjukkan bahwa daya dukung dan daya tampung lingkungan telah menurun drastis. Jika tidak ada langkah konkret untuk mengatasinya, Indonesia akan menghadapi krisis lingkungan yang lebih parah di masa depan," pungkas Mukri.
Dengan semakin luasnya hutan yang hilang dan lemahnya regulasi yang melindungi ekosistem alam, masa depan kehutanan Indonesia berada di ujung tanduk. Deforestasi yang terus meningkat harus menjadi perhatian serius bagi seluruh elemen bangsa demi menjaga keseimbangan lingkungan dan keberlanjutan sumber daya alam Indonesia.