Warga Negara China Bebas Kasus Tambang Emas 774 Kg di Kalimantan Barat: Kontroversi Putusan Hakim dan Langkah Kasasi Kejaksaan

  

Kasus tambang emas ilegal di Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat, kembali menjadi sorotan publik setelah Pengadilan Tinggi (PT) Pontianak membebaskan terdakwa Yu Hao, seorang warga negara China, dari semua dakwaan. Keputusan ini memicu reaksi keras dari Kejaksaan Agung RI yang langsung mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung.

 

Perjalanan Kasus Tambang Emas Ilegal

Kasus ini berawal dari temuan tambang emas ilegal di wilayah pedalaman Ketapang yang melibatkan puluhan tenaga kerja asing (TKA) asal China. Berdasarkan penyelidikan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) serta Bareskrim Polri, ditemukan bahwa operasi tambang ini dilakukan secara masif dengan peralatan canggih, termasuk alat berat, pemanas listrik, dan mesin pemecah batu.

Tim penyidik menemukan bukti adanya lubang tambang sepanjang 1,64 kilometer dengan volume mencapai 4.467 meter kubik. Modus yang digunakan para pelaku adalah memanfaatkan lubang tambang dalam yang berada di wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) milik dua perusahaan emas lokal, PT BRT dan PT SPM. IUP tersebut sebenarnya sedang dalam masa pemeliharaan dan belum mendapatkan persetujuan Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) untuk periode 2024–2026.

Yu Hao, sebagai penanggung jawab utama, bersama komplotannya melakukan blasting atau pembongkaran menggunakan bahan peledak, kemudian memurnikan emas di lokasi tambang. Emas hasil pengolahan dibawa keluar dalam bentuk dore atau bullion emas. Hasil analisis menunjukkan kandungan emas di lokasi tersebut tergolong tinggi, dengan kadar emas mencapai 337 gram per ton batu yang digiling.

 

Dakwaan dan Vonis Awal

Pada September 2024, Yu Hao didakwa melanggar Pasal 158 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Jaksa Penuntut Umum (JPU) menuntut hukuman lima tahun penjara dan denda sebesar Rp 50 miliar, subsider enam bulan kurungan. Namun, pada Oktober 2024, Pengadilan Negeri (PN) Ketapang menjatuhkan vonis lebih ringan, yaitu hukuman tiga tahun enam bulan penjara dan denda Rp 30 miliar.

Merasa tidak puas dengan putusan tersebut, Yu Hao mengajukan banding ke PT Pontianak. Keputusan yang kemudian diambil oleh Ketua Majelis Hakim PT Pontianak, Isnurul S Arif, membatalkan putusan PN Ketapang. Hakim menyatakan bahwa terdakwa tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana yang didakwakan.

 

Reaksi Kejaksaan dan Langkah Kasasi

Keputusan bebas yang diberikan kepada Yu Hao memicu gelombang kritik. Kejaksaan Agung segera mengambil langkah untuk mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung, Harli Siregar, menyatakan bahwa jaksa telah menandatangani akta permohonan kasasi pada 17 Januari 2025 dan sedang menyusun memori kasasi.

Langkah kasasi ini diambil dengan harapan Mahkamah Agung dapat mempertimbangkan kembali putusan bebas yang dinilai janggal. Kejaksaan menilai bahwa terdapat bukti kuat yang menunjukkan keterlibatan Yu Hao dalam operasi tambang emas ilegal, termasuk perannya sebagai koordinator utama dan penggunaan alat berat untuk menambang secara masif.

 

Kerugian Negara yang Fantastis

Kasus tambang emas ilegal ini tidak hanya mengejutkan karena melibatkan jumlah kandungan emas yang besar, tetapi juga karena kerugian negara yang ditaksir mencapai Rp 1 triliun. Selain itu, aktivitas tambang ilegal ini mencemari lingkungan dengan penggunaan merkuri atau air raksa (Hg) dalam proses pemurnian emas. Dari hasil uji sampel, ditemukan kandungan merkuri sebesar 41,35 mg/kg dalam olahan tambang tersebut.

 

Kritik terhadap Putusan Hakim

Putusan bebas yang dikeluarkan oleh Majelis Hakim PT Pontianak menjadi bahan perdebatan. Banyak pihak mempertanyakan alasan di balik keputusan hakim yang membebaskan Yu Hao, meskipun terdapat bukti-bukti yang menunjukkan keterlibatannya dalam aktivitas tambang ilegal. Keputusan ini juga dianggap mencederai upaya penegakan hukum di sektor pertambangan.

Sebelum bertugas di PT Pontianak, hakim Isnurul S Arif diketahui memiliki rekam jejak yang cukup panjang dalam dunia peradilan. Namun, keputusan ini justru menimbulkan kontroversi, terutama karena kasus ini melibatkan warga negara asing dan kerugian negara yang signifikan.

 

Modus Operandi dan Teknologi Canggih

Yu Hao dan komplotannya menggunakan teknologi canggih untuk menjalankan tambang emas ilegal. Selain alat berat seperti dump truck listrik dan blasting machine, mereka juga menggunakan peralatan pengolahan modern, seperti pemecah batu (grinder), induction furnace, dan cetakan bullion grafit.

Operasi tambang dilakukan dengan menggali lubang tambang dalam, yang disebut tunnel, di kawasan IUP yang seharusnya tidak boleh ditambang. Kegiatan ini dikamuflasekan sebagai aktivitas pemeliharaan tambang. Selain melibatkan lebih dari 80 tenaga kerja asing asal China, operasi ini juga melibatkan sejumlah pekerja lokal untuk mendukung kegiatan non-inti seperti katering dan pemompaan air.

Kasus tambang emas ilegal di Ketapang menjadi salah satu contoh nyata dari kompleksitas penegakan hukum di sektor pertambangan di Indonesia. Putusan bebas yang diberikan kepada Yu Hao oleh PT Pontianak telah memunculkan tanda tanya besar terkait keadilan hukum, terutama dalam kasus yang melibatkan warga negara asing.

Langkah kasasi yang diajukan oleh Kejaksaan Agung menjadi harapan terakhir untuk memastikan bahwa kasus ini diselesaikan dengan adil. Selain itu, kasus ini juga menjadi pengingat bahwa pengawasan terhadap aktivitas pertambangan harus diperketat untuk mencegah kerugian negara dan kerusakan lingkungan yang lebih besar di masa depan.

Next Post Previous Post