Rencana Cetak Sawah 100 Ribu Hektare di Kalimantan Tengah: Potensi dan Ancaman Ekologi
Pemerintah kembali mengarahkan perhatian ke Kalimantan Tengah (Kalteng) untuk melaksanakan program ketahanan pangan nasional melalui cetak sawah baru seluas 100 ribu hektare. Rencana ini, meskipun dimaksudkan untuk memperkuat ketahanan pangan, telah menuai kritik tajam dari berbagai pihak, terutama aktivis lingkungan. Salah satu kritik utama datang dari Direktur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Kalteng, Bayu Herinata, yang memperingatkan bahwa langkah ini berisiko memperburuk bencana ekologis di wilayah tersebut.
Risiko Bencana Ekologis di Kalteng
Bayu menegaskan bahwa rencana pembukaan sawah ini memiliki potensi besar untuk memperparah bencana ekologis seperti banjir dan kebakaran hutan serta lahan (karhutla). Ia menjelaskan bahwa bencana semacam itu adalah hasil akumulasi dari degradasi fungsi ekosistem hutan dan lahan gambut yang disebabkan oleh deforestasi. Data dari tahun 2023 menunjukkan bahwa lebih dari separuh deforestasi di Indonesia berasal dari kegiatan perkebunan dan Hutan Tanaman Industri (HTI).
“Program cetak sawah 100 ribu hektare hanya akan memperburuk kondisi ekologi di Kalimantan Tengah. Wilayah seperti Kapuas dan Gunung Mas yang telah mengalami banjir berulang kali adalah contoh nyata bagaimana kerusakan ekosistem berkontribusi pada bencana,” ujar Bayu pada Sabtu, 11 Januari 2025.
Menurutnya, ekosistem gambut memiliki peran penting dalam menyerap dan menyimpan air. Namun, jika gambut mengalami kerusakan dan menjadi kering, maka risiko banjir dan karhutla akan meningkat signifikan. Ia juga mengkritik rencana pemerintah untuk memanfaatkan kawasan seperti Area Penggunaan Lain (APL), Hutan Produksi Tetap (HP), dan Hutan Produksi yang Dapat Dikonversi (HPK) dalam proyek ini, yang berpotensi menimbulkan dampak buruk terhadap ekosistem gambut.
Jejak Gagal Proyek Serupa
Rencana cetak sawah ini mengingatkan pada proyek food estate yang pernah dilaksanakan sebelumnya, yang dianggap gagal oleh banyak pihak. Proyek tersebut, menurut Bayu, tidak hanya tidak produktif tetapi juga menimbulkan kerusakan lingkungan yang signifikan. Bayu menilai bahwa kegagalan tersebut disebabkan oleh pendekatan sentralistik yang tidak sesuai dengan praktik pertanian lokal dan kondisi lahan.
“Sistem pertanian sentralistik ini tidak memperhatikan kesesuaian lahan dan pola pertanian masyarakat setempat. Jika dipaksakan, program ini akan berakhir seperti proyek-proyek sebelumnya, yaitu gagal total dan meninggalkan dampak ekologis yang besar,” tambahnya.
Ia juga menekankan bahwa lahan gambut memerlukan intervensi khusus, termasuk sarana dan prasarana pendukung yang memadai, untuk dapat dimanfaatkan secara produktif. Sayangnya, pengalaman menunjukkan bahwa intervensi yang diperlukan sering kali diabaikan, sehingga mengurangi efektivitas program ketahanan pangan berskala besar.
Menurut Dirjen Prasarana dan Sarana Kementerian Pertanian, Andi Nur Alamsyah, pembukaan lahan ini ditargetkan selesai dalam waktu 19 minggu, yang dibagi menjadi tiga periode pengerjaan. Periode pertama dimulai pada Januari 2025 dengan pembukaan lahan seluas 30 ribu hektare. Periode kedua dilanjutkan pada Februari 2025 dengan luas yang sama, dan periode ketiga akan berlangsung pada Maret 2025 untuk membuka 40 ribu hektare lahan.
“Kami berharap 100 ribu hektare lahan ini dapat selesai dibuka hingga pertengahan tahun nanti,” ujar Andi dalam rapat koordinasi Program Cetak Sawah dan Swasembada Jagung Tahun 2025 di Palangka Raya, Selasa, 7 Januari 2025.
Bayu menegaskan pentingnya mempertimbangkan pendekatan alternatif yang lebih ramah lingkungan dan berkelanjutan. Ia menyarankan agar pemerintah terlebih dahulu mengevaluasi kesesuaian lahan yang akan digunakan, serta mengintegrasikan praktik pertanian lokal ke dalam kebijakan. Pendekatan semacam ini tidak hanya akan meningkatkan peluang keberhasilan program tetapi juga meminimalkan dampak buruk terhadap lingkungan.
Selain itu, diperlukan perencanaan yang matang untuk memastikan bahwa proyek semacam ini tidak hanya sekadar ambisi politik atau ekonomi jangka pendek, tetapi juga mempertimbangkan keberlanjutan ekosistem jangka panjang. Dengan demikian, program ketahanan pangan nasional dapat dicapai tanpa mengorbankan lingkungan yang sudah tertekan akibat berbagai aktivitas manusia.
Pengalaman dari proyek-proyek sebelumnya memberikan banyak pelajaran berharga. Salah satunya adalah pentingnya memahami karakteristik lahan sebelum melakukan intervensi skala besar. Proyek food estate yang gagal, misalnya, menunjukkan bahwa penggunaan lahan yang tidak sesuai hanya akan membuang-buang sumber daya tanpa memberikan hasil yang signifikan.
“Pemerintah harus belajar dari kesalahan masa lalu. Memaksakan penggunaan lahan gambut atau kawasan hutan untuk pertanian skala besar adalah langkah yang sangat berisiko. Selain itu, kerugian ekologis yang timbul sering kali lebih besar daripada manfaat ekonomi yang diharapkan,” ujar Bayu.
Ia juga menekankan perlunya melibatkan masyarakat lokal dalam perencanaan dan pelaksanaan proyek. Hal ini tidak hanya akan memastikan bahwa program berjalan sesuai dengan kebutuhan dan kondisi lokal tetapi juga meningkatkan dukungan dan partisipasi masyarakat dalam upaya ketahanan pangan.
Tantangan dalam Implementasi
Meskipun pemerintah memiliki target ambisius, pelaksanaan program cetak sawah ini tidak akan mudah. Tantangan utama meliputi:
- Kesesuaian Lahan: Tidak semua lahan di Kalimantan Tengah cocok untuk pertanian, terutama lahan gambut yang memiliki karakteristik unik dan rentan terhadap kerusakan.
- Dampak Ekologis: Pembukaan lahan skala besar dapat mengganggu keseimbangan ekosistem, meningkatkan risiko banjir, dan memicu kebakaran hutan serta lahan.
- Pendanaan dan Infrastruktur: Proyek sebesar ini membutuhkan investasi besar dalam bentuk dana, sarana, dan prasarana, yang sering kali menjadi kendala.
- Kritik Publik: Proyek ini mendapat banyak sorotan dan kritik dari berbagai pihak, termasuk aktivis lingkungan dan masyarakat lokal, yang dapat memengaruhi penerimaan dan keberhasilan program.
Program cetak sawah 100 ribu hektare di Kalimantan Tengah adalah langkah ambisius yang bertujuan untuk meningkatkan ketahanan pangan nasional. Namun, keberhasilan program ini sangat bergantung pada perencanaan yang matang, pelaksanaan yang hati-hati, dan perhatian terhadap dampak ekologis. Kritik dari aktivis lingkungan seperti Walhi Kalteng menjadi pengingat pentingnya mempertimbangkan aspek keberlanjutan dalam setiap langkah pembangunan.
Jika pemerintah dapat belajar dari kegagalan proyek-proyek sebelumnya dan mengintegrasikan pendekatan yang lebih berkelanjutan, maka program ini mungkin dapat memberikan manfaat tanpa mengorbankan lingkungan. Namun, jika tidak, risiko yang ditimbulkan bisa jauh lebih besar daripada manfaat yang diharapkan, meninggalkan warisan bencana ekologis bagi generasi mendatang.