Pembangunan Jalan di Kalimantan Barat: Antara Prioritas dan Tantangan Masyarakat Pedalaman

  

Ilustrasi : AI

Kalimantan Barat, salah satu provinsi terbesar di Indonesia, kembali menjadi sorotan dalam hal kebijakan pembangunan jalan. Di tengah ambisi pemerintah untuk meningkatkan indeks infrastruktur, kritik tajam muncul dari berbagai pihak yang menilai kebijakan ini kurang berpihak kepada kebutuhan masyarakat pedalaman dan perbatasan. Isu ini menjadi topik hangat dalam Dialog Lintas Pontianak Pagi yang disiarkan oleh RRI Pontianak pada Jumat, 3 Januari 2025.

Anggota DPRD Kalimantan Barat, Suyanto Tanjung, secara lugas mengemukakan pendapatnya mengenai arah pembangunan infrastruktur jalan di provinsi ini. Menurutnya, fokus anggaran yang terlalu terpusat pada wilayah perkotaan menunjukkan adanya pola perencanaan yang lebih mementingkan target statistik dibandingkan kebutuhan riil masyarakat. Banyak jalan di perkotaan yang sebenarnya sudah dalam kondisi baik tetapi tetap mendapatkan alokasi dana untuk perbaikan tambahan. Sebaliknya, kondisi jalan di daerah pedalaman dan perbatasan yang rusak parah cenderung diabaikan.

“Banyak jalan yang sebenarnya sudah dalam kondisi baik justru mendapatkan perbaikan tambahan, sementara jalan-jalan yang rusak di daerah terpencil kerap diabaikan. Ini mencerminkan ketimpangan dalam perencanaan,” ungkap Suyanto dengan nada prihatin.

Kalimantan Barat memiliki wilayah yang sangat luas, mencakup area perkotaan, pedesaan, hingga daerah perbatasan yang berbatasan langsung dengan Malaysia. Di daerah-daerah terpencil ini, jalan rusak bukan hanya sekadar hambatan fisik tetapi juga menciptakan isolasi sosial dan ekonomi. Akses terbatas membuat masyarakat sulit mendapatkan pelayanan dasar seperti pendidikan dan kesehatan, serta membatasi peluang ekonomi mereka.

Salah satu desa di daerah perbatasan, misalnya, hanya bisa diakses melalui jalan tanah yang berubah menjadi lumpur saat hujan. Kondisi ini membuat distribusi barang kebutuhan pokok menjadi mahal, sementara hasil pertanian warga sulit dipasarkan. Situasi seperti ini menjadi ironi ketika di sisi lain, jalan-jalan di perkotaan dengan kualitas baik malah mendapatkan perhatian lebih.

“Jalan di perbatasan bukan hanya soal infrastruktur, tetapi juga strategi pembangunan yang memperkuat konektivitas dan kedaulatan negara,” tambah Suyanto. Menurutnya, perbaikan jalan di wilayah perbatasan dapat berfungsi ganda, yakni sebagai penggerak ekonomi lokal sekaligus memperkuat keberadaan negara di wilayah strategis ini.

Kecenderungan pemerintah untuk lebih memprioritaskan pembangunan jalan di wilayah perkotaan tidak lepas dari keinginan untuk meningkatkan indeks infrastruktur secara nasional. Jalan-jalan di perkotaan biasanya lebih sering digunakan dan lebih mudah dievaluasi dampaknya. Data statistik ini kemudian digunakan sebagai indikator keberhasilan pembangunan daerah, yang sering kali menjadi pertimbangan utama bagi pemerintah pusat maupun daerah dalam menyusun kebijakan.

Namun, pendekatan ini menuai kritik tajam karena tidak mencerminkan kebutuhan mendesak masyarakat yang hidup di daerah terpencil. Kesenjangan ini memperlihatkan bahwa pembangunan infrastruktur sering kali tidak didasarkan pada pemerataan manfaat, melainkan pada pencapaian angka-angka statistik.

“Yang kita butuhkan bukan sekadar angka. Kita butuh infrastruktur yang benar-benar menjawab kebutuhan masyarakat, terutama mereka yang berada di daerah pedalaman dan perbatasan,” kata Suyanto dengan tegas.

Prioritas pembangunan jalan di daerah pedalaman dan perbatasan sebenarnya memiliki potensi efek domino yang signifikan. Perbaikan jalan dapat meningkatkan aksesibilitas masyarakat terhadap berbagai layanan, membuka peluang usaha baru, dan mendorong pertumbuhan ekonomi lokal. Selain itu, konektivitas yang baik juga dapat memperkuat kohesi sosial dan meminimalkan kesenjangan antara kota dan desa.

Sebagai contoh, di sebuah desa perbatasan yang akhirnya mendapatkan akses jalan yang layak, masyarakat melaporkan adanya peningkatan pendapatan. Hasil pertanian yang sebelumnya sulit dijual karena tingginya biaya transportasi kini dapat dipasarkan dengan lebih mudah. Selain itu, pembangunan jalan juga memfasilitasi masuknya layanan kesehatan dan pendidikan yang lebih baik ke daerah tersebut.

“Jalan itu seperti nadi kehidupan bagi masyarakat di pedalaman. Jika nadinya tersumbat, maka semuanya akan terhambat. Dari akses ekonomi hingga pelayanan publik, semua bergantung pada jalan yang layak,” ujar Suyanto.

Di tengah berbagai kebutuhan yang mendesak, keterbatasan anggaran menjadi salah satu alasan pemerintah sulit memenuhi semua kebutuhan infrastruktur sekaligus. Dengan alokasi dana yang terbatas, pemerintah harus memilih prioritas, dan sering kali wilayah perkotaan menjadi pilihan utama. Namun, Suyanto menilai bahwa keterbatasan anggaran bukanlah alasan untuk mengabaikan daerah pedalaman.

“Kita perlu perencanaan yang lebih adil dan berbasis kebutuhan masyarakat. Jika anggaran terbatas, seharusnya difokuskan pada daerah-daerah yang benar-benar membutuhkan, bukan untuk menambah sesuatu yang sudah baik,” sarannya.

Ke depan, Suyanto berharap pemerintah dapat mengubah pendekatan dalam perencanaan pembangunan infrastruktur jalan. Salah satu langkah yang disarankan adalah melakukan pemetaan kebutuhan yang lebih komprehensif dengan melibatkan masyarakat setempat dalam proses perencanaan. Dengan cara ini, prioritas pembangunan dapat lebih mencerminkan kebutuhan riil di lapangan.

Selain itu, pemerintah juga didorong untuk memanfaatkan teknologi dalam perencanaan dan pengawasan proyek infrastruktur. Penggunaan data geospasial, misalnya, dapat membantu mengidentifikasi wilayah-wilayah yang paling membutuhkan perbaikan jalan. Transparansi dalam pengelolaan anggaran juga menjadi faktor penting untuk memastikan bahwa dana yang dialokasikan benar-benar digunakan secara efektif.

Isu ketimpangan dalam pembangunan jalan di Kalimantan Barat adalah cerminan dari tantangan yang lebih besar dalam pembangunan nasional. Namun, dengan komitmen yang kuat dari semua pihak, ada harapan untuk mewujudkan pembangunan yang lebih adil dan inklusif. Dalam konteks ini, suara masyarakat pedalaman dan perbatasan harus menjadi bagian penting dari pengambilan keputusan.

Suyanto Tanjung dan para pegiat pembangunan lainnya percaya bahwa perubahan itu mungkin. Dengan memprioritaskan daerah-daerah yang paling membutuhkan, pembangunan infrastruktur dapat menjadi alat yang efektif untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat dan mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Seperti yang ia katakan, “Pembangunan itu harus berpihak kepada rakyat, bukan sekadar mengejar angka.”

Next Post Previous Post