Misteri 774 Kg Emas: Pengadilan Bebaskan WNA China Terdakwa Penambangan Ilegal di Kalbar

  

Kisah penambangan tanpa izin di Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat, yang melibatkan Yu Hao, seorang warga negara China berusia 49 tahun, akhirnya menemui titik baru di Pengadilan Tinggi Pontianak. Keputusan ini menciptakan polemik yang mengundang perhatian banyak pihak, terutama setelah Pengadilan Tinggi mengabulkan permohonan banding Yu Hao dan membatalkan vonis Pengadilan Negeri Ketapang yang sebelumnya menjatuhkan hukuman 3,5 tahun penjara serta denda Rp 30 miliar.

Ketua Majelis Hakim, Isnurul S. Arif, menyatakan bahwa Yu Hao tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana penambangan tanpa izin sebagaimana didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum. Dalam dokumen Petikan Putusan Pidana yang diterima, majelis hakim memutuskan untuk membebaskan Yu Hao dari semua dakwaan, sekaligus mengakhiri masa penahanan yang dijalani terdakwa.

Kasus ini bermula dari aktivitas tambang emas ilegal yang dilakukan oleh kelompok yang dipimpin oleh Yu Hao. Penambangan ini tidak hanya merusak lingkungan tetapi juga menyebabkan kerugian negara yang signifikan. Berdasarkan laporan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), kerugian diperkirakan mencapai Rp 1,020 triliun akibat hilangnya cadangan emas sebanyak 774,27 kg dan perak sebanyak 937,7 kg. Modus operandi Yu Hao dkk. adalah memanfaatkan lubang tambang dalam (tunnel) yang berada di bawah izin pemeliharaan milik dua perusahaan, PT BRT dan PT SPM.

Tim Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Ditjen Minerba menemukan sejumlah bukti kuat, seperti pemecah batu (grinder), bahan kimia, dan induction furnace, yang biasa digunakan untuk memurnikan emas. Bahkan, ditemukan merkuri dengan kadar 41,35 mg/kg yang digunakan untuk memisahkan emas dari mineral lainnya. Berdasarkan hasil uji, kadar emas yang terkandung dalam sampel batuan cukup tinggi, mencapai 136 gram/ton hingga 337 gram/ton.

Pada 10 Oktober 2024, Pengadilan Negeri Ketapang menjatuhkan vonis bersalah terhadap Yu Hao dengan hukuman penjara 3,5 tahun dan denda Rp 30 miliar. Namun, pihak terdakwa mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Pontianak, yang pada akhirnya membatalkan putusan tersebut. Jaksa pun tidak tinggal diam dan memastikan akan mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung.

Yu Hao, yang bertindak sebagai penanggung jawab utama, mengorganisir lebih dari 80 Tenaga Kerja Asing (TKA) asal China untuk menjalankan kegiatan penambangan. Para pekerja ini dibantu oleh warga lokal dalam tugas-tugas pendukung, seperti pemompaan air, housekeeping, hingga katering. Dengan dalih pemeliharaan tambang, mereka melakukan blasting menggunakan bahan peledak, penggalian bijih emas, hingga proses pemurnian emas langsung di lokasi tambang.

Emas hasil pemurnian biasanya diolah menjadi dore atau bullion, yang kemudian dibawa keluar dari lokasi tambang untuk dipasarkan. Aktivitas ini tidak hanya melanggar hukum tetapi juga menimbulkan kerusakan lingkungan yang parah. Penggunaan merkuri dalam proses pemisahan emas menimbulkan risiko kontaminasi terhadap ekosistem sekitar.

Keputusan Pengadilan Tinggi Pontianak untuk membebaskan Yu Hao memicu berbagai reaksi dari masyarakat. Banyak pihak mempertanyakan alasan di balik pembatalan putusan sebelumnya, mengingat bukti yang ditemukan di lapangan sangat kuat. Di sisi lain, Kepala Seksi Intelijen Kejaksaan Negeri Ketapang, Panter Rivay Sinambela, menegaskan bahwa jaksa akan melakukan kasasi untuk mencari keadilan.

“Iya, kita wajib kasasi,” ujar Panter. Ia menambahkan bahwa putusan ini tidak hanya berdampak pada kasus Yu Hao, tetapi juga dapat menjadi preseden buruk dalam penegakan hukum terhadap aktivitas tambang ilegal di Indonesia.

Selain itu, aktivis lingkungan juga turut bersuara. Mereka menyoroti bagaimana kegiatan tambang ilegal ini merusak hutan dan mencemari sungai di Ketapang. Jika dibiarkan, hal ini dapat memperburuk krisis lingkungan di wilayah tersebut.

Kasus ini juga membuka mata terhadap sejumlah celah dalam regulasi tambang di Indonesia. Salah satunya adalah pengawasan terhadap Izin Usaha Pertambangan (IUP). Dalam kasus ini, PT BRT dan PT SPM diketahui belum memiliki persetujuan Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) untuk produksi tahun 2024-2026. Namun, aktivitas tambang tetap berlangsung dengan dalih pemeliharaan.

Tidak adanya pengawasan yang ketat terhadap lubang tambang dalam masa pemeliharaan menjadi peluang bagi pihak-pihak tertentu untuk memanfaatkannya secara ilegal. Penggunaan bahan peledak tanpa izin serta peralatan pemurnian yang ditemukan di lokasi seharusnya menjadi bukti kuat adanya aktivitas ilegal.

Dalam waktu dekat, jaksa akan mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung sebagai upaya hukum terakhir. Langkah ini diharapkan dapat memberikan kepastian hukum dan keadilan, mengingat besarnya dampak dari kasus ini, baik secara ekonomi maupun lingkungan.

Sementara itu, pemerintah perlu memperkuat pengawasan terhadap aktivitas tambang, terutama di wilayah yang rawan penambangan ilegal. Regulasi yang lebih ketat serta penegakan hukum yang konsisten diperlukan untuk mencegah kasus serupa terjadi di masa depan.

Kasus Yu Hao menjadi pengingat akan pentingnya pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan. Dengan cadangan mineral yang melimpah, Indonesia memiliki peluang besar untuk meningkatkan perekonomian nasional. Namun, tanpa pengelolaan yang baik, potensi ini dapat berubah menjadi bencana lingkungan dan ekonomi.

Keputusan akhir terkait kasus ini akan menjadi ujian bagi sistem peradilan di Indonesia. Apakah hukum dapat ditegakkan dengan adil, ataukah kasus ini akan menjadi contoh lain dari lemahnya penegakan hukum terhadap kejahatan lingkungan? Hanya waktu yang akan menjawab.

Next Post Previous Post