IKN: Simbol Ambisi atau Janji yang Ditangguhkan?
Foto : Sekretariat Kabinet |
Langit Kalimantan Timur terus bergemuruh oleh suara
mesin-mesin konstruksi yang tak henti membangun mimpi besar Indonesia: Ibu Kota
Nusantara (IKN). Namun, ada satu hal yang hilang dari pemandangan itu—kehadiran
Presiden Prabowo Subianto. Sejak dilantik pada 20 Oktober 2024, Prabowo belum
pernah terlihat berkantor atau bahkan berkunjung ke IKN. Sebuah pertanyaan
menggantung di udara: Apakah proyek ambisius ini masih menjadi prioritas
pemerintahan baru?
Di tengah keraguan publik, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), yang kini menjabat sebagai Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, mencoba menenangkan gejolak itu. Dengan nada optimis, AHY menegaskan bahwa fokus pemerintah saat ini adalah memastikan inti pemerintahan—eksekutif, legislatif, dan yudikatif—terbangun dengan sempurna di IKN. “Kita ingin menciptakan pusat pemerintahan yang modern dan efisien. Itulah prioritas utama kami,” ujarnya dalam sebuah konferensi pers.
Namun, janji itu membawa kita pada pertanyaan lebih dalam: Apakah membangun sebuah pusat pemerintahan cukup untuk menghidupkan sebuah kota? IKN bukan sekadar gedung-gedung megah; ia adalah simbol dari visi masa depan Indonesia. Dan visi itu membutuhkan lebih dari sekadar batu dan semen—ia memerlukan kehadiran, komitmen, dan kepemimpinan nyata di lapangan.
Di balik rencana besar ini, IKN adalah mimpi tentang Indonesia yang lebih adil dan merata. Jakarta, dengan segala kemegahannya, telah lama menjadi simbol ketimpangan. Sebagian besar aktivitas ekonomi, politik, dan budaya terpusat di ibu kota lama itu, meninggalkan daerah-daerah lain dalam bayang-bayang. IKN dirancang untuk mengubah itu semua, menjadi pusat pemerintahan yang lebih dekat dengan jantung geografis Indonesia dan membawa kemakmuran ke seluruh Nusantara.
Tapi, membangun kota baru di tengah hutan bukanlah hal yang mudah. Ini bukan hanya tentang memindahkan kantor-kantor pemerintahan, tetapi juga menciptakan ekosistem sosial, ekonomi, dan budaya yang berkelanjutan. Dan di sinilah tantangan terbesar terletak: bagaimana memastikan bahwa IKN tidak hanya menjadi kota hantu yang dipenuhi gedung kosong?
AHY percaya bahwa kuncinya adalah kolaborasi. Ia mengajak Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) untuk berperan aktif dalam pembangunan ini. “Kadin bukan hanya mitra pemerintah. Mereka adalah representasi dari seluruh pengusaha Indonesia, dari yang besar hingga kecil. Semua harus terlibat,” katanya.
Pernyataan ini menegaskan bahwa pembangunan IKN bukan hanya tugas pemerintah. Ini adalah proyek nasional yang membutuhkan partisipasi semua pihak. Namun, di tengah seruan optimisme itu, ada satu pertanyaan yang belum terjawab: Bagaimana caranya menarik investasi dalam skala besar di tengah ketidakpastian ekonomi global?
Sejak awal, pemerintah menegaskan bahwa proyek IKN tidak akan sepenuhnya bergantung pada APBN. Sebagian besar pendanaan diharapkan datang dari investasi swasta, baik domestik maupun asing. Namun, menarik investasi dalam proyek sebesar ini bukanlah hal yang mudah. Investor membutuhkan kepastian—bukan hanya tentang keuntungan ekonomi, tetapi juga tentang stabilitas politik dan keberlanjutan proyek.
Ketidakhadiran Presiden Prabowo di IKN mungkin tampak sepele, tetapi bagi investor, ini adalah simbol. Ini adalah pertanyaan tentang komitmen. Jika pemimpin tertinggi negara belum menunjukkan kehadirannya di proyek ini, bagaimana mereka bisa yakin bahwa proyek ini benar-benar menjadi prioritas?
AHY memahami kekhawatiran ini. Itulah sebabnya ia terus menekankan pentingnya koordinasi antara pemerintah dan Otorita IKN yang dipimpin oleh Basuki Hadimuljono. “Kami terus berkoordinasi untuk memastikan bahwa setiap langkah pembangunan berjalan sesuai rencana. Ini bukan hanya tentang membangun gedung, tetapi tentang membangun masa depan,” ujarnya.
Namun, kata-kata itu hanya akan berarti jika diikuti oleh tindakan nyata. Investor ingin melihat hasil, bukan janji. Dan hasil itu hanya bisa dicapai jika semua pihak—pemerintah, swasta, dan masyarakat—bekerja bersama.
Di balik gemerlap rencana besar ini, ada tantangan lain yang sering terlupakan: manusia. Membangun IKN bukan hanya tentang menciptakan infrastruktur, tetapi juga tentang membangun komunitas. Bagaimana caranya memastikan bahwa masyarakat lokal tidak hanya menjadi penonton di tengah proyek raksasa ini? Bagaimana caranya menciptakan kota yang benar-benar hidup, bukan hanya kumpulan gedung kosong?
AHY menyadari pentingnya aspek ini. Ia menekankan bahwa pembangunan IKN harus melibatkan semua lapisan masyarakat, termasuk UMKM. “Ini bukan hanya tentang pengusaha besar. Kita harus melibatkan semua, dari atas hingga bawah. Hanya dengan cara itu kita bisa memastikan bahwa manfaat dari proyek ini dirasakan oleh semua pihak,” katanya.
Namun, kata-kata itu membutuhkan bukti. Selama ini, banyak proyek besar di Indonesia yang gagal melibatkan masyarakat lokal. Mereka dibangun untuk segelintir orang, sementara masyarakat di sekitarnya justru tersingkir. Jika IKN ingin menjadi simbol masa depan yang lebih adil, maka ia harus belajar dari kesalahan itu.
IKN adalah mimpi besar, tetapi juga taruhan besar. Ini
adalah proyek yang akan menentukan masa depan Indonesia. Jika berhasil, IKN
akan menjadi simbol kebangkitan nasional. Jika gagal, ia akan menjadi monumen
dari janji-janji yang tak pernah ditepati.Presiden Prabowo mungkin belum
menginjakkan kaki di IKN, tetapi langkah-langkah yang diambil pemerintah
menunjukkan bahwa proyek ini tetap berjalan. Pertanyaannya sekarang adalah:
Apakah langkah-langkah itu cukup? Apakah kita akan melihat IKN sebagai kota
yang hidup dan berkembang, atau hanya sebagai simbol ambisi yang tak pernah
terwujud?
Waktu akan menjawab. Namun satu hal pasti: keberhasilan IKN
bukan hanya tanggung jawab pemerintah. Ini adalah tanggung jawab kita semua.
Seperti kata AHY, “Ini bukan hanya tentang membangun kota. Ini tentang
membangun masa depan Indonesia.”