Polda Kalbar Ungkap 23 Kasus Perdagangan Orang dalam Sebulan: Komitmen Serius Mendukung Program Asta Cita Presiden
Foto : dok Istimewa |
Dalam rentang waktu 23 Oktober hingga 20 November 2024, Polda Kalimantan Barat (Kalbar) berhasil mengungkap 23 kasus tindak pidana perdagangan orang (TPPO). Prestasi ini menjadi bukti nyata dari implementasi Program Asta Cita Presiden Prabowo Subianto yang menitikberatkan pada pemberantasan praktik ilegal, termasuk perdagangan manusia.
Pengungkapan kasus ini diumumkan secara serentak dalam
konferensi pers yang dipimpin langsung oleh Kabareskrim Polri, Komjen Wahyu
Widada. Kegiatan ini dipusatkan di Polda Kepulauan Riau (Kepri) dan diikuti
oleh jajaran Polda lainnya melalui sarana daring. Khusus untuk Polda Kalbar,
konferensi pers digelar di halaman Pos Lintas Batas Negara (PLBN) Entikong,
Kabupaten Sanggau, yang merupakan salah satu titik strategis di wilayah
perbatasan.
Komitmen Serius Melawan TPPO di Wilayah Perbatasan
Kabidhumas Polda Kalbar, Kombes Pol Petit Wjaya, menegaskan bahwa lokasi konferensi pers di PLBN Entikong dipilih sebagai simbol keseriusan dalam melaksanakan instruksi Presiden untuk memberantas TPPO, terutama di kawasan perbatasan. "Keberadaan kami di sini menunjukkan komitmen nyata kepolisian, khususnya Polda Kalbar, dalam mendukung program Asta Cita Presiden untuk melindungi masyarakat dari jeratan perdagangan manusia," ujar Kombes Petit.
Ia menambahkan bahwa keberhasilan ini tidak lepas dari kerja
sama yang solid antara Polda Kalbar, pihak Imigrasi, serta Badan Pelindungan
Pekerja Migran Indonesia (BP3MI). Kolaborasi lintas lembaga ini menjadi kunci
dalam mengidentifikasi, menangkap pelaku, serta menyelamatkan korban dari
jaringan TPPO yang beroperasi di wilayah Kalbar.
25 Pelaku Ditangkap, 74 Korban Diselamatkan
Direktur Reserse Kriminal Umum (Direskrimum) Polda Kalbar,
Kombes Pol Bowo Gede Imantio, melaporkan bahwa selama operasi intensif,
pihaknya menangkap 25 pelaku yang terlibat dalam kasus perdagangan manusia.
Sebanyak 74 korban berhasil diselamatkan, yang terdiri dari 56 laki-laki dan 18
perempuan.
Para korban mayoritas merupakan pekerja migran yang direkrut
untuk pekerjaan kasar seperti tenaga kerja perkebunan, petani, tukang bangunan,
hingga buruh tambang. "Sebagian korban bahkan masih di bawah umur dan
dipaksa untuk bekerja sebagai pemandu lagu, yang merupakan bentuk
eksploitasi," ungkap Kombes Bowo.
Minimnya keterampilan serta ketiadaan dokumen resmi menjadi
faktor yang memudahkan para pelaku memanfaatkan korban. Para pekerja ini
diiming-imingi pekerjaan dengan gaji besar, namun justru dihadapkan pada
kondisi kerja yang penuh eksploitasi. "Selain dieksploitasi secara fisik,
korban juga kerap diperlakukan kasar dan diancam agar tidak melaporkan kondisi
mereka," imbuhnya.
Langkah Hukum Tegas untuk Pelaku TPPO
Dalam penanganan kasus ini, Polda Kalbar menerapkan sejumlah
pasal dari berbagai undang-undang untuk memastikan para pelaku menerima hukuman
setimpal.
- Pasal 10 UU RI Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Perdagangan Orang
Pasal ini menyatakan bahwa setiap orang yang membantu atau mencoba melakukan TPPO akan dikenakan sanksi yang sama seperti pelaku utama, sebagaimana diatur dalam Pasal 2 hingga Pasal 6 undang-undang tersebut. - Pasal 81 UU RI Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan
Pekerja Migran Indonesia
Pasal ini mengatur pidana penjara hingga 10 tahun serta denda maksimal Rp15 miliar bagi individu yang secara ilegal menempatkan pekerja migran Indonesia di luar negeri. - Pasal 69 UU RI Nomor 18 Tahun 2017
Pasal ini melarang individu untuk melakukan penempatan pekerja migran tanpa izin resmi, yang menjadi dasar hukuman tambahan bagi para pelaku.
"Dengan langkah hukum yang tegas ini, kami berharap
dapat memberikan efek jera kepada pelaku dan mencegah terjadinya kasus serupa
di masa depan," ujar Kombes Bowo.
Kerugian Negara yang Berhasil Diselamatkan
Pengungkapan kasus perdagangan manusia ini tidak hanya
menyelamatkan korban dari eksploitasi, tetapi juga mencegah kerugian negara
yang cukup signifikan. Kombes Bowo mengungkapkan bahwa potensi kerugian negara
yang berhasil dicegah dalam operasi ini mencapai angka Rp21,105 miliar.
"Jumlah ini merupakan estimasi dari dampak ekonomi yang ditimbulkan oleh
aktivitas ilegal para pelaku," jelasnya.
Tantangan Penanganan Kasus TPPO di Kalbar
Sebagai wilayah perbatasan yang strategis, Kalbar kerap
menjadi jalur utama perdagangan manusia, baik untuk tujuan domestik maupun
internasional. PLBN Entikong, misalnya, sering menjadi titik keluar-masuk
pekerja migran yang tidak dilengkapi dokumen resmi.
Kondisi ini diperparah oleh kurangnya kesadaran masyarakat
akan bahaya perdagangan manusia. Banyak korban yang tidak menyadari bahwa
mereka sedang dijebak oleh jaringan TPPO, terutama karena bujuk rayu dan
janji-janji manis dari para perekrut.
Di sisi lain, keterbatasan sumber daya untuk memantau setiap
pergerakan di perbatasan juga menjadi kendala yang dihadapi pihak berwenang.
Oleh karena itu, kolaborasi dengan berbagai lembaga seperti Imigrasi dan BP3MI
menjadi solusi utama untuk mengatasi masalah ini.
Keberhasilan Polda Kalbar dalam mengungkap 23 kasus TPPO
dalam waktu sebulan mendapat apresiasi dari berbagai pihak. Namun, Kabidhumas
Polda Kalbar menegaskan bahwa upaya ini belum berakhir. "Perang melawan
perdagangan manusia membutuhkan partisipasi aktif dari semua elemen masyarakat.
Jika ada yang mencurigai aktivitas perdagangan manusia, segera laporkan kepada
pihak berwajib," imbau Kombes Petit.
Dengan keberhasilan operasi ini, harapan besar muncul agar
Program Asta Cita Presiden Prabowo Subianto dapat terus mendorong peningkatan
pengawasan dan perlindungan terhadap pekerja migran Indonesia. Langkah ini
tidak hanya melindungi warga negara dari eksploitasi, tetapi juga memperkuat
citra Indonesia sebagai negara yang berkomitmen terhadap hak asasi manusia dan
keadilan sosial.
Melalui sinergi yang kuat antara pemerintah, aparat penegak hukum, dan masyarakat, perdagangan manusia dapat diberantas hingga ke akarnya, menciptakan lingkungan yang lebih aman dan bermartabat bagi semua.