Pelepasliaran Tujuh Orangutan di Kalimantan Barat: Kolaborasi Antar-Lembaga untuk Masa Depan Satwa Langka
Foto : Pinterest |
Di tengah hutan Kalimantan Barat yang rimbun dan penuh
kehidupan, Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kalimantan Barat, bersama
Yayasan Inisiasi Alam Rehabilitasi Indonesia (YIARI) dan Balai Taman Nasional
Bukit Baka Bukit Raya (TNBBBR), mengukir sejarah baru dalam upaya konservasi.
Mereka berhasil melepasliarkan tujuh orangutan yang telah selesai menjalani
rehabilitasi panjang ke habitat alaminya di Taman Nasional Bukit Baka Bukit
Raya, sebuah kawasan yang dinilai sebagai habitat ideal untuk mereka.
Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya bukan hanya dipilih karena statusnya sebagai kawasan konservasi yang aman, tetapi juga karena melimpahnya sumber pakan di area ini. Dengan berbagai jenis pohon buah yang menjadi makanan favorit orangutan, kawasan ini sangat mendukung keberlanjutan hidup mereka. Menurut Kepala BTNBBBR, Andi Muhammad Kadhafi, "Kondisi hutan di TNBBBR sangat ideal sebagai habitat alami orangutan karena menyediakan sumber pakan yang melimpah."
Momen pelepasliaran ini menjadi bukti kerja sama lintas-lembaga yang melibatkan ratusan pihak, termasuk masyarakat lokal, yang turut berperan dalam mewujudkan impian untuk memulihkan populasi orangutan di alam liar. Dalam proses pelepasliaran yang memakan waktu tiga hari, lebih dari 100 orang terlibat langsung dalam perjalanan panjang dari pusat rehabilitasi YIARI di Ketapang menuju lokasi pelepasliaran. Setiap langkah diperhitungkan dengan cermat, memastikan para orangutan ini tidak mengalami stres yang berlebihan.
Perjalanan Panjang Menuju Kebebasan: Rehabilitasi di Pusat YIARI
Ketujuh orangutan yang dilepasliarkan, yaitu Rika, Kamila,
Aben, Muaro, Onyo, Batis, dan Lambai, bukan hanya sekadar satwa liar; mereka
adalah individu-individu yang memiliki cerita masing-masing. Semua mengalami
masa rehabilitasi selama lebih dari satu dekade di pusat YIARI di Desa Sungai
Awan, Ketapang, di mana mereka mendapatkan pelatihan hidup yang intensif.
Orangutan-orangutan ini awalnya diselamatkan dari berbagai kasus, termasuk pemeliharaan ilegal, dan secara bertahap dilatih kembali untuk bertahan hidup di alam liar. Di pusat rehabilitasi YIARI, mereka diajarkan keterampilan dasar untuk hidup bebas, seperti memanjat, mencari makanan, dan membuat sarang. Proses rehabilitasi ini adalah usaha panjang dan melelahkan, namun hasilnya adalah individu yang lebih kuat, yang siap menghadapi tantangan alam liar.
Kisah Rika, salah satu orangutan betina yang dilepas, menjadi salah satu bukti keberhasilan rehabilitasi ini. Rika diselamatkan pada tahun 2013 dari kasus perdagangan satwa ilegal. Selama sepuluh tahun di YIARI, dia menunjukkan perkembangan luar biasa dalam hal keterampilan bertahan hidup. Bahkan, Rika menunjukkan kemampuan yang lebih istimewa dengan menjadi induk asuh bagi Aben, seorang orangutan muda. "Selama rehabilitasi, Rika menunjukkan kemampuan menjadi induk yang baik dan membantu Aben mempelajari keterampilan dasar bertahan hidup," ujar Andini Nurillah, Manajer Animal Management YIARI.
Ikatan yang Terbentuk: Orangutan dan Peran Induk Asuh
Yang menarik dari pelepasliaran kali ini adalah ikatan asuh
yang terbentuk di antara dua dari tujuh orangutan tersebut. Kamila, salah satu
orangutan betina, menjadi induk asuh bagi Batis, sementara Rika bertindak
sebagai induk asuh bagi Aben. Ikatan ini terbentuk selama masa rehabilitasi, di
mana Kamila dan Rika mengasuh dan mendampingi Batis dan Aben dalam belajar
bertahan hidup di alam liar.
Kamila, yang diselamatkan dari pemeliharaan ilegal pada tahun 2020, telah menunjukkan kematangan dalam mengasuh Batis. Meski bukan ibu biologisnya, Kamila mampu mengajarkan berbagai keterampilan dasar bertahan hidup, termasuk cara mencari makanan dan membangun sarang. Dengan usia sekitar 15 tahun, Kamila kini dinilai cukup kuat untuk hidup di alam liar. Keberhasilan Kamila dan Rika dalam menjadi induk asuh bagi Batis dan Aben menjadi bukti bahwa rehabilitasi bukan hanya mengembalikan kemampuan alami orangutan, tetapi juga menumbuhkan ikatan sosial di antara mereka.
Kegiatan pelepasliaran ini adalah sebuah upaya kolaboratif
yang melibatkan banyak pihak, termasuk masyarakat sekitar TNBBBR. Ketua Umum
YIARI, Silverius Oscar Unggul, menyatakan bahwa langkah ini adalah bukti nyata
dari kerja sama lintas lembaga demi melindungi satwa liar Indonesia. "Ini
langkah awal yang baik di bawah kepemimpinan baru Menteri Kehutanan,"
ungkapnya.
Untuk memastikan para orangutan ini benar-benar beradaptasi dengan lingkungan barunya, tim pemantau yang terdiri dari masyarakat setempat melakukan pemantauan perilaku setiap dua menit. Pemantauan ini akan berlangsung selama satu hingga dua tahun, memberikan waktu bagi para orangutan untuk menyesuaikan diri secara alami di hutan TNBBBR.
Kepala BKSDA Kalimantan Barat, RM Wiwied Widodo, menegaskan pentingnya melestarikan satwa liar endemik seperti orangutan sebagai bagian dari kekayaan biodiversitas Indonesia. “Dukungan semua pihak sangat penting agar satwa ini bisa terus hidup dan berkembang di habitat aslinya,” ucap Widodo. Melalui usaha ini, diharapkan orangutan-orangutan tersebut dapat beradaptasi dan hidup secara mandiri di habitat aslinya.
Sejak tahun 2016, YIARI telah melepasliarkan sebanyak 82
orangutan di kawasan konservasi, dengan harapan memulihkan populasi mereka di
alam. TNBBBR dipilih sebagai lokasi pelepasliaran karena keanekaragaman
tumbuhan yang dapat menjadi sumber makanan serta lingkungan yang aman dari
ancaman manusia.
Pelepasliaran ketujuh orangutan ini bukan hanya merupakan bentuk pelestarian, tetapi juga langkah penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem. Orangutan sebagai spesies kunci memiliki peran penting dalam menyebarkan biji-bijian yang membantu regenerasi hutan. Dengan adanya mereka di habitat aslinya, harapannya hutan TNBBBR dapat tetap lestari dan mendukung kehidupan satwa liar lainnya.
BKSDA Kalimantan Barat, YIARI, dan TNBBBR dengan bangga mencatat bahwa proses pelepasliaran ini bukan akhir, tetapi awal dari perjalanan panjang untuk melindungi dan menjaga populasi orangutan di Indonesia. Kolaborasi lintas-lembaga ini menunjukkan bahwa dengan dukungan bersama, masa depan satwa liar Indonesia dapat terjaga, memberikan kesempatan bagi generasi mendatang untuk melihat satwa-satwa ini hidup bebas di habitat alaminya.