Mangkraknya Proyek PLTU-1 Kalimantan Barat: Dugaan Korupsi Bareskrim Polri Ungkap Kerugian Negara Mencapai Rp323 Miliar
Wakil Direktur Tindak Pidana Korupsi Bareskrim Polri Kombes Arief Adiharsa. Foto: Humas Polri |
Direktorat Tindak Pidana Korupsi (Dittipidkor) Bareskrim
Polri kini menaikkan status kasus dugaan korupsi pembangunan Pembangkit Listrik
Tenaga Uap (PLTU) 1 Kalimantan Barat dari tahap penyelidikan ke penyidikan.
Kasus ini mengungkap potensi kerugian negara yang diperkirakan mencapai Rp323,2
miliar, sebuah angka yang signifikan dan memerlukan penanganan serius.
Kasus yang ditelusuri sejak beberapa tahun lalu ini diduga terjadi sepanjang periode 2008 hingga 2018. Kombes Arief Adiharsa, Wakil Direktur Tindak Pidana Korupsi Bareskrim Polri, menyatakan bahwa penyelidikan ini berawal dari adanya laporan mengenai pembangunan PLTU 1 Kalimantan Barat yang mandek. Dengan kapasitas produksi yang direncanakan sebesar 2x50 Megawatt (MW), proyek ini awalnya dimaksudkan untuk mendukung pasokan listrik di wilayah Kalimantan Barat. Namun, kenyataan yang dihadapi adalah bahwa pembangkit tersebut tidak berfungsi dan terbengkalai sejak tahun 2016.
Proses Tender dan Kejanggalan yang Ditemukan
Proyek ini dimulai pada tahun 2008 melalui proses lelang
yang dilakukan oleh PT PLN. Dana yang digunakan untuk proyek ini merupakan
bagian dari anggaran PLN, yang bertujuan untuk meningkatkan infrastruktur
ketenagalistrikan di Kalimantan Barat. Proyek tersebut dilelang, dan konsorsium
KSO BRN terpilih sebagai pemenang dengan nilai kontrak yang tidak sedikit,
yaitu mencapai USD 80 juta dan Rp507 miliar, yang jika dikonversi ke kurs
sekarang bernilai sekitar Rp1,2 triliun.
Namun, penunjukan KSO BRN sebagai pemenang tender ternyata menimbulkan tanda tanya besar. Berdasarkan hasil penyelidikan awal, ditemukan bahwa konsorsium ini sebenarnya tidak memenuhi syarat dalam tahap prakualifikasi, serta memiliki kelemahan dalam evaluasi administrasi dan teknis. Kendati demikian, kontrak tetap berjalan. Pada akhirnya, Direktur Utama PT BRN selaku perwakilan dari konsorsium tetap menandatangani kontrak tersebut dengan Direktur Utama PT PLN pada saat itu.
Penyimpangan ini dianggap menjadi awal dari rangkaian masalah yang terjadi. Sebagai perusahaan yang terpilih untuk mengerjakan proyek, KSO BRN ternyata tidak melaksanakan proyek tersebut secara langsung, tetapi malah mensubkontrakkan seluruh pekerjaan kepada dua perusahaan asal Tiongkok, yaitu PT PI dan QJPSE, yang diketahui merupakan perusahaan energi di negara asal mereka. Hal ini menyebabkan kendala dalam pelaksanaan proyek, yang pada akhirnya mengakibatkan pembangunan PLTU 1 Kalimantan Barat terbengkalai.
Dampak Mandeknya Proyek dan Kerugian bagi Negara
Sejak awal proses pembangunan, proyek PLTU ini menghadapi
sejumlah hambatan. Subkontrak yang diberikan kepada perusahaan asing tidak
memberikan hasil yang diharapkan. Pembangunan PLTU dengan kapasitas 2x50 MW
tersebut akhirnya mangkrak dan tidak dapat berfungsi sejak tahun 2016.
Akibatnya, proyek yang seharusnya mendukung suplai listrik di Kalimantan Barat
ini justru menjadi beban bagi negara karena tidak dapat memberikan manfaat
ekonomi maupun sosial.
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI yang melakukan audit atas proyek tersebut menemukan indikasi kerugian negara yang mencapai USD 62,410 juta dan Rp323,2 miliar. Angka ini menggambarkan kerugian besar yang dialami negara akibat proyek yang tak kunjung selesai. Apabila proyek ini dapat diselesaikan sesuai rencana, tentu saja manfaat yang diberikan sangat signifikan, tidak hanya untuk meningkatkan pasokan listrik, tetapi juga untuk mendukung pertumbuhan ekonomi wilayah Kalimantan Barat.
Langkah Hukum dan Komitmen Bareskrim Polri
Kasus ini kemudian dibawa ke ranah hukum dengan status yang
dinaikkan ke tahap penyidikan pada 5 November 2024, setelah gelar perkara yang
dilakukan oleh Bareskrim Polri. Kombes Arief Adiharsa menjelaskan bahwa dalam
penyidikan ini, pihaknya akan berfokus pada pembuktian adanya unsur pidana
dalam proyek pembangunan PLTU ini. Sejumlah saksi dan pihak terkait akan
dipanggil dan diperiksa untuk menggali lebih jauh mengenai keterlibatan
oknum-oknum yang dianggap bertanggung jawab atas kegagalan proyek ini.
Menurut Arief, indikasi korupsi dalam proyek PLTU ini cukup jelas. Tidak hanya ada penyimpangan dalam proses tender, tetapi juga terdapat unsur penyalahgunaan wewenang oleh pihak-pihak terkait. Praktik subkontrak yang dilakukan tanpa prosedur yang memadai dan pengabaian terhadap kualitas proyek menjadi penyebab utama mangkraknya pembangunan PLTU ini. Lebih lanjut, pihaknya juga akan mengkaji kemungkinan adanya unsur kerjasama antara pihak lokal dan pihak asing yang tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Bareskrim Polri berkomitmen untuk menindaklanjuti kasus ini hingga tuntas. Kombes Arief menegaskan bahwa seluruh rangkaian proses penyidikan akan dilakukan secara transparan dan sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku. Ia juga berharap agar penyidikan ini dapat memberikan efek jera bagi pihak-pihak yang terlibat dalam korupsi proyek-proyek pemerintah, khususnya proyek yang menggunakan anggaran besar dan berdampak langsung pada masyarakat.
Dampak Luas Bagi Kepercayaan Publik
Kasus ini tidak hanya menunjukkan bagaimana sebuah proyek
strategis dapat gagal karena ketidakjujuran dan penyalahgunaan wewenang, tetapi
juga memberikan dampak besar terhadap kepercayaan publik terhadap pengelolaan
anggaran negara. PLTU 1 Kalimantan Barat awalnya direncanakan sebagai proyek
untuk mengatasi kekurangan pasokan listrik, namun justru menjadi proyek yang
gagal dan menjadi simbol kerugian negara. Di sisi lain, kasus ini juga
mencerminkan pentingnya pengawasan yang lebih ketat dalam proyek-proyek
strategis yang memiliki dampak besar bagi masyarakat luas.
Tentu, kasus ini juga diharapkan menjadi pelajaran bagi pemerintah dan instansi terkait untuk melakukan evaluasi menyeluruh terhadap mekanisme pengadaan dan pelaksanaan proyek. Selain itu, transparansi dalam setiap tahapan proyek harus terus diperhatikan agar tidak terjadi penyelewengan anggaran yang dapat berdampak buruk bagi masyarakat.
Kasus dugaan korupsi dalam pembangunan PLTU 1 Kalimantan
Barat merupakan cermin dari bahaya penyalahgunaan wewenang dalam pengelolaan
proyek-proyek yang dibiayai oleh negara. Dengan kerugian mencapai Rp323,2
miliar, kasus ini mengingatkan kita semua tentang pentingnya integritas dan
transparansi dalam setiap proses pembangunan. Langkah Bareskrim Polri dalam
meningkatkan status kasus ini ke tahap penyidikan menunjukkan komitmen
penegakan hukum dalam memberantas korupsi di sektor publik.
Dalam jangka panjang, diharapkan adanya reformasi dalam pengawasan proyek pemerintah, baik melalui audit yang lebih intensif, evaluasi proyek secara berkala, hingga penerapan sanksi yang tegas bagi pelanggar. Melalui upaya ini, diharapkan anggaran negara dapat dimanfaatkan dengan lebih efektif dan tidak lagi menjadi korban dari praktik korupsi yang merugikan masyarakat.