Kenaikan UMP Kaltim 2025 Didorong 10%: Pengamat Ungkap Biaya Hidup dan Realitas Ekonomi di Balik Tuntutan Upah Layak

  

Foto : Pinterest

Selama sepuluh tahun terakhir, Kalimantan Timur (Kaltim) mencatatkan perkembangan Upah Minimum Provinsi (UMP) dengan pola kenaikan yang stabil, meskipun angkanya tak pernah melampaui 10 persen per tahun. Tren ini menunjukkan lonjakan terbesar pada 2018, ketika UMP meningkat sebesar 8,51 persen, mencapai Rp 2.543.332. Kenaikan ini kala itu berjumlah Rp 203.775 dari tahun sebelumnya yang sebesar Rp 2.354.800. Meski terdapat kenaikan rutin, Serikat Pekerja Perkayuan Perhutanan dan Umum Indonesia (SP Kahutindo) Kaltim kini mengusulkan kenaikan UMP untuk 2025 sebesar 15 persen, lebih tinggi dari pola kenaikan sebelumnya. Dengan UMP Kaltim di tahun 2024 berada pada angka Rp 3.360.858, tuntutan ini berarti usulan peningkatan menjadi Rp 3.864.985,5 atau penambahan Rp 504.127,5.

 

Tuntutan Pekerja untuk Daya Beli Lebih Kuat

Menurut SP Kahutindo, kenaikan yang lebih signifikan ini dibutuhkan untuk menjaga daya beli pekerja di tengah kenaikan biaya hidup di Kaltim. UMP Kaltim, yang awalnya dirancang untuk pekerja lajang dengan masa kerja kurang dari satu tahun, kini dianggap kurang relevan mengingat banyak pekerja yang sudah memiliki keluarga dan tanggungan.

Pengamat Ekonomi dari Universitas Mulawarman, Purwadi, menyatakan bahwa dasar perhitungan upah minimum tidak lagi tepat jika hanya mengacu pada standar hidup pekerja lajang. "Mayoritas pekerja di Kaltim sudah memiliki keluarga dan tanggungan, sehingga standar ini kurang mencerminkan kebutuhan sebenarnya," jelas Purwadi dalam wawancaranya dengan Kaltim Post pada Kamis, 14 November.

Selain itu, standar biaya hidup di Kaltim cukup tinggi, karena biaya rata-rata diperhitungkan berdasarkan upah pekerja di sektor pertambangan—sektor dengan gaji yang relatif lebih tinggi. "Hasilnya adalah standar ganda, yang tidak sepenuhnya mencerminkan kondisi ekonomi pekerja dari berbagai sektor," tambahnya. Ia menyarankan pemerintah untuk mencari jalan tengah agar kenaikan UMP tidak membebani pelaku usaha namun tetap dapat mendukung kesejahteraan pekerja.

 

Pengamat: Kenaikan 10% Menjadi Pilihan Ideal

Purwadi menyebut bahwa kenaikan ideal untuk UMP Kaltim 2025 adalah sekitar 8 hingga 10 persen, angka yang juga didukung oleh Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) dan Partai Buruh. Kenaikan tersebut dianggap wajar karena mempertimbangkan inflasi sekitar 3 persen dan pertumbuhan ekonomi yang saat ini mengalami penurunan menjadi 4,9 persen akibat melemahnya daya beli di kalangan kelas menengah.

"Kenaikan sebesar 10 persen bisa memberikan sedikit kelonggaran bagi para pekerja di Kaltim dalam memenuhi kebutuhan pokoknya, tanpa membuat beban yang terlalu besar bagi perusahaan," kata Purwadi. Meski begitu, ia mengingatkan bahwa keputusan akhir perlu mempertimbangkan kemampuan finansial perusahaan dan dampaknya pada stabilitas ekonomi sektor-sektor tertentu.

 

Rincian Beban Hidup di Kaltim

Dalam realitasnya, gaji sebesar Rp 3 juta dinilai masih jauh dari cukup untuk hidup layak di Kaltim. Purwadi menjelaskan bahwa untuk memenuhi kebutuhan dasar, pengeluaran seperti sewa tempat tinggal bisa mencapai Rp 1,5 hingga Rp 2 juta. Biaya listrik dan air saja bisa menambah Rp 1 juta lagi. Selain itu, biaya pendidikan, kebutuhan pangan, dan transportasi menambah beban bulanan yang signifikan.

Purwadi menegaskan bahwa kesejahteraan pekerja tidak hanya soal nominal gaji, tetapi juga terkait pengelolaan pengeluaran yang terus meningkat. "Penghasilan sebesar Rp 3 juta sebulan dapat dikatakan masih berada di bawah garis kemiskinan jika melihat pengeluaran rata-rata di Kaltim. Pengeluaran ini belum termasuk biaya kesehatan dan kebutuhan tak terduga lainnya."

 

Rekap Data Kenaikan UMP Kaltim Selama Satu Dekade

Kenaikan UMP Kaltim selama sepuluh tahun terakhir menunjukkan perbedaan persentase yang bergantung pada kondisi ekonomi nasional dan regional. Berikut adalah daftar kenaikan UMP Kaltim sejak 2014 hingga 2024:

  1. 2014: Rp 1.886.315, naik 7,6% atau Rp 134.242
  2. 2015: Rp 2.026.126, naik 7,41% atau Rp 139.811
  3. 2016: Rp 2.161.253, naik 6,67% atau Rp 135.127
  4. 2017: Rp 2.354.800, naik 8,25% atau Rp 178.303,37
  5. 2018: Rp 2.543.332, naik 8,71% atau Rp 203.775
  6. 2019: Rp 2.747.561, naik 8,03% atau Rp 204.229
  7. 2020: Rp 2.981.379, naik 8,51% atau Rp 233.814
  8. 2021: Rp 2.981.379, tidak mengalami kenaikan akibat pandemi Covid-19
  9. 2022: Rp 3.014.497, naik 1,1% atau Rp 33.118
  10. 2023: Rp 3.201.396, naik 4,98% atau Rp 159.459
  11. 2024: Rp 3.360.858, naik 4,98% atau Rp 159.462

Data ini menunjukkan bagaimana kenaikan terbesar terjadi pada tahun 2018, sementara kenaikan terendah terjadi pada 2021, saat pandemi menghantam ekonomi global dan regional.

 

Tripartit sebagai Solusi Kenaikan UMP yang Berimbang

Purwadi menekankan pentingnya pendekatan tripartit dalam menetapkan UMP 2025. Pendekatan ini memungkinkan proses perundingan antara pekerja, pengusaha, dan pemerintah daerah untuk mencapai kesepakatan yang adil. Dengan cara ini, kenaikan UMP dapat diputuskan dengan mempertimbangkan kepentingan semua pihak.

Keterlibatan pemerintah daerah sangat penting dalam memfasilitasi dialog antara pekerja dan pengusaha, memastikan bahwa kenaikan UMP mampu mengakomodasi kebutuhan hidup layak tanpa mengancam keberlanjutan bisnis. “Pemerintah memiliki peran untuk mencari jalan tengah agar tuntutan ini dapat diwujudkan secara proporsional,” ujarnya.

Purwadi juga menambahkan bahwa kenaikan UMP bukan hanya tentang menaikkan gaji, tetapi menciptakan keseimbangan antara biaya hidup yang layak dan produktivitas kerja. “Kita perlu mendukung kesejahteraan pekerja sekaligus menjaga agar perusahaan mampu bertahan dalam kondisi ekonomi yang menantang ini.”

Dengan peningkatan biaya hidup di Kaltim yang dipengaruhi oleh sektor-sektor tertentu, kenaikan UMP 2025 menjadi isu penting yang membutuhkan perhatian mendalam. Usulan kenaikan 15 persen dari SP Kahutindo menunjukkan betapa mendesaknya kebutuhan pekerja untuk mendapatkan upah layak, meskipun pengamat ekonomi menyarankan bahwa angka 10 persen mungkin lebih realistis untuk menjaga keberlanjutan ekonomi.

Purwadi menyimpulkan bahwa UMP yang layak akan berdampak positif tidak hanya bagi pekerja, tetapi juga bagi produktivitas perusahaan. “Kesejahteraan pekerja adalah investasi bagi produktivitas yang pada akhirnya akan menguntungkan perusahaan juga,” tutupnya.

Next Post Previous Post