Relokasi Warga Pesisir Teluk Balikpapan: Ancaman Terhadap Sejarah dan Penjaga Ekologi

 

Ilustrasi : Pixabay

Wacana relokasi warga pesisir Teluk Balikpapan oleh Pemerintah Kabupaten Penajam Paser Utara, sebagai dampak dari rencana perluasan Bandara VVIP di kawasan Ibu Kota Negara (IKN) yang baru, menuai respons keras dari berbagai pihak. Salah satunya datang dari Mapaselle, Ketua Pokja Pesisir Kalimantan Timur. Ia mengungkapkan keprihatinan mendalam atas kemungkinan hilangnya para penjaga alam pesisir Teluk Balikpapan, yang selama ini berperan penting dalam menjaga kelestarian lingkungan kawasan tersebut.

 

Teluk Balikpapan dan Penjaga Alaminya

Menurut Mapaselle, nelayan yang menetap di Kelurahan Jenebora, Gersik, Pantai Lango, dan Maridan merupakan aktor penting dalam pengawasan ekologi Teluk Balikpapan. Mereka tidak hanya sekadar mencari nafkah di perairan, tetapi juga menjadi saksi sekaligus pelapor bagi setiap aktivitas yang mengancam kelestarian teluk. Dari kasus tumpahan minyak, kerusakan mangrove, kebakaran hutan, hingga illegal logging, semua dilaporkan oleh para nelayan ini kepada pihak berwenang dan organisasi non-pemerintah (NGO) yang bekerja untuk menjaga lingkungan.

"Mereka adalah mitra strategis bagi NGO dan pemerintah dalam upaya pengawasan di Teluk Balikpapan," jelas Mapaselle pada Minggu, 13 Oktober 2024. "Jika mereka direlokasi, kita akan kehilangan mata-mata alami yang selalu ada di sana."

 

Warisan Sejarah yang Terancam Hilang

Tidak hanya mengancam kelestarian lingkungan, Mapaselle juga mengingatkan bahwa rencana relokasi ini berisiko menghapus jejak sejarah yang sudah terbentuk ratusan tahun lamanya. Kampung Jenebora, misalnya, sudah ada jauh sebelum kemerdekaan Indonesia. Penduduknya mendiami wilayah tersebut melalui proses yang panjang dan penuh dinamika, menciptakan komunitas yang sangat terikat dengan lingkungan sosial dan alam sekitarnya.

“Keberadaan mereka di sana bukan tiba-tiba. Ada sejarah panjang yang telah membentuk peradaban dan identitas yang unik,” ungkap Mapaselle. Ia menegaskan bahwa relokasi paksa ini sama saja dengan menghapuskan sejarah komunitas yang telah berdiri kokoh di pesisir Teluk Balikpapan.

 

Kemajuan Tidak Seharusnya Mengorbankan Warga

Pembangunan IKN diharapkan menjadi simbol kemajuan dan modernisasi Indonesia. Namun, Mapaselle mengkritik bahwa kemajuan tersebut seharusnya tidak dilakukan dengan mengorbankan warga pesisir. "Prinsip pembangunan IKN adalah menciptakan kota yang inklusif. Jika warga yang selama ini menjaga ekosistem Teluk Balikpapan dipaksa pindah, maka itu bertolak belakang dengan semangat inklusivitas yang diusung," jelasnya.

Relokasi tidak hanya memindahkan orang, tetapi juga memindahkan sumber penghidupan mereka. Bagi para nelayan yang selama ini hidup dari hasil tangkapan di laut, dipindahkan ke daerah daratan berarti kehilangan pekerjaan dan kehidupan yang mereka kenal. Meskipun ada wacana memberikan unit usaha bagi warga yang direlokasi, Mapaselle khawatir bahwa perubahan ini tidak akan serta merta meningkatkan kesejahteraan mereka.

“Memaksa mereka yang sudah terbiasa hidup di laut untuk beralih menjadi pelaku usaha UMKM itu tidak adil dan tidak realistis. Tidak semua orang bisa tiba-tiba menjadi pedagang. Ini membutuhkan adaptasi yang panjang dan tidak mudah,” tegasnya. "Jangan sampai relokasi justru menciptakan masalah sosial baru."

 

Mengembalikan Kejayaan Ekosistem Teluk Balikpapan

Menurut Mapaselle, salah satu langkah untuk meningkatkan kesejahteraan warga pesisir adalah dengan mengembalikan ekosistem Teluk Balikpapan yang dulu sangat melimpah. Sebelum industri mulai berdiri di sepanjang pesisir, nelayan hidup makmur karena hasil laut yang melimpah. Bahkan, pada era 1980-an hingga 1990-an, kondisi perairan Teluk Balikpapan sangat baik sehingga masyarakat bisa mencium aroma ikan segar dari rumah mereka. Mereka tidak memerlukan kapal mesin; cukup dengan dayung dan jala, mereka bisa mendapatkan hasil tangkapan yang banyak.

Namun, seiring waktu, industri minyak, batu bara, CPO, hingga kimia mulai masuk dan memengaruhi kualitas lingkungan di sana. Tutupan mangrove berkurang, lahan hutan terbuka sehingga menyebabkan sedimentasi yang merusak terumbu karang dan padang lamun. Akibatnya, stok ikan menurun dan para nelayan kesulitan untuk mencari penghidupan.

Mapaselle juga menambahkan bahwa tekanan ekologi ini semakin meningkat dengan adanya pembangunan IKN. "Banyak wilayah hutan dan mangrove yang hancur. Ini membuat kami khawatir bahwa sumber penghidupan nelayan akan hilang secara perlahan-lahan," ujarnya.

 

Integrasi Pembangunan Darat dan Laut

Dalam pandangannya, pembangunan IKN seharusnya tidak hanya memperhatikan pembangunan di darat, tetapi juga di laut. “Dampak pembangunan IKN itu tidak bisa hanya dilihat dari aspek administratif daratan, tetapi harus menyeluruh hingga ke lanskap pesisir dan laut,” tandas Mapaselle. Jika tidak ada upaya serius untuk mengintegrasikan pembangunan darat dan laut, maka akan sulit bagi warga pesisir untuk tetap bisa bertahan hidup dengan baik.

Ia berharap bahwa kehadiran IKN dapat memberikan manfaat bagi semua lapisan masyarakat, termasuk nelayan di Teluk Balikpapan. Alih-alih merelokasi mereka, lebih baik pemerintah menciptakan kebijakan yang memungkinkan nelayan tetap tinggal di sana dan menjaga lingkungan yang ada. Dengan demikian, kesejahteraan warga pesisir yang semakin tergerus oleh aktivitas industri dapat dipulihkan, tanpa harus mengubah profesi yang telah mereka jalani secara turun-temurun.

 

Melindungi Identitas dan Warisan Budaya

Kehadiran komunitas pesisir di Teluk Balikpapan tidak hanya soal keberadaan fisik mereka, tetapi juga terkait dengan warisan budaya yang telah terjalin selama bertahun-tahun. Komunitas ini memiliki cara hidup, tradisi, dan hubungan yang kuat dengan lingkungan alam sekitarnya. Merelokasi mereka berarti memutuskan ikatan yang telah dibentuk oleh sejarah dan pengalaman mereka.

“Sejarah itu tidak bisa dipindahkan begitu saja. Ada proses yang panjang yang membentuk hubungan erat antara komunitas dengan alam,” tegas Mapaselle. Dalam upaya menjaga dan merawat Teluk Balikpapan, peran komunitas pesisir ini tidak tergantikan. Mereka yang sehari-hari hidup di laut memiliki pengetahuan mendalam tentang ekosistem dan bagaimana cara menjaga keseimbangannya.

 

Membangun Masa Depan yang Inklusif dan Berkelanjutan

Pembangunan yang benar-benar inklusif adalah pembangunan yang memperhitungkan semua aspek kehidupan, tidak hanya dari sisi ekonomi, tetapi juga dari sisi sosial, budaya, dan lingkungan. Menurut Mapaselle, pemerintah harus memastikan bahwa keberadaan IKN tidak mengorbankan komunitas pesisir. Justru, keberadaan IKN seharusnya menjadi peluang untuk memulihkan ekosistem yang telah rusak akibat berbagai aktivitas industri.

"Kita tidak bisa bicara kesejahteraan nelayan tanpa bicara tentang memulihkan ekosistem di Teluk Balikpapan," jelasnya. Jika ekosistem dapat dipulihkan, maka para nelayan akan bisa kembali hidup sejahtera seperti dulu. Pembangunan IKN juga harus diintegrasikan dengan upaya pelestarian lingkungan di pesisir, agar nelayan tetap bisa mendapatkan penghidupan yang layak dari laut yang mereka cintai.

Pembangunan tanpa mempertimbangkan keberlanjutan lingkungan hanya akan menciptakan masalah di masa depan. Relokasi bukanlah solusi, tetapi justru menciptakan tantangan baru yang harus dihadapi. Harapan Mapaselle adalah agar pemerintah lebih bijak dalam mengambil keputusan, serta lebih memperhatikan dampak jangka panjang dari setiap kebijakan yang dibuat.

Di akhir pernyataannya, Mapaselle menegaskan bahwa pembangunan IKN harus bisa dinikmati oleh semua pihak, termasuk warga pesisir Teluk Balikpapan yang telah menjadi penjaga alam di sana selama bertahun-tahun. Keberhasilan pembangunan harus diukur dari seberapa besar dampaknya terhadap kesejahteraan dan kelestarian lingkungan, bukan hanya dari megahnya infrastruktur yang dibangun. 

Next Post Previous Post