Protes DOPPA Sarawak Terhadap EUDR: Ancaman Serius Bagi Petani Kecil

  

Foto : Pixabay

Asosiasi Pekebun Kelapa Sawit Dayak Sarawak, atau Dayak’s Oil Palm Planters Association (DOPPA), baru-baru ini melancarkan protes keras terhadap Human Rights Watch (HRW), sebuah organisasi hak asasi manusia yang berbasis di New York, Amerika Serikat. Protes ini dipicu oleh permintaan HRW agar Uni Eropa mengklasifikasikan Sarawak, negara bagian Malaysia yang terletak di pulau Kalimantan, sebagai wilayah dengan "Risiko Tinggi" terhadap deforestasi.

DOPPA merasa geram karena argumen yang diajukan HRW dalam surat setebal 38 halaman yang dikirim kepada Uni Eropa pada 21 Mei 2024 dianggap tidak berdasar dan memutarbalikkan fakta. Menurut Presiden DOPPA, Napoleon Royal Ningkos, HRW telah memanipulasi definisi "hutan" yang digunakan dalam peraturan European Union Deforestation-Free Regulation (EUDR). HRW disebut memasukkan hutan yang mengalami regenerasi alami, seperti semak belukar, sebagai bagian dari deforestasi di Sarawak.

Napoleon juga menjelaskan bahwa HRW telah membuat klaim palsu dengan mengatakan bahwa jutaan hektar hutan hujan kuno di Sarawak berisiko ditebang untuk dijadikan perkebunan kelapa sawit. Menurutnya, definisi "hutan" yang digunakan oleh Uni Eropa tidak relevan dengan kenyataan di lapangan. Ia memberikan contoh pembukaan lahan yang dilakukan oleh saudaranya tiga tahun lalu di Sarawak, yang menurut definisi Uni Eropa, dianggap sebagai pembukaan hutan meskipun hanya berupa semak belukar setinggi lebih dari lima meter.

Napoleon menegaskan bahwa definisi "hutan" yang diterapkan Uni Eropa merupakan serangan langsung terhadap hak-hak masyarakat adat Sarawak, yang memiliki hak untuk memutuskan penggunaan tanah leluhur mereka. Menurutnya, definisi ini seharusnya tidak berlaku untuk tanah Hak Adat Asli (Native Customary Rights - NCR) di Sarawak, karena wilayah tersebut telah dikelola jauh sebelum peraturan EUDR diterapkan.

Di Sarawak, tanah NCR banyak dimanfaatkan oleh masyarakat adat untuk budidaya kelapa sawit sebagai upaya meningkatkan taraf hidup mereka. Kelapa sawit menjadi salah satu komoditas yang membantu masyarakat pribumi melepaskan diri dari kemiskinan. Namun, dengan adanya pembatasan EUDR terhadap pembukaan lahan baru untuk perkebunan kelapa sawit, DOPPA menganggap ini sebagai pelanggaran terhadap hak masyarakat adat dalam mengelola tanah mereka sendiri.

Lebih lanjut, Napoleon menyatakan bahwa Uni Eropa telah gagal melibatkan masyarakat adat dalam proses perumusan dan pemberlakuan EUDR. HRW pun dianggap bertindak sewenang-wenang dalam memaksakan agendanya tanpa terlebih dahulu berdiskusi dengan masyarakat adat yang terdampak. Napoleon menyayangkan bahwa HRW tidak melakukan konsultasi dengan DOPPA sebelum mengeluarkan pernyataan negatif mengenai minyak sawit Sarawak.

Napoleon menilai bahwa jika Sarawak dikategorikan sebagai wilayah berisiko tinggi oleh HRW, ini sama saja dengan memaksa masyarakat adat kembali ke kehidupan primitif di hutan. Padahal, mereka telah melalui perjuangan panjang untuk mencapai kesejahteraan ekonomi yang layak dan hidup berdampingan dengan masyarakat modern.

DOPPA akan terus melawan kebijakan EUDR, yang dianggap sebagai ancaman bagi mata pencaharian masyarakat adat yang bergantung pada perkebunan kelapa sawit. Selain itu, Napoleon juga menolak klaim HRW yang menuduh bahwa kebijakan penggunaan lahan oleh pemerintah Sarawak tidak transparan. Menurutnya, kebijakan pemerintah negara bagian sangat jelas dan terbuka, dengan peraturan yang mengharuskan penanaman kelapa sawit hanya dilakukan di tanah NCR.

Pemerintah Sarawak telah menunjukkan keseriusannya dalam memastikan kepatuhan terhadap peraturan tersebut dengan mendirikan One Stop Centers untuk memverifikasi status tanah NCR. Hingga September 2024, dari sekitar dua juta hektar tanah NCR di Sarawak, sebanyak 1,13 juta hektar telah dipetakan. Fakta ini, menurut Napoleon, membantah pernyataan HRW yang menyebutkan bahwa klaim tanah adat di Sarawak tidak transparan.

DOPPA tidak hanya menyerukan perlawanan terhadap EUDR di Sarawak, tetapi juga mengajak petani kecil di seluruh dunia yang menanam kakao, kopi, dan kelapa sawit untuk bersatu menolak aturan EUDR. Menurut mereka, petani kecil harus dikecualikan dari peraturan yang merugikan ini.

Protes terhadap EUDR tidak hanya datang dari DOPPA. Di Indonesia, beberapa asosiasi petani kelapa sawit, seperti Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO), Sawitku Masa Depanku (SAMADE), Asosiasi Petani Kelapa Sawit Perusahaan Inti Rakyat (ASPEK-PIR), dan Santri Tani Indonesia, telah menggelar aksi demo di depan Kedutaan Besar Uni Eropa di Jakarta pada Maret 2023. Mereka bahkan menyerahkan petisi kepada Wakil Duta Besar Uni Eropa, Stephane Francois Mechati, yang berisi permintaan pencabutan EUDR, bukan hanya revisi.

Ketua Umum APKASINDO, Gulat Medali Emas Manurung, dengan tegas menyatakan bahwa pihaknya siap memboikot produk Uni Eropa jika tuntutan mereka tidak diindahkan. Dalam petisi yang diserahkan, ada beberapa poin penting yang diajukan, di antaranya:

  1. Mencabut penargetan EUDR terhadap petani kelapa sawit Indonesia. Uni Eropa harus menghapus pasal dalam peraturan deforestasi yang secara tidak adil menargetkan petani non-Eropa dan membebaskan petani kecil dari aturan EUDR.
  2. Menghapus pelabelan "Risiko Tinggi" terhadap Indonesia sebagai salah satu negara yang terdampak peraturan ini.
  3. Menghormati dan mengakui standar ISPO (Indonesia Sustainable Palm Oil) serta peraturan terkait kelapa sawit yang berlaku di Indonesia. Skema sertifikasi ISPO telah diwajibkan bagi semua pelaku industri minyak sawit Indonesia, termasuk petani.
  4. Menjamin bahwa Uni Eropa tidak lagi menyerang dan mendiskreditkan kelapa sawit sebagai penyebab utama deforestasi.
  5. Meminta Uni Eropa untuk secara tertulis menyampaikan permintaan maaf kepada jutaan petani sawit yang akan terdampak oleh kebijakan diskriminatif EUDR.

Guru Besar dari IPB University, Budi Mulyanto, tidak menampik bahwa aturan EUDR akan menimbulkan polemik di banyak negara, terutama terkait definisi hutan. Menurutnya, definisi hutan di Indonesia telah diatur dalam undang-undang, sementara EUDR memasukkan semak belukar ke dalam kategori hutan, yang sangat berbeda dengan realitas di lapangan.

Budi menegaskan bahwa semak belukar memang bagian dari suksesi hutan, tetapi fungsinya berbeda dengan hutan itu sendiri. Ia menambahkan bahwa dalam situasi tertentu, semak belukar tidak akan pernah menjadi hutan jika populasi manusia terus bertambah. Sebaliknya, jika populasi manusia menurun, semak belukar mungkin akan kembali menjadi hutan.

Namun, Budi juga mengingatkan bahwa semua tindakan harus dilakukan dengan bijak dan beradab, tanpa merusak keseimbangan lingkungan. Pengelolaan lahan harus dilakukan secara cermat, dengan memperhatikan mana yang layak untuk dikembangkan dan mana yang harus dilestarikan.

Kesimpulannya, protes yang dilancarkan oleh DOPPA dan para petani kelapa sawit di berbagai negara menyoroti ketidakadilan yang dirasakan oleh petani kecil akibat aturan EUDR. Mereka menuntut agar Uni Eropa lebih bijak dalam mengimplementasikan peraturan yang berpotensi merugikan kehidupan ekonomi masyarakat adat serta petani kecil di seluruh dunia.

Next Post Previous Post