Penambangan Bauksit dan Ancaman Terhadap Kelestarian Sungai Kapuas

 

Foto : Pixabay

Aktivitas penambangan bauksit di wilayah Tayan, Kalimantan Barat, kian mengancam ekosistem Sungai Kapuas, sungai terpanjang di Indonesia. Ahmad Syukri, seorang aktivis lingkungan dari Link-Ar Borneo, menyoroti dampak serius dari aktivitas eksplorasi ini terhadap lingkungan dan masyarakat sekitar. Menurutnya, Sungai Kapuas, yang menjadi sumber utama air bersih bagi banyak penduduk setempat, kini tercemar limbah tambang, mengubah airnya menjadi keruh berlumpur. Kondisi ini menimbulkan berbagai masalah kesehatan, termasuk iritasi kulit yang dialami warga setempat.

Sejumlah perusahaan besar seperti PT Aneka Tambang (Antam), PT Bintang Tayan Mineral, dan PT Kapuas Bara Mineral beroperasi di sepanjang pesisir Sungai Kapuas. Limbah yang dihasilkan dari kegiatan eksplorasi mereka secara langsung memengaruhi kualitas air sungai. Ahmad menyatakan bahwa pencemaran ini berdampak besar bagi kesehatan masyarakat yang masih bergantung pada air sungai untuk kebutuhan mandi dan mencuci. Namun, efeknya tidak hanya pada kesehatan; pencemaran ini juga menghantam perekonomian lokal, terutama nelayan yang mengalami penurunan drastis dalam hasil tangkapan ikan dan udang karena rusaknya ekosistem sungai.

Upaya hilirisasi bauksit yang didorong oleh pemerintah seolah menjadi ancaman bagi lingkungan dan keberlanjutan hidup warga di sekitar tambang. Menurut Ahmad, polusi dari penambangan bauksit tidak hanya terbatas pada Sungai Kapuas, tetapi juga telah menyebar ke anak-anak sungai di wilayah Tayan. Kegiatan tambang bauksit, pencucian bijih, dan eksplorasi tambang pasir yang dikirim ke Marunda, Jakarta Utara, telah merusak lingkungan sekitar. Wilayah Tayan kini penuh dengan blok-blok pertambangan, perkebunan sawit, serta pabrik pengolahan minyak sawit yang semakin memperburuk keadaan.

PT Bintang Tayan Mineral dan PT Kapuas Bara Mineral adalah dua perusahaan besar yang menguasai lahan konsesi tambang di kawasan ini. PT Bintang Tayan memiliki konsesi seluas 1.028 hektare, sementara PT Kapuas Bara Mineral menguasai 9.245 hektare lahan. Aktivitas tambang ini sangat memengaruhi lingkungan sekitar. Selain itu, hasil tambang dari PT Antam juga dikirimkan ke smelter PT Bintan Aluminium Indonesia (BAI) di Mempawah. Smelter ini baru diresmikan oleh Presiden Joko Widodo sebagai bagian dari proyek Smelter Grade Alumina Refinery (SGAR) tahap pertama.

Hilirisasi bauksit dianggap sebagai langkah strategis dalam transisi energi dan mendukung ekosistem kendaraan listrik di Indonesia. Namun, berbagai pihak mempertanyakan sejauh mana manfaat hilirisasi mineral ini bagi masyarakat sekitar tambang. Dampak lingkungan yang ditimbulkan dari kegiatan tambang ini sangat signifikan dan telah memicu kekhawatiran banyak kalangan, termasuk para aktivis lingkungan.

Di sisi lain, Bob Glorius, vokalis band LAS! yang juga seorang aktivis lingkungan, menyuarakan pandangan bahwa potensi Sungai Kapuas sebagai destinasi ekowisata dapat dimanfaatkan sebagai alternatif ekonomi hijau. Menurut Bob, pencemaran akibat aktivitas industri ekstraktif di sepanjang Sungai Kapuas telah merampas hak dasar masyarakat atas akses air bersih dan udara yang sehat. Bob menilai Sungai Kapuas memiliki nilai potensi yang besar jika dikembangkan sebagai lokasi ekowisata, yang tidak hanya mendukung kelestarian lingkungan, tetapi juga mendorong pertumbuhan ekonomi hijau.

Namun, kenyataan di lapangan justru menunjukkan sebaliknya. Aktivitas tambang dan pabrik yang beroperasi di sepanjang aliran Sungai Kapuas semakin memperburuk keadaan lingkungan. Bob yang bersama-sama dengan Trend Asia dan Link-Ar Borneo mengikuti susur sungai di wilayah Tayan untuk memantau dampak dari tambang bauksit, menemukan banyaknya kerusakan lingkungan yang berpotensi merusak ekosistem sungai.

Dengan semakin meningkatnya upaya pemerintah untuk hilirisasi mineral, termasuk bauksit, permasalahan lingkungan, kesehatan, dan sosial ekonomi kian mencuat. Bauksit, yang menjadi bahan utama untuk produksi baterai dan kerangka kendaraan listrik, dianggap sebagai bagian dari transisi energi menuju era energi hijau. Namun, pencemaran yang ditimbulkan oleh kegiatan tambang bauksit, serta ketergantungan industri kendaraan listrik pada sumber energi berbasis batubara, menimbulkan dilema besar bagi keberlanjutan lingkungan di Indonesia.

Juru kampanye dari Trend Asia, Arko Tarigan, turut mempertanyakan dampak hilirisasi bagi masyarakat lokal. Menurutnya, pertanyaan besar yang harus dijawab adalah apakah hilirisasi mineral ini benar-benar memberikan manfaat bagi masyarakat yang tinggal di sekitar tambang, atau hanya dinikmati oleh segelintir pihak yang berkepentingan. Warga membutuhkan akses terhadap air bersih, udara segar, dan tanah yang subur untuk bertahan hidup, tetapi aktivitas pertambangan justru merampas hak-hak dasar tersebut. Arko menegaskan bahwa upaya hilirisasi harus memperhatikan keseimbangan antara kemajuan industri dengan keberlanjutan lingkungan.

Kunjungan ke Sungai Kapuas ini merupakan bagian dari lokakarya kolaboratif yang melibatkan berbagai pihak seperti Trend Asia, Link-Ar Borneo, dan LAS! yang secara aktif mengkaji transisi energi dan dampaknya terhadap krisis iklim. Sebelumnya, kelompok ini juga mengunjungi wilayah Kualan Hilir, Kalimantan Barat, yang menghadapi tantangan besar akibat deforestasi oleh PT Mayawana Persada. Deforestasi ini semakin memperparah masalah lingkungan yang dihadapi wilayah tersebut.

Band LAS! yang terdiri dari Bob Glorius, Dias Mraz, Cep Kobra, dan Agaz Frial, telah aktif dalam gerakan lingkungan melalui inisiatif "No Music on A Dead Planet". Gerakan ini bertujuan mengajak para musisi untuk peduli terhadap isu lingkungan dan krisis iklim. Dalam beberapa kesempatan, mereka juga menyerukan kepada pemerintah untuk mempercepat transisi menuju energi bersih dan mengurangi emisi gas rumah kaca, dengan tujuan mencapai target nol emisi pada tahun 2050.

Ancaman serius yang dihadapi Sungai Kapuas dan lingkungan sekitarnya akibat penambangan bauksit memerlukan perhatian serius dari berbagai pihak, baik pemerintah, perusahaan tambang, maupun masyarakat. Tanpa langkah tegas untuk mengendalikan dampak negatif dari industri tambang, kerusakan yang lebih besar terhadap lingkungan dan masyarakat setempat akan terus berlanjut. Kelestarian Sungai Kapuas dan keberlanjutan kehidupan warga yang menggantungkan hidupnya pada ekosistem sungai harus menjadi prioritas dalam setiap kebijakan yang berkaitan dengan industri ekstraktif.

Next Post Previous Post