Tragedi Bunuh Diri Dokter di Sabah: Seruan Investigasi Mendalam dari Menkes Malaysia

  

Foto : Instagram(@dzulkefly_ahmad)

Menteri Kesehatan Malaysia, Dzulkefly Ahmad, bersama Asosiasi Medis Malaysia, mendesak pihak berwenang untuk segera mengusut tuntas kematian tragis seorang dokter di Sabah, yang diduga mengakhiri hidupnya karena perundungan di tempat kerja. Kasus ini menyorot perhatian luas, terutama terkait kesehatan mental para tenaga medis di Malaysia.

Dzulkefly, yang telah menjabat sejak 2018, menegaskan bahwa Kementerian Kesehatan Malaysia memiliki komitmen kuat untuk menentang segala bentuk perundungan di lingkungan kerja. "Saya akan terus memegang teguh kebijakan ini. Setiap staf kesehatan berhak mendapatkan lingkungan kerja yang aman dan adil," ungkap Dzulkefly melalui platform X pada Selasa, 17 September 2024.

Presiden Asosiasi Medis Malaysia, Kalwinder Singh Khaira, turut menyuarakan keprihatinan yang mendalam. Menurutnya, kematian tragis ini menjadi peringatan serius tentang pentingnya menjaga kesehatan mental para tenaga medis. "Komunitas medis memantau situasi ini dengan penuh perhatian. Kami sangat mengapresiasi setiap langkah cepat dan transparan dari pihak berwenang," ujar Kalwinder.

 

Sosok Dr. Tay Tien Yaa dan Kematian Tragisnya

Dokter yang menjadi korban dalam kasus ini adalah Dr. Tay Tien Yaa, seorang dokter berusia 30 tahun yang mengepalai Unit Patologi Kimia di Rumah Sakit Lahad Datu. Ia ditemukan tak bernyawa di rumah kontrakannya pada 29 Agustus 2024. Kematian ini mencuat ke permukaan setelah saudara laki-lakinya membagikan unggahan di Facebook pada 14 September 2024, yang mengungkap dugaan bahwa perundungan di tempat kerja menjadi pemicu tindakan bunuh diri Dr. Tay.

Dalam unggahannya, saudara Dr. Tay menyebut bahwa adiknya kerap mengalami tekanan berat di tempat kerja, yang disebabkan oleh seorang rekan seniornya. Tanggung jawab yang berlebihan, ditambah lingkungan kerja yang toksik, semakin memperparah beban yang harus ditanggung oleh Dr. Tay. Meskipun ia dikenal sebagai dokter yang luar biasa dan berdedikasi, perundungan yang dialaminya di tempat kerja menjadi faktor yang sangat memberatkan bagi kesehatan mentalnya.

 

Perundungan dalam Lingkungan Kerja Medis

Kasus ini bukan yang pertama kali mengungkap isu perundungan di kalangan tenaga medis Malaysia. Menurut survei yang dilakukan pada tahun 2023, sekitar 30-40 persen dokter di negara tersebut mengaku pernah mengalami berbagai bentuk perundungan selama bertugas. Fakta ini mengkhawatirkan dan menunjukkan bahwa masih banyak yang harus dilakukan untuk menciptakan lingkungan kerja yang sehat dan mendukung bagi para dokter.

Asosiasi Medis Malaysia dengan tegas meminta para tenaga medis yang mengalami perundungan untuk tidak ragu melapor. Baik melalui jalur internal di tempat kerja maupun langsung ke pihak kepolisian, para dokter diimbau untuk berani bersuara demi menghentikan praktik perundungan yang merusak kesejahteraan mental mereka.

 

Tanggapan Keluarga dan Investigasi Polisi

Meski banyak pihak yang menduga perundungan di tempat kerja sebagai penyebab utama bunuh diri Dr. Tay, pihak kepolisian Lahad Datu mengklasifikasikan kematiannya sebagai "kematian mendadak" dan belum menemukan indikasi adanya tindak pidana. Kepala Polisi Distrik Lahad Datu, Dzulbaharin Ismail, menegaskan bahwa investigasi masih berjalan, namun sejauh ini belum ada bukti kuat yang mengarah pada keterlibatan orang lain dalam peristiwa tragis ini.

Sementara itu, keluarga Dr. Tay tetap teguh pada pendirian mereka bahwa perundungan di tempat kerja menjadi faktor yang tak terbantahkan dalam kematian sang dokter. Dalam unggahan di media sosial, mereka menggambarkan Dr. Tay sebagai pribadi yang hangat, penuh perhatian, dan sangat berdedikasi. "Orang-orang yang mengenalnya akan selalu mengingat Dr. Tay sebagai sosok yang baik, bijaksana, dan setia, baik sebagai saudara, teman, maupun kolega," tulis saudara perempuannya.

Saudara laki-laki Dr. Tay menambahkan bahwa keluarga dan teman-temannya masih merasa sangat terpukul dan terkejut dengan kehilangan ini. Mereka merasakan penyesalan mendalam karena tidak mampu membantu Dr. Tay menghadapi tekanan yang dialaminya. "Kami semua merasa bersalah, sedih, dan menyalahkan diri sendiri karena tidak bisa melakukan lebih banyak untuk menolongnya," ungkapnya.

 

Perjalanan Karier Dr. Tay dan Tantangan yang Dihadapinya

Dr. Tay merupakan lulusan Universitas Kedokteran Negeri Volgograd di Rusia pada tahun 2013. Setelah menyelesaikan pendidikannya, ia bekerja di beberapa rumah sakit besar di Johor dan Kuala Lumpur. Pada tahun 2023, Dr. Tay berhasil meraih gelar master di bidang Patologi Kimia dari Universiti Kebangsaan Malaysia, sebelum akhirnya ditugaskan di Rumah Sakit Lahad Datu pada Februari 2024.

Namun, penempatan di Lahad Datu menjadi tantangan tersendiri bagi Dr. Tay. Terpisah dari suaminya yang tinggal di semenanjung Malaysia, Dr. Tay merasa terisolasi di lingkungan yang baru dan asing. Meski telah dijanjikan untuk dipindahkan kembali ke semenanjung setelah dua tahun bertugas, tekanan yang dialaminya selama bertugas di Lahad Datu semakin memperburuk kondisinya.

Saudara laki-laki Dr. Tay mengungkap bahwa meskipun sudah dibebani dengan pekerjaan yang berat, Dr. Tay juga harus menangani tanggung jawab tambahan yang seharusnya bukan menjadi tugasnya. Ia kerap mendapat tekanan dari seorang rekan senior yang diduga sering memperlakukan Dr. Tay dengan buruk. Semua beban ini, ditambah dengan keterpisahan dari suami yang menjadi pilar dukungan utamanya, akhirnya membuat Dr. Tay merasa tidak mampu lagi menanggungnya.

 

Pelajaran dari Tragedi Ini: Pentingnya Kesehatan Mental di Tempat Kerja

Kematian Dr. Tay menjadi pengingat penting akan kondisi kesehatan mental para tenaga medis yang sering kali diabaikan. Dunia medis, yang selalu diharapkan menjadi benteng perlindungan kesehatan bagi masyarakat, juga diisi oleh individu-individu yang rentan terhadap tekanan kerja yang luar biasa berat.

Saudara laki-laki Dr. Tay berharap bahwa kematian adiknya dapat membuka mata banyak pihak mengenai pentingnya kesehatan mental, terutama di lingkungan kerja medis. "Kehilangan orang yang kita cintai adalah rasa sakit yang tidak bisa digambarkan dengan kata-kata. Saya berharap, pengalaman ini bisa menginspirasi kesadaran yang lebih besar terhadap peningkatan kesehatan mental serta kondisi kerja para pekerja layanan kesehatan," tutupnya.

Kasus ini harus menjadi titik balik bagi para pemangku kebijakan di sektor kesehatan untuk lebih serius dalam menangani isu perundungan dan kesehatan mental di tempat kerja. Kehidupan para tenaga medis tidak hanya bergantung pada kemampuan mereka merawat orang lain, tetapi juga pada seberapa baik mereka dirawat dalam sistem yang mereka layani.

Next Post Previous Post