Pembubaran Aksi Demo Mahasiswa di DPRD Kaltim: Alasan dan Dinamika di Lapangan

  

Foto : GMNI Balikpapan

Pada Senin, 26 Agustus 2024, Kepolisian Resor Kota (Polresta) Samarinda menghadapi situasi yang menegangkan di depan Kantor DPRD Kalimantan Timur. Aksi unjuk rasa yang digelar oleh mahasiswa dari berbagai kampus di Samarinda memicu respons serius dari pihak kepolisian, yang akhirnya menurunkan 800 personel untuk mengamankan situasi. Pendekatan yang diambil oleh polisi diklaim bersifat humanis dan persuasif, meskipun pada akhirnya mereka terpaksa membubarkan massa secara paksa karena aksi tersebut dianggap telah melebihi batas waktu yang diizinkan.

 

Pembubaran Aksi: Klaim Mengganggu Aktivitas Masyarakat

Kapolresta Samarinda, Komisaris Besar Polisi Ary Fadli, menyatakan bahwa pembubaran paksa dilakukan karena aksi unjuk rasa tersebut mengganggu aktivitas masyarakat umum. Jalan di depan kantor DPRD, yang merupakan jalur padat dan vital, menjadi terganggu oleh kehadiran massa yang terus bertahan meskipun telah melebihi waktu yang diizinkan untuk menyampaikan pendapat di muka umum.

"Kami sudah memberikan kesempatan kepada para demonstran untuk menyampaikan orasi mereka, namun ketika waktu yang ditentukan telah habis, mereka tetap tidak mau membubarkan diri," ujar Ary Fadli. "Beberapa kali kami mencoba memberikan imbauan agar massa membubarkan diri secara damai, tetapi imbauan tersebut malah dibalas dengan lemparan batu."

Situasi yang semakin memanas membuat polisi harus menggunakan water cannon untuk membubarkan massa yang terus bertahan. Tak hanya Polresta Samarinda, pengamanan juga diperkuat oleh personel dari Polda Kaltim, Brimob, dan Polresta Kutai Kartanegara. Ary Fadli juga menambahkan bahwa meskipun belum ada laporan resmi mengenai korban, beberapa anggota polisi dan pegawai DPRD Kaltim mengalami luka akibat lemparan batu.

Di tengah situasi tersebut, beberapa peserta aksi diamankan oleh polisi. Namun, Ary menegaskan bahwa mereka akan dipulangkan setelah situasi dinyatakan kondusif dan aman.

 

Mahasiswa Menyuarakan Kekecewaan Terhadap Putusan MK

Di sisi lain, aksi unjuk rasa tersebut dipicu oleh putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang disahkan pada 25 Agustus 2024. Jenderal Lapangan dari Aliansi Mahasiswa Kaltim, Muhammad Abizar Havid, menyatakan bahwa aksi ini adalah bentuk kekecewaan terhadap keputusan MK, yang dianggap tidak berpihak pada kepentingan masyarakat. Selain itu, para mahasiswa juga mendesak agar rancangan undang-undang perampasan aset segera disahkan, serta mendesak implementasi Undang-Undang Masyarakat Hukum Adat.

"Kami juga menyoroti kebijakan pemerintah yang memberikan izin usaha pertambangan (IUP) kepada organisasi masyarakat (ormas) Islam untuk mengelola lahan tambang. Tanah dan sumber daya alam seharusnya menjadi milik rakyat, bukan untuk kepentingan kelompok tertentu," tegas Abizar.

Tuntutan ini, menurut para demonstran, mencerminkan kekecewaan mendalam terhadap kebijakan pemerintah yang dianggap tidak adil. Mereka merasa bahwa tanah mereka dijarah untuk kepentingan kelompok-kelompok tertentu yang dekat dengan kekuasaan, tanpa mempertimbangkan kepentingan masyarakat luas.

 

Dukungan dari Berbagai Kampus dan Komunitas

Aksi unjuk rasa tersebut tidak hanya diikuti oleh mahasiswa dari satu atau dua kampus saja, tetapi melibatkan mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Samarinda. Selain itu, beberapa komunitas dan organisasi seperti Aksi Kamisan Kaltim dan Aman Kaltim juga turut ambil bagian dalam demonstrasi ini.

"Kami tidak akan berhenti sampai tuntutan kami didengar dan dipenuhi. Tidak ada yang bisa menjamin bahwa kepentingan politik tidak akan masuk dalam polemik Pilkada ini," ujar Abizar dengan penuh semangat.

Aksi yang dimulai sejak siang hari ini mencapai puncaknya pada pukul 16.30 WITA. Namun, situasi semakin tidak terkendali sehingga polisi terpaksa membubarkan massa secara paksa pada pukul 18.00 WITA. Tiga unit mobil water cannon dikerahkan untuk menyemprotkan air bertekanan tinggi ke arah kerumunan mahasiswa. Hal ini menyebabkan para mahasiswa berhamburan menyelamatkan diri dari semprotan air yang deras.

 

Dinamika Lapangan dan Respon Kepolisian

Pembubaran paksa ini menimbulkan berbagai reaksi, baik dari pihak demonstran maupun masyarakat yang menyaksikan. Beberapa pihak menganggap tindakan polisi sudah tepat karena aksi unjuk rasa tersebut telah mengganggu ketertiban umum dan menimbulkan potensi konflik yang lebih besar. Namun, ada juga yang mengkritik cara polisi menangani situasi, terutama penggunaan water cannon yang dianggap terlalu berlebihan.

Di tengah kekacauan tersebut, pihak kepolisian tetap berpegang pada prinsip bahwa tindakan yang mereka ambil adalah demi menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat. "Kami tidak ingin ada korban, baik dari pihak demonstran maupun dari masyarakat umum. Oleh karena itu, kami terpaksa mengambil tindakan tegas," ungkap Ary Fadli.

Polisi juga menegaskan bahwa mereka akan terus melakukan pemantauan dan siap mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk menjaga situasi tetap kondusif. Namun, mereka juga membuka pintu dialog dan mengajak para demonstran untuk menyampaikan aspirasi mereka melalui jalur yang lebih damai dan terstruktur.

 

Aksi Mahasiswa dan Tantangan Demokrasi

Aksi unjuk rasa ini mencerminkan dinamika demokrasi di Indonesia, di mana suara masyarakat, terutama mahasiswa, sering kali menjadi penggerak perubahan sosial. Meski demikian, tantangan tetap ada, terutama ketika kepentingan politik dan kebijakan pemerintah dianggap tidak berpihak pada rakyat.

Peristiwa di Samarinda ini menunjukkan bahwa dialog dan pendekatan persuasif masih menjadi tantangan besar, baik bagi pemerintah maupun masyarakat. Sementara itu, para mahasiswa bertekad untuk terus mengawal isu-isu yang mereka anggap penting, dengan harapan bahwa aspirasi mereka akan didengar dan diwujudkan dalam kebijakan yang adil dan merata.

Dengan berakhirnya aksi unjuk rasa ini, tantangan bagi semua pihak adalah bagaimana menciptakan ruang dialog yang lebih baik, di mana aspirasi masyarakat dapat disampaikan dan didengar tanpa harus melalui konflik dan kekerasan. Di tengah upaya membangun demokrasi yang sehat, peristiwa seperti ini menjadi pengingat bahwa jalan menuju perubahan sering kali penuh dengan rintangan, tetapi tetap harus dilalui demi masa depan yang lebih baik.

Next Post Previous Post