Mahasiswa Kaltim Bergerak: Mengawal Putusan MK dan Menentang Revisi UU Pilkada
Foto : Kompas |
Pada Kamis, 22 Agustus 2024, ratusan mahasiswa berkumpul di
depan Universitas Mulawarman Samarinda, Kalimantan Timur, untuk menyuarakan
protes atas keputusan pemerintah dan DPR yang dinilai mengamputasi konstitusi.
Para mahasiswa menilai bahwa dengan mengabaikan putusan Mahkamah Konstitusi
(MK) mengenai penghitungan usia calon kepala daerah, pemerintah telah melakukan
pelanggaran serius terhadap tatanan hukum di Indonesia.
Massa yang tergabung dalam aliansi Mahasiswa Kaltim Bergerak mulai berkumpul sejak pukul 15.00 WITA. Dengan penuh semangat, mereka berorasi, menyuarakan keresahan mereka terhadap langkah DPR dan pemerintah. Dalam orasinya, Maulana, Koordinator Humas Mahasiswa Kaltim Bergerak, menegaskan bahwa mereka tidak akan tinggal diam. Unjuk rasa ini adalah bentuk kepedulian mereka terhadap putusan MK, yang harus dikawal dengan ketat.
Menurut Maulana, DPR telah mengkhianati rakyat Indonesia dengan tindakan mereka. "DPR mengkhianati masyarakat Indonesia. Malam ini kami akan melakukan konsolidasi untuk aksi lanjutan di DPRD Kaltim besok," tegas Maulana, dengan nada suara yang penuh semangat.
Mengawal Revisi UU Pilkada
Salah satu fokus utama dari unjuk rasa ini adalah revisi
Undang-Undang Pilkada yang dianggap bertentangan dengan putusan MK Nomor
70/PUU-XXII/2024. Putusan MK yang dikeluarkan pada 20 Agustus 2024 tersebut
memperjelas pemaknaan terhadap Pasal 7 Ayat (2) Huruf e UU No 10/2016 mengenai
syarat usia minimal calon kepala daerah. Dalam putusan tersebut, MK menegaskan
bahwa usia minimal calon kepala daerah dihitung sejak penetapan pasangan calon
oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), bukan saat pelantikan seperti yang diputuskan
oleh Mahkamah Agung (MA) pada 29 Mei 2024.
Keputusan ini dianggap sebagai langkah maju dalam menjaga keadilan dalam proses pemilihan kepala daerah. Namun, sehari setelah putusan MK, pada 21 Agustus 2024, DPR mengadakan Rapat Panja Revisi UU Pilkada Badan Legislasi. Dalam rapat tersebut, DPR dan perwakilan pemerintah sepakat untuk menggunakan putusan MA sebagai dasar penghitungan usia calon kepala daerah, yaitu usia minimal calon dihitung saat pelantikan.
Kesepakatan di DPR ini menuai kritik tajam dari berbagai kalangan. Banyak pihak menduga bahwa langkah ini diambil untuk meloloskan Kaesang Pangarep, putra Presiden Joko Widodo, sebagai calon gubernur dalam Pilkada 2024. Diketahui, Kaesang lahir pada 25 Desember 1994, dan usianya belum mencapai 30 tahun saat penetapan pasangan calon kepala daerah Pilkada 2024 oleh KPU pada akhir September 2024. Namun, dengan pelantikan kepala daerah yang dijadwalkan KPU dimulai pada Februari 2025, ia akan memenuhi syarat usia tersebut.
Dampak Revisi UU Pilkada Bagi Kalimantan Timur
Selain mengkritisi revisi UU Pilkada, mahasiswa juga
menyoroti berbagai kebijakan pemerintah pusat yang berdampak langsung terhadap
masyarakat dan lingkungan hidup di Kalimantan Timur. Salah satu isu yang
menjadi sorotan utama adalah pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN).
Maulana mengungkapkan bahwa megaproyek IKN tidak hanya bertentangan dengan prinsip kemajuan budaya, tetapi juga mengamini adanya penindasan agraria yang terjadi di banyak titik di kawasan tersebut. Menurutnya, pembangunan IKN di Teluk Balikpapan, yang menjadi jalur logistik utama, mengancam ekosistem lingkungan di area teluk tersebut. Pembangunan pelabuhan dan aktivitas kapal yang meningkat berpotensi menimbulkan limbah industri serta limbah pembangunan yang dapat merusak ekosistem pesisir dan perairan.
Para mahasiswa melihat bahwa pembangunan IKN ini tidak hanya merugikan lingkungan, tetapi juga masyarakat lokal yang terdampak langsung oleh proyek besar tersebut. Mereka merasa bahwa pemerintah pusat lebih memprioritaskan pembangunan fisik ketimbang kesejahteraan masyarakat setempat.
Pembangkangan Konstitusi
DPR sempat menunda agenda persetujuan RUU Pilkada menjadi UU
pada Kamis, 22 Agustus 2024, dengan alasan bahwa anggota dewan belum memenuhi
kuorum. Namun, meskipun agenda tersebut ditunda, langkah DPR dan pemerintah
dalam mengabaikan putusan MK tetap menuai kritik keras.
Herdiansyah Hamzah, seorang pengajar di Fakultas Hukum Universitas Mulawarman Samarinda, menilai bahwa langkah DPR dan pemerintah ini merupakan upaya untuk mengakali Pilkada 2024. Menurutnya, langkah ini bertujuan untuk memastikan bahwa Pilkada di sejumlah daerah, terutama Daerah Khusus Jakarta, dapat didominasi oleh Koalisi Indonesia Maju Plus tanpa adanya kompetitor yang nyata.
Lebih lanjut, Herdiansyah juga menyebutkan bahwa tindakan ini dilakukan untuk memuluskan jalan Kaesang Pangarep, putra Presiden Joko Widodo, agar bisa mencalonkan diri sebagai Wakil Gubernur Jawa Tengah meskipun belum memenuhi syarat usia pencalonan kepala daerah. "Presiden Joko Widodo beserta segenap partai politik pendukungnya tengah mempertontonkan pembangkangan konstitusi dan pamer kekuasaan yang eksesif tanpa kontrol yang berarti dari lembaga legislatif," ungkap Herdiansyah, yang juga tergabung dalam Constitutional and Administrative Law Society (CALS).
CALS pun menyerukan kepada DPR dan pemerintah untuk menghentikan revisi UU Pilkada dan mematuhi putusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024 dan 70/PUU-XXII/2024. Mereka menegaskan bahwa jika revisi UU Pilkada dilanjutkan dengan mengabaikan putusan MK, maka kemungkinan besar akan terjadi pembangkangan sipil.
Dalam pernyataan tertulisnya, CALS menyatakan, "Jika revisi UU Pilkada dilanjutkan dengan mengabaikan putusan MK, segenap masyarakat sipil akan melakukan pembangkangan sipil untuk melawan tirani dan otokrasi rezim Presiden Joko Widodo dan partai politik pendukungnya dengan cara memboikot Pilkada 2024."
Aksi Lanjutan dan Konsolidasi
Mahasiswa Kaltim tidak hanya berhenti pada aksi unjuk rasa
ini. Mereka berencana untuk melanjutkan perjuangan mereka dengan aksi-aksi
selanjutnya. Pada 23 Agustus 2024, mereka berencana untuk menggelar unjuk rasa
di DPRD Kaltim. Konsolidasi pun dilakukan pada malam sebelumnya untuk
memastikan bahwa aksi mereka berjalan lancar dan terorganisir dengan baik.
Para mahasiswa menyadari bahwa perjuangan mereka untuk mengawal putusan MK dan menentang revisi UU Pilkada bukanlah hal yang mudah. Namun, mereka berkomitmen untuk terus bergerak dan menyuarakan aspirasi mereka demi menjaga integritas konstitusi dan keadilan dalam pemilihan kepala daerah.
Mereka juga mengajak seluruh elemen masyarakat, terutama kaum muda, untuk turut serta dalam perjuangan ini. Menurut mereka, masa depan demokrasi Indonesia ada di tangan generasi muda, dan oleh karena itu, mereka harus aktif berpartisipasi dalam mengawal proses demokrasi yang bersih dan adil.
Aksi unjuk rasa yang dilakukan oleh mahasiswa Kaltim ini
menjadi cerminan dari kekecewaan dan ketidakpuasan masyarakat terhadap
langkah-langkah pemerintah dan DPR yang dianggap melanggar konstitusi. Dengan
semangat yang tinggi, mereka berjuang untuk menjaga keadilan dan kejujuran
dalam proses pemilihan kepala daerah, serta menyoroti dampak dari kebijakan
pemerintah pusat yang merugikan masyarakat di daerah.
Perjuangan ini bukan hanya tentang satu isu, tetapi tentang menjaga nilai-nilai demokrasi dan hukum di Indonesia. Dengan aksi-aksi yang terus berlanjut, mahasiswa Kaltim menunjukkan bahwa mereka siap untuk berjuang demi masa depan yang lebih baik bagi bangsa dan negara.