Pengusiran dan Pembakaran Rumah: Nasib Suku Bajau Laut di Sabah
Pihak berwenang di Malaysia telah melakukan pengusiran terhadap lebih dari 200 warga Suku Bajau Laut yang bermukim di pesisir Sabah. Langkah ini diambil dengan alasan peningkatan keamanan dan pencegahan kejahatan lintas batas. Meskipun demikian, tindakan ini telah memicu kontroversi dan kecaman, terutama dari organisasi hak asasi manusia yang menyoroti perlakuan terhadap etnis minoritas di Malaysia.
Latar Belakang Suku Bajau Laut
Suku Bajau Laut adalah kelompok etnis yang dikenal hidup
berpindah-pindah di wilayah perairan Asia Tenggara, terutama di daerah sekitar
Laut Sulu dan Celebes. Mereka dikenal dengan sebutan "Gipsi Laut"
karena gaya hidup mereka yang nomaden, tinggal di rumah-rumah panggung yang
didirikan di atas laut. Suku ini telah menetap di wilayah tersebut selama
berabad-abad, termasuk di Distrik Samporna, yang terletak di ujung timur laut
Kalimantan dan berbatasan langsung dengan Filipina Selatan.
Pengusiran di Sabah
Foto : Kompas |
Liew mengungkapkan bahwa pihaknya telah memberikan pemberitahuan kepada 273 warga Bajau Laut pada bulan sebelumnya. Setelah itu, dalam rentang waktu Selasa hingga Kamis pekan ini, sebanyak 138 bangunan telah dihancurkan di sekitar Taman Laut Tun Sakaran, yang merupakan salah satu destinasi wisata terkenal dengan lokasi penyelamannya yang menakjubkan.
Dampak Terhadap Suku Bajau Laut
Pengusiran ini berdampak signifikan terhadap Suku Bajau
Laut. Lebih dari 500 warga Bajau Laut kehilangan tempat tinggal mereka setelah
rumah-rumah mereka dibongkar dan dibakar oleh petugas. Suku Bajau Laut yang
selama ini hidup tanpa dokumen resmi kewarganegaraan, kini menghadapi
ketidakpastian masa depan. Status mereka yang dianggap sebagai imigran ilegal
oleh pemerintah Malaysia menambah kompleksitas situasi ini.
Respons dari Organisasi HAM
Organisasi hak asasi manusia, seperti Pusat Komas, telah
mengecam tindakan ini dan mendesak pemerintah negara bagian untuk memberikan
solusi yang lebih manusiawi. Mereka menyerukan agar pemerintah menyediakan
tempat tinggal alternatif bagi warga Bajau Laut serta menyelesaikan masalah
dokumen kewarganegaraan mereka. Pernyataan dari Pusat Komas menekankan bahwa
pengusiran paksa ini menimbulkan pertanyaan serius mengenai perlakuan terhadap
etnis minoritas di Malaysia.
Tindakan pengusiran ini tidak lepas dari kontroversi. Banyak pihak yang melihat bahwa langkah ini dilakukan tanpa mempertimbangkan hak-hak dasar warga Bajau Laut. Kritikus berargumen bahwa pemerintah seharusnya mencari solusi yang lebih berkelanjutan dan manusiawi, seperti memberikan bantuan perumahan dan menyelesaikan masalah kewarganegaraan, daripada sekadar melakukan pengusiran paksa.
Upaya Penegakan Hukum dan Konservasi
Di sisi lain, pemerintah Sabah berpendapat bahwa tindakan
ini diperlukan untuk menjaga ketertiban dan melindungi kawasan konservasi.
Sabah Parks, sebagai badan konservasi, memiliki tanggung jawab untuk memastikan
bahwa kegiatan di kawasan tersebut tidak merusak lingkungan dan ekosistem laut
yang rapuh. Namun, upaya penegakan hukum ini harus dilakukan dengan cara yang
tidak merugikan komunitas yang telah lama tinggal di sana.
Nasib Suku Bajau Laut kini berada di persimpangan. Mereka menghadapi tantangan besar dalam mempertahankan cara hidup tradisional mereka sambil beradaptasi dengan perubahan yang dipaksakan oleh pemerintah. Dukungan dari berbagai pihak, termasuk organisasi internasional, sangat penting untuk memastikan bahwa mereka mendapatkan perlakuan yang adil dan akses terhadap layanan dasar.
Pengusiran ratusan warga Suku Bajau Laut dari pesisir Sabah mencerminkan konflik antara upaya penegakan hukum dan konservasi dengan hak asasi manusia dan perlakuan terhadap etnis minoritas. Situasi ini menuntut pendekatan yang lebih seimbang dan solutif dari pemerintah Malaysia untuk memastikan bahwa kepentingan semua pihak dapat diakomodasi tanpa mengorbankan hak-hak dasar warga Bajau Laut.