Sebut saja namanya Martin. Seorang surveyor dari Badan Perencanaan Daerah yang sedang melakukan kajian terkait pertumbuhan ekonomi & tingkat kesejahteraan penduduk desa, lebih spesifik kepada desa yang dalam proses transisi menuju kawasan industri ekstraktif anggaplah berasal dari salah satu provinsi paling barat Kalimantan.
Mula-mula Martin datang ke Dinas Perkebunan untuk menginvetarisir desa-desa yang masuk atau bersentuhan dengan konsesi perkebunan yang sedang dalam proses land acquisition & GRTT (Ganti Rugi Tanam Tumbuh) tujuannya untuk mengetahui kondisi eksisting dari masyarakat desa yang sebentar lagi diproyeksikan akan sejahtera dengan kehadiran investasi perkebunan sawit.
Martin mengambil sample satu desa bernama Desa Kencana di mana ia menemukan “kekosongan” indikator pertumbuhan dan ukuran kesejahteraan dari kacamatanya sebagai seorang developmentalis.
Ia melihat masyarakat desa yang tidak terkoneksi dengan institusi keuangan baik itu koperasi atau bank perkreditan rakyat yang sudah eksis di ibu kota kecamatan.
Saving rendah, kredit konsumsi juga rendah. Tak ada angka-angka yang bisa ia uraikan sebagai ukuran pertumbuhan. Bahkan pendapatan per kapita masyarakat desa sulit ia tuliskan. Setiap kali wawancara, masyarakat desa menjawab pendapatannya tidak pasti.
Tapi ia menemukan ironi di sini, ia melihat rumah rumah warga desa dibangun dari kayu-kayu kualitas premium, kayu belian yang cukup langka dan mahal harganya. Perabotan rumahnya pun dari meble berkualitas. Meski kepemilikan barang elektronik amat jarang terlihat tapi nyaris tiap rumah memiliki sepeda motor dan anak-anak yang sekolah sampai ke pendidikan tinggi di ibu kota Provinsi.
Martin menelisik lebih jauh, seorang responden memberi jawaban menarik, “kami di sini tidak ada yang beli motor pakai kredit seperti orang-orang di ibukota kecamatan, warga desa sini beli motor cash. Selalu membeli barang secara tunai. Warga desa sini ada yang ternak babi, berburu di hutan, memanen ikan di tambak apung,menoreh getah, menjala emas aluvial di tepi sungai, beladang sayur dan buah, panen madu hutan, budidaya arwana semua hasilnya kami kirim ke kecamatan langsung dibeli tunai oleh pengepul”.
Responden tadi melanjutkan, “Hutan dan sungai sudah mencukupi kebutuhan warga desa”.
Martin kembali ke kota dan merampungkan laporannya. Tentu laporan rumit yang tidak sesederhana percakapannya dengan warga desa Kencana. Laporan yang ia tulis akan menjadi satu dokumen lampiran sebagai justifikasi tambahan terhadap kelayakan investasi perkebunan sawit.
Setahun kemudian….
Proses pembebasan lahan sudah dilakukan khususnya di konsesi perusahaan yang masuk ke wilayah HGU bersertifikat dari BPN, beberapa lahan masyarakat dijadikan plasma. Ganti rugi tanam tumbuh telah dilakukan. Hutan yang tadinya dipenuhi oleh vegetasi yang multikultur berubah menjadi hamparan monokultur berupa sawit.
Warga desa telah menukar hutan dan sungainya menjadi kawasan perkebunan yang monokultur.
Kedua belah pihak sepakat karena skenario perkebunan plasma milik masyarakat yang bergandengan dengan perkebunan inti milik perusahaan dianggap sebagai jalan keluar ideal, berkelanjutan dan mensejahterakan rakyat.
Masyarakat kencana yang tadinya memiliki mata pencaharian yang berbeda-beda kini semuanya menggantungkan hidup dengan eksistensi perkebunan kelapa sawit yang baru saja buka.
Warga desa yang tadinya tak memiliki gaji sehingga pendapatan per kapitanya tidak terukur kini sudah mulai menerima gaji rutin, yang tadinya tidak berseragam & tanpa jam kerja kini mulai terlihat rapi dan kerja 8 jam sehari. Displin dalam absensi.
Bagi mereka yang memiliki lahan plasma mendapat keuntungan tambahan dalam bentuk bagi hasil yang disalurkan lewat koperasi yang dibentuk oleh perusahaan. Dari bagi hasil kebun plasma inilah oleh koperasi ditahan sebagai saving yang akan dibagi setahun sekali.
Marketing lembaga leasing, koperasi dan BPR mulai berdatangan menawarkan produk keuangan kepada warga desa Kencana yang telah memiliki penghasilan rutin “yang terukur”.
Warga desa yang sebelumnya terbiasa membeli sepeda motor secara tunai, kini mulai tertarik dan tergiur membeli motor dengan cara menyicil atas bantuan lembaga leasing.
Martin yang terus mengamati perkembangan desa kencana mulai melihat adanya geliat pertumbuhan ekonomi : pendapatan yang terukur, adanya saving, tersalurkannnya kredit konsumsi.
Pada saat yang sama Infrastruktur publik mulai membaik karena adanya sumbangsih perusahaan yang membuka akses jalan khususnya ke dusun-dusun yang sebelumnya terisolir dari jalan darat.
Satu yang lupa diamati Martin, suatu fakta yang hanya terbaca oleh Antropolog bahwa di desa kencana telah terjadi transformasi sosial dari masyarakat agraris menjadi masyarakat industrial. Perubahan yang terjadi dengan cepat dan tidak berakar dari konteks kehidupan masyarakat desa turun temurun.
Dulu sebelum warga bekerja di perkebunan, tak pernah terjadi sengketa lahan bahkan tak ada warga yang mematok batas tanah. Semacam ada rasa kepemilikan bersama dan mengedepankan musyawarah pada setiap pemanfaatan lahan. Kini warga desa berlomba-lomba mematok tanah dan mulai bersengketa satu sama lain terkait klaim kepemilikan tanah.
Dulu selepas petang, warga desa akan kembali ke rumah masing-masing dan berkumpul bersama keluarga sehingga desa terlihat sepi saat malam, kini warga desa punya tradisi baru sering menghabiskan waktu nongkrong di warung-warung yang menjual bir dan kopi.
Martin menyaksikan Desa Kencana kini meriah dengan kehidupan malam yang sudah mulai hidup. Yang itu berarti akan terjadi perputaran uang tanpa henti siang dan malam.
Yang lupa diamati Martin adalah kondisi psikis warga saat menjelang pertengahan bulan. Warga desa terlihat lebih temperamen. Mulai sering terjadi cekcok dalam rumah tangga. Bahkan tren perceraian mulai bermunculan.
Martin mendengar keluh kesah seorang warga desa yang dulu ia wawancarai ,”Sekarang ini gaji cuman numpang lewat. Langsung habis bayar cicilan leasing dan barang elektronik, belum lagi bon-bon sembako dari bulan lalu yang sudah menumpuk”.
Martin menyimpulkan bahwa warga desa sudah terkena penyakit kelas menengah bernama “hedonic treadmill”, maka ia memberi nasehat keuangan yang klise “sisihkan pengasilan untuk menabung dan membeli barang sesuai kebutuhan saja”.
Warga desa yang kini menerima gaji kesulitan dalam mengatur keuangan seperti yang disabdakan Martin. Mereka tak terlatih mengatur gaji. Sebab gaji mematok batas pendapatan berdasarkan jam jam kerja dan mengharuskan pengeluaran di bawah garis pendapatan.
Padahal sebelumnya, kebutuhan mereka tak dibatasi oleh pendapatan. Mereka terlatih untuk memenuhi kebutuhan hidup dengan peluang yang ditawarkan alam dengan pendapatan tak terbatas.
Batin mereka terasa lebih sengsara saat ini.
Oleh Martin, desa mereka dianggap telah mengalami agregat pertumbuhan ekonomi, masuk dalam kelas desa mandiri tapi tak ada rasa tenteram seperti sedia kala. Kualitas hidup mereka menurun.
Turun disebabkan karena mereka telah “dipaksa tanpa sadar” oleh Negara untuk mengkompensasi hutan yang telah memenuhi segala kebutuhannya secara turun-temurun dengan gaji, seragam dan status sosial yang diberikan oleh perusahaan.
Lebih jauh karena dampak perubahan ekologis yang ekstrim di desa Kencana kini mulai muncul penyakit yang disebabkan oleh mikroba dan menyerang bayi-bayi yang baru lahir di desa, yaitu hidrosefalus. Pada beberapa orang dewasa mulai sering terjadi kematian mendadak yang disebabkan oleh meningitis, radang pada selaput otak. Pada ibu-ibu muda mulai sering dijumpai kasus toksoplasmosis.
Kondisi ini mengundang perhatian Bulawan, seorang pakar Biologi Molekular dari lembaga Eijkman. Ia ingin meneliti evolusi mikroba di desa kencana yang disebabkan oleh perubahan ekstrim dari ekosistem dan penurunan kualitas pangan. (Bersambung).
Author : Qoja