Resolusi Damai Konflik Lahan di Seruyan: Jalan Menuju Keadilan dan Kesejahteraan
Makarius Sintong SH, MH |
Minggu lalu, gemuruh aksi protes mengguncang Seruyan pada Sabtu (7/10/23), berujung pada tragisnya jatuhnya korban jiwa. Gijik (35 tahun) meninggal, sedangkan Taufik Nur Rahman (21) dan Ambaryanto (54) mengalami luka berat dalam demonstrasi yang bertujuan mempertanyakan janji perusahaan yang telah berlarut selama satu dekade.
Tragedi ini menandai puncak dari persengketaan lahan yang telah berkecamuk selama 16 tahun, sebagaimana diungkapkan oleh James Watt, warga Desa Bangkal. Sejak kedatangan PT Hamparan Massawit Bangun Persada (PT.HMBP) di tahun 2007, ketegangan antara pendukung dan penentang investasi merebak, dipicu oleh kurangnya transparansi dan sosialisasi oleh PT.HMBP mengenai rencana mereka, termasuk ganti rugi dan relokasi lahan masyarakat.
Menurut James, izin usaha diberikan oleh Darwan Ali, Bupati Seruyan saat itu, yang juga meminta warga Desa Bangkal untuk menerima investasi tersebut dengan janji peningkatan kesejahteraan dan penciptaan lapangan kerja. Namun, harapan tersebut tidak terwujud sebagaimana janji.
Konflik mencapai titik penyelesaian sementara dengan perjanjian pada 26 Oktober 2013, yang mencakup komitmen PT.HMBP untuk kontribusi pada pembangunan desa, termasuk infrastruktur, pendidikan, dan lahan plasma bagi warga. Namun, hampir dua dekade kemudian, janji tersebut masih belum terpenuhi, meningkatkan ketegangan hingga mencapai puncaknya dalam aksi protes fatal tersebut.
Protes tersebut berujung pada penghadangan jalan oleh warga yang menutup akses perusahaan ke lahan sawit, yang direspons dengan pengerahan Brimob bersenjata lengkap. Tragisnya, perintah penembakan gas air mata diikuti oleh tembakan yang menewaskan Gijik dan melukai dua lainnya.
Makarius Sintong, SH, MH, menyoroti bahwa investasi seharusnya membawa manfaat bersama, bukan konflik. Dia menekankan pentingnya kemitraan inti-plasma sebagai model untuk kesejahteraan bersama dan meminta pemerintah untuk memberikan insentif kepada perusahaan yang menerapkan model ini.
Menurut Makarius, kejadian di Seruyan mengingatkan pada konflik serupa di Bengkayang, menunjukkan perlunya transparansi dan komunikasi yang jelas antara perusahaan dan masyarakat. Dia juga mengkritik penggunaan kekuatan represif oleh aparat keamanan dalam menangani protes, menuntut pendekatan yang lebih adil dan menghormati hak asasi manusia.