Misteri Tradisi Ngayau
Terbangun dari Keberagaman
Dayak Krio, Sumber: Museum Troopen |
Indonesia merupakan negara yang terbangun dari keberagaman ratusan suku bangsa dimana memiliki ke “khasan” masing-masing. Seperti suku-suku bangsa lainnya, masyarakat Dayak memiliki keunikan tradisi, mulai dari cara bercocok tanam, berburu, meramu, pernikahan, perang hingga menentukan hukum adat yang menjadi dasar serta petunjuk hidup mereka. Hal ini tercermin lewat tradisi tari yang biasa ditampilkan dalam pagelaran budaya yang biasa diselenggarakan setiap tahun dalam gawai adat guna merayakan panen raya tiap tahunnya.
Eksotisnya budaya Dayak menyimpan misteri yang ingin dikulik lebih dalam oleh siapa saja. Besarnya keingintahuan masyarakat umum pada tradisi Dayak, Maka kali ini akan membedah salah satu misteri yang dimiliki suku Dayak yang mediami pulau Kalimantan. Salah satu misteri yang masih menjadi tabir adalah tradisi ngayau atau berburu kepala. Ritual perubruan kepala yang dilakukan oleh Suku Dayak yang mendiami pulau Kalimantan di masa lalu, baik Dayak yang tinggal di Kalimantan Barat, Teng
ah, Timur, Selatan hingga Utara. Praktek tradisi Ngayau sesungguhnya tak lepas dari perburuan kepala dari pihak musuh. Menurut Carl bock dalam bukunya The Head Hunter of Borneo yang diterbitkan tahun 1882 menjadi penyumbang citra suku Dayak sebagai “Pemburu Kepala”.
Praktik perburuan kepala adalah salah satu bentuk komplek perilaku sosial dan telah memunculkan beragam argumen dari berbagai peneliti, petualang maupun akademisi.
Makna Tradisi Ngayau di seluruh Kalimantan
Di Kalimantan Tengah khususnya Dayak Ngaju, Tradisi Ngayau dibuat guna melaksanakan ritual Tiwah dimana merupakan upacara yang sangat sakral dalam agama Kaharingan dimana bertujuan untuk mengantarkan roh manusia menuju langit ke tujuh. Bagi Orang Kenyah, perburuan kepala sangat penting untuk menyelenggarakan ritual Mamat atau pesta pemotongan kepala untuk mengakiri masa perkabungan yang disesuaikan dengan kasta yang meninggal. Para pemburu diberi previlige untuk memasang gigi macan kumbang ditelinganya hingga hiasan yang berasal dari Enggang dan Ruai dengan tato yang didesain khusus untuk menandai status sosialnya.
Ngayau sendiri dilakukan secara berkelompok, baik itu dalam kelompok kecil yang terdiri dari sepuluh hingga dua puluh orang ksatria yang biasanya dilakukan dalam keheningan. Dalam melakukan perburuan kepala mereka seringkali memperhatikan tanda alam yang berasal dari burung, pepohonan, atau tanda dari aktivitas sekitarnya. Usai kepala yang berhasil di kayau itu digunakan dalam upacara Mamad, kepala itu akan digantung dalam ruang tengah sebuah rumah panjang dimana pada masa lalu pada suku Dayak Iban akan melakukan gawai setelah berhasil melakukan perburuan kepala manusia.
Kisah Petualang Berkebangsaan Belanda
Seorang petualang berkebangsaan Belanda menyatakan dalam bukunya bahwa praktek berburu kepala jalan untuk memperoleh kekuatan supernatural dari orang-orang Dayak yang mereka yakini didapat dari kepala yang berhasil diburu. Para penganut Kaharingan percaya bahwa tengkorak manusia yang dikeringkan dapat dijadikan alat sihir yang paling kuat di dunia. Kepala-kepala inilah yang akan digunakan untuk kurban dalam tradisi Tiwah, Wara, Dallo serta Kwangkey. Menurut masyarakat Dayak kepala yang baru dipenggal memiliki kekuatan untuk menyelamatkan seluruh penghuni kampung dari wabah dan penyakit. Kepala yang telah diberi ramuan dapat dijadikan alat untuk menurunkan hujan, meningkatkan panen padi dan mengusir roh-roh jahat. Berbeda dengan Miller Mc Kenley mendeskripsikan bahwa ritual Ngayau sebagai proses transisi dimana para pemburu menjadikan arwah dari kepala yang terpenggal itu sebagai sahabat lewat ritual keseharian mereka.
Menjawab pertanyaan kenapa hanya kepala yang dipilih sebagai simbolisasi dalam ritual karena kepala mengandung unsur rupa yang menjadi simbol konkrit mengenai jati diri sosial serta atribut paling manusiawi milik lawan yang diklaim bagi komunitas mereka sendiri. Bagi para ksatria
Dayak, dalam mengayau mereka tidak terlalu memasrahkan hidupnya pada senjata yang mereka bawa tapi pada kekuatan jiwa demi tercapai tujuan tertingginya yaitu mendapatkan kepala musuhnya.
Namun perlu diketahui bahwa tak semua suku Dayak memiliki Tradisi Ngayau, Maka mencatat bahwa Suku Dayak Maanyan, Suku Dayak Meratus dan Suku Dayak Kerabat tidak memiliki tradisi mengayau atau istilah itu. Berdasarkan tutur para tetua adat masyarakat Dayak Maanyan dan Meratus dalam perang mereka akan menargetka kepala dari pimpinan musuh namun tak dijadikan sebagai pelengkap ritual, pasca peperangan mereka kerap mengubur kepala bersama tubuh dari musuhnya. Meskipun begitu mereka tetap menganggap bahwa kepala musuh merupakan faktor terpenting untuk menundukkan musuh. Berbeda dari kedua Sub suku dayak itu, Suku Dayak Kerabat di Kabupaten Sekadau tidak memiliki tradisi peperangan menurut tutur mereka kerap membina relasi dari dua suku yang bertikai dikawasannya.
Berakhirnya Tradisi Ngayau
Tradisi Ngayau sendiri berakhir dengan perjanjian Tumbang Anoi pada tahun 1894 yang diprakarsai oleh pemerintah Kolonial Belanda yang saat itu tengah mencari hilangnya seorang peneliti Belanda di pedalaman Kalimantan. Musyawarah antara masyarakat Dayak dari seluruh Kalimantan di Tumbang Anoi itu menandai berakhirnya era Tradisi Ngayau di seluruh Pulau Borneo. Namun jejak-jejak ritual Tradisi Ngayau sendiri dapat kita lihat dari tradisi tari perang yang kerap ditampilkan pada saat pesta adat atau gawai. Salah satu ritual budaya tradisi yang terkenal dan menjadi warisan tak benda adalah tradisi Nyobengk di kabupaten Bengkayang dimana masyarakat Dayak Bidayuh melaksanakan proses pesta adat bersama kepala-kepala manusia hasil perburuan kepala di masa lalu.
Penulis: Irang Luth